Kedua

899 22 0
                                    

"Asha lu denger gue gak sih?" tanya Kur membuyarkan lamunanku. Aku lupa atau bahkan tak tahu apa yang aku lakukan daritadi.
"Iya kenapa dut?" tanyaku kembali setelah sadar. Aku kaget bukan main mendengar suaranya, padahal sepertinya aku tak mendengar sesuatu sedaritadi.

Kurniawan Dwi atau yang lebih biasa di panggil Kur di sekolah dan khusus dariku aku selalu memanggilnya dengan sebutan 'gendut'. Aku berteman dengannya semenjak kelas satu semester 1, cukup lama. Seorang teman yang menurutku paling baik, dia dengan ikhlasnya akan menemaniku ke kantin, padahal dia habis ke kantin dengan yang lain. Tapi jangan bertanya bagaimana kisah cintanya, aku rasa hampir seluruh wanita di sekolah pernah disukainya namun hanya dua atau tiga saja yang dapat dimilikinya. Aku saja mendengarnya hampir bosan, setiap bulan ada saja wanita baru yang ia ceritakan padaku dan selalu bilang hal yang sama "Tapi yang ini beda Sha, gue sayang banget sama yang ini,". Bagaimana aku tak bosan? Setiap kali cerita tentang wanita dan aku meledek karna dia mengganti-ganti wanita, kalimat itu selalu keluar, membuat aku semakin senang meledeknya.
"Itu lu dipanggil dari belakang, budeg banget sih kuping lo gue yang di depan aja denger," ucapnya dengan nada kesal.

Aku menengok ke belakang. Melihat ada Avi bersama Nuri tepat di belakang motor Kur. Kemudian Avi mengisyaratkan padaku dengan menunjuk ke belakang menunjuk ke dua motor di belakang mereka. Motor Satria F coklat model baru waktu itu, aku hafal motor siapa, motor Zhani. Ditengah berisik kerumunan orang dan di tambah speaker panitia yang terus-terusan mengaung mengatur peserta aku menghampirinya sebentar.
"Wira ngantuk sekarang, gabisa bawa motor, kalo lu mau nanti aja pulang dianter dia," jelas Zhani padaku.
"Iyaudah selaw sih gue juga ada Kur kok," ucapku yang langsung tersenyum. Menutupi raut wajahku yang sedikit kecewa mendengarnya, meskipun sudah ada jawaban dari pertanyaanku.

Tak lama rombongan depan melaju, ditandai suara sirine yang mengaung membuat Kur segera bersiap saat gilirannya tiba. Rombongan konvoi terdepan dipimpin oleh alumni yang membawa motor harley dengan suaranya yang menggelegar memecah malam. Pukul 00.00 rombongan depan bergerak meninggalkan sekolah dan berangkat menuju pusat Jakarta. Kegiatan dimulai. Tak ada kemacetan di sisi manapun ibukota pagi ini. Sudah dapat ku sebut pagi kan sekarang? Tak pernah ku rasakan udara Jakarta sepagi ini, paling malam pukul sepuluh dan paling pagi pukul 4, hanya itu saja dan sekarang aku merasakannya selarut ini.

Pemandangan terasa indah saat ini. Udara sejuk, jalan lengang, lampu-lampu dan juga bintang-bintang memanjakan mataku dengan pemandangan ini. Pikiranku terus saja mengalir, membayangkan wajah manusia yang indah terlihat oleh mata, yang tentram saat hati bicara, yang ku cintai dan amat ku cintai, Wira. Menyusuri jalan panjang lalu melewati Blok M kemudian entahlah ke mana lagi motor ini berjalan aku tak hafal. Aku merasa aneh, apa mungkin aku salah dengar? Seingatku panti asuhan yang akan kami kunjungi berada di tengah kota, kenapa aku harus sampai ke Selatan? Rombongan sudah tak teratur lagi kini. Panitia selalu mengawal dan berteriak meminta semua peserta untuk berada di lajur paling kiri jalan, tepatnya satu lajur paling kiri, tak boleh mengganggu pengguna jalan lain. Sudah larut malam tetapi masih banyak saja motor yang berlalulalang, hebat sekali memang Jakarta, tak pernah kalah melawan waktu sekalipun. Semua panitia berusaha mengatur jalur sekuat tenaga, kadang di persimpangan ada saja panitia yang turun untuk memberikan petunjuk agar tidak ada satupun yang tersesat yang dapat mengganggu acara. Dan mataku menangkap sesuatu, bukan sesuatu melainkan sesosok. Orang itu mengenakan kemeja kuning dengan celana orange dan handuk yang ada di kepala, turun dari motor dan bertindak seperti Pak Ogah mengatur jalanan, mata tipisnya tak terlihat secara utuh, habis tertelan dalam kegelapan malam. Wira? Itukah kamu? Tak mungkin salah dan ku rasa tak perlu ku tanyakan lagi, sekali lagi, hatiku kecewa, sekali lagi, hatiku kecewa, dia berbohong padaku, ia berbohong lagi, ia berbohong. 'Kenapa tadi bilang ngantuk kalo sekarang sekuat itu?'

Mencintai satu arah itu seperti menunggu kapan bulan merindukan bintang, kapan bulan membutuhkan bintang. Tanpa bintang, bulan mampu memantulkan cahaya matahari agar dapat sampai ke bumi, memberikan cahaya terang yang bermanfaat bagi bumi, yang mampu menerangi bumi dari kegelapan, dan ada ataupun tidak, bulan mampu melakukannya.

Ku hibur hatiku sambil melihat sekeliling. Sudah ada di sebuah tempat yang bernama Kemayoran. Dulu sewaktu kecil, ayahku sering sekali mengajakku ke sini, bersama ibu dan adikku, mungkin sekitar 10 tahun lalu. Tapi aku selalu mengenal seluk beluk tempat ini dan keramaiannya. Dulu aku selalu ke pasar kaget yang ada di daerah sana, tak tahu sekarang masih ada atau tidak. Ku lirik jam tipis di tangan sebelah kiri ku, sudah pukul 2:30 dan sepertinya sedikit lagi rombongan sampai di panti.

Pas sekali pukul 3 semua rombongan sudah memarkirkan kendaraan mereka di sekitar panti. Pantinya tidak lebar namun sepertinya panjang. Lapangan parkir panti di sini mampu menampung duapertiga motor peserta, cukup luas. Sementara mobil-mobil diatur berbaris memenuhi jalur. Di depan panti hanya ada dua lajur untuk 1 jalur dan satu dipergunakan sebagai parkiran. Aku menghitung panjang mobil yang berjejer. Astaga panjang sekali hingga tikungan depan, bahkan aku tak mampu menghitungnya lagi karna aku tak tahu apakah di dekat tikungan masih banyak mobil yang berjejer. SOTR memang menjadi wadah untuk semua berkumpul, khususnya alumni-alumni yang juga ikut bergabung, dari angkatan pertama hingga terakhir yang masih duduk di kelas 1. Aku segera masuk ke dalam. Karena acara akan dimulai dengan sedikit sambutan dan baca qur'an dari anak-anak panti. Tak banyak anak-anak itu, jika ku hitung tidak lebih dari 80 orang namun sepertinya cukup untuk menempati panti asuhan ini. Panti ini memanjang ke belakang, kamar-kamar mereka disusun seperti rumah susun yang naik hingga 4 lantai, persis sekali dengan rumah susun hanya berbeda ukuran saja. Saat pertama aku masuk ke dalam, aku langsung disambut oleh aula yang tidak terlalu besar, tidak semua mampu masuk ke dalam, sebagian besar memilih di luar sekalian merokok dan merasakan udara bersih pagi ini. Aku mendengarkan sedikit ceramah lalu pembagian nasi box dimulai. Ku buka dan aku tahu apa menunya, ayam bakar. Aku seperti menyesal tak membawa makanan apapun di tas, karna puasaku perlu asupan yang banyak dan sepertinya nasinya cuma setengah dari yang biasa ku makan di rumah. huh alamat kelaperan. Dan yang paling miris saat ku lihat, hanya segelas air mineral saja yang kudapat, mana mungkin kuat untuk bertahan di dalam tubuh lebih dari dua belas jam?

Ku kirim pesan ke Kur untuk mengajaknya mencari penjual air. Waktu sahur memang pria dan wanita dibedakan, diberikan sekat-sekat dari kain yang masih transparan, namun aku tak melihat di mana Kur. Setelah Kur berdiri di bagiannya aku segera menyusul, secepat kilat pergi menuju pintu yang berada di belakangku. Langit belum berwarna, masih hitam gelap. Ku lihat jamku, baru pukul empat dan imsak akan datang setengah jam lagi.
"Lu berdua ngapain di luar?" tanya Parto padaku dan Kur.
"Gaada yang jual minum?" tanyaku sambil celingak celinguk.
"Noh dipojok yang banyak orang pada nongkrong, aus lu? hahaha," ucap Parto sambil menunjuk cahaya lampu di ujung sana.
"Iya ga cukup pak segelas doang," jawab ku yang langsung beranjak pergi.

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang