Bagian 4 - Village Life

201 10 2
                                    

Hutan itu diselimuti oleh warna putih. Bukan karena datangnya musim salju, tetapi asap putih yang pasti muncul di setiap pagi. Udaranya juga sangatlah dingin, itu karena hutan tersebut berada di perbukitan. Ya, itu adalah embun. Hampir seluruh tumbuhan di hutan itu basah karena adanya embun tersebut. Airnya menetes ke tanah melalui dedaunan, kemudian meresap menjadi air tanah yang berguna untuk proses pembuatan oksigen, alias fotosintesis pada tumbuhan. Namun lama kelamaan air itu menguap karena tersentuh sinar matahari. Datangnya sinar itu mempunyai arti bagi semua makhluk seisi hutan bahwa pagi telah tiba. Berarti hari itu adalah hari baru dengan kejutan yang baru juga.

Burung-burung pun keluar dari sarangnya. Mereka bernyanyi untuk menyambut pagi itu, sekaligus membangunkan orang-orang desa. Namun kicauannya yang merdu, membuat beberapa orang malah semakin lengket dengan ranjang dan nyenyak dalam tidurnya. Seperti Rosie. Ia kini masih berada di atas ranjangnya, terkulai lemas dan diselimuti kain tebal. Rasa lelah membuatnya tertidur dengan pulas. Bahkan hanya beberapa menit setelah Ia merebahkan tubuhnya semalam, Ia langsung bisa melupakan beban pikirannya dan melayang jauh sampai ke Paris, seperti Diana. Suara kucauan burung-burung itu tak pernah Ia dengar di rumah. Yang membangunkannya setiap hari adalah alarm di ponselnya yang suaranya begitu dahsyat hingga Ia mau bangun. Namun lama kelamaan sinar matahari itu menerobos masuk melalui ventilasi. Sinar itu tepat mengarah pada wajah Rosie. Kulitnya yang pucat itu sedikit bersinar disentuh sinar matahari. Matanya pun tak kuat menahan sinar yang begitu terang dari sang surya tersebut. Sedikit demi sedikit Ia membuka matanya. Bola matanya yang berwarna biru itu seperti memancarkan cahaya, layaknya sebuah kristal.

Ia pun mengubah posisinya menjadi terlentang. Tangan kanannya mulai bergerak meraba-raba bagian sampingnya, mencari sesuatu. Menyadari bahwa bagian sampingnya kosong, Ia pun menoleh. Benar saja, Diana sudah tak berada di tempatnya sekarang. Sontak Rosie pun segera beranjak dari tempat tidur, ia melemparkan selimut yang Ia pakai secara sembarang. Selimut itu pun terkelumbruk di pojok ruangan. Rosie langsung berlari menuju pintu kamar kemudian membukanya dengan gerakan cepat. Rasanya lega sekali melihat semuanya baik-baik saja. Diana sedang duduk di sofa sambil meminum segelas kopi hangat yang sepertinya Ia buat sendiri. Ia pun tersenyum ketika melihat Rosie yang sedang berdiri di ambang pintu kamar memasang wajah bingungnya dengan mata yang terlihat sayu. Diana tahu, pasti Rosie sangat terkejut ketika Ia tahu Diana tak ada di sampingnya. Itu membuatnya terbangun pagi ini.

"Kalau masih mengantuk, lebih baik tidur. Kumpulkan tenagamu agar bisa beraktifitas seperti biasanya." Gumam Diana. Ia pun meminum segelas kopi itu.

Rosie hanya mendengus lemas. Dengan malas, Ia pun mulai melangkah mendekati sofa. Satu detik setelah Ia sampai di depan sofa tersebut, Ia langsung menjatuhkan tubuhnya dan menyandarkan punggungnya ke belakang. Kepalanya mendongak ke atas, Ia pun memegangi keningnya dengan tangan kanan. Kemudian Ia menghela nafas panjang sampai perutnya benar-benar kempes. Lalu dua detik kemudian Ia menghembuskan nafas itu lewat mulut pelan-pelan. Lega sekali rasanya. Setelah itu, ia pun duduk dengan tegak. Matanya seperti terkunci melihat benda yang ada di atas meja. Ia seperti ingin menerkam benda tersebut.

Makanan.

Ya, benar sekali. Semalam Ia belum sempat memasukkan makanan ke mulutnya untuk mengisi perut. Namun aneh sekali, semalam Ia bisa tertidur dengan pulas. Walaupun keadaannya yang kelaparan. Ternyata rasa lelah mengalahkan rasa laparnya malam itu.

"Kau membeli ini semua? Kapan?" Tanya Rosie pada Diana yang sedang meminum kopinya. Rosie pun langsung mengambil sepotong roti keju itu dan memasukannya ke dalam mulut kemudian mengunyahnya hingga lembut dan menelannya.

"Penginapan ini memang yang terbaik. Ada banyak makanan dan berbagai jenis minuman di lemari pantry-nya." Jawab Diana dengan santai.

Rosie hanya mengangguk, Ia masih sibuk dengan makanannya. Rasa lapar itu benar-benar menguasainya sampai Ia tak mendengar kata-kata Diana. Sebenarnya sejak awal Ia tak peduli dengan dari mana asalnya makanan-makanan ini, yang ada dipikirannya adalah makan, makan, dan makan. Kemudian Ia bisa kenyang karena perutnya telah terisi.
"Oh ya," Celetuk Rosie di sela-sela proses makannya. "Jace dan Nat kemana?"

The Lost Institute [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang