Keempat

516 16 0
                                    

Memikirkan keputusan yang harus ia ambil dalam waktu sepersekian detik dan dia memilih untuk tetap melaju, mengisi penuh laju yang sempat ia kurangi sedikit saat berfikir tadi dan membelah persimpangan ini. Suasana sangat sepi, hanya beberapa kendaraan saja yang ada dan saat motor Wira telah melewati lampu merah, di tengah-tengah jalan, sebuah truk dengan kecepatan penuh dari sisi timur laut bergerak menuju arahku dan Wira. "Treeeeettttttt" suara klakson membisingkan telinga, memecah hening malam. Wira memacu kendaraannya lebih cepat, memaksakan motor bergerak lebih cepat daritadi atau hanya menghibur diri agar tak ketakutan. Kecepatan motor sedikit demi sedikit bertambah dan motor Wira begerak lebih dahulu meninggalkan truk yang masih sibuk mengerem dan membunyikan klakson.

Aku gemetar melihat kejadian tadi. Truk itu berada persis di dekatku, dekat sekali denganku. Fikiranku melayang membayangkan yang tidak-tidak, rasanya takut sekali. Ah membayangkan sekali lagipun aku tak sanggup. Setelah berada di posisi aman ku usap dadaku, memastikan jantungku untuk memelankan frekuensi degupannya. Aku melihat motor temannya Wira berada di depan pom bensin, tak jauh dari lampu merah tadi. Sepertinya mereka tak melihat kejadian itu, atau berpura-pura tak melihat, aku tak tahu.
"Koc gue isi bensin dulu ya," pamitnya yang langsung masuk ke dalam.
"Takut ya," ucap Wira sambil tertawa, matanya terbenam dalam tawanya.
"Gila jantung gue hampir copot, sumpah tanggungjawab lu kalo gue kenapa-napa," balasku kesal, aku masih mencoba menstabilkan detak jantungku.
"Emang Wira ngapain disuruh tanggungjawab?" tanyanya sambil tertawa, lebih bahagia daripada yang tadi.
"Itu tadi kan udah lampu merah kenapa lu lanjutin sih," jawabku dengan muka cemberut.
"Kan tadi bilang, gak tau jalan sama sekali, kalo ditinggal gimana?" tanyanya lagi dengan tawanya.
"Au ah gausah ngomong mulu, gemeteran nih gue," balasku dan kemudian aku diam, dia juga langsung diam.

Tak lama temannya Wira keluar dari pom bensin dan memecah heningku dan Wira. Setelah memberikan isyarat untuk kembali jalan dan ia kembali memimpin. Aku diam saja sepanjang perjalanan. Sepuluh menit Wira memacu kendaraaannya, aku mulai mengenal di mana kami berada, Harmoni. Beberapa waktu lagi sampai Grogol, Slipi, Palmerah, Semanggi, Kuningan. Waktu semakin cepat saja meninggalkanku, membunuh kebersamaanku pagi ini. Ku lihat jam di tanganku yang sudah menunjukkan pukul 5:20, astaga aku belum solat subuh. Saat di Grogol, Wira mengambil kiri dan temannya mengambil lurus, melalui jalur Daan mogot.
"Gue lurus lu tinggal belok kiri trus lurus Koc," kata temannya dan Wira langsung mengiyakan.
"Asha hati-hati ya, kalo jatoh missed call aja yaa Sha, dadah Asha," ucap salah satu temannya Wira yang duduk di belakang.
"Eh ha eh iya Ka tenang," jawabku gugup.

Mereka langsung bergerak lebih cepat dari kami sementara Wira terlihat asik sekali menikmati ibukota pagi ini. Aku mencubit gemas pinggangnya lalu mendekatkan wajahku ke telinganya, membuka suara, akhirnya ada topik pembicaraan.
"Kok mereka tau nama gue ya? Lu pernah cerita apaan?" tanyaku menuduh sambil mencubit kembali.
"Jangan di cubitin Sha sakit," ringisnya padaku, tangan kirinya mengambil tanganku yang sedang asik mencubit pinggangnya, menahannya sebentar lalu melepaskan. Membuatku salah tingkah.
"Makanya jangan nantangin, waktu itu nanya kan Wira kenal Asha atau engga, gampang tau, cewek sekelas cuma dikit masa masih gak kenal aja," jelasnya sambil tertawa.
"Okedeh gue ngalah," ucapku seakan pasrah.
"Orang kalo sering modus mah beda ya," tambahku.
"Ha maksudnya apa nih?" tanyanya dengan nada yang berbeda, sepertinya dia sedikit syok dengan kata-kataku.
"Gue sering denger cerita doang kok, ga penting," jawabku santai.
"Eh serius Sha kenapa?" tanyanya dengan lembut.
"Iya gue denger doang kalo banyak yang lu modusin, tapi gak penting sih kan gak ada urusannya ama gue Ra," jawabku sambil tersenyum.
"Siapa yang Wira modusin?" tanyanya kembali.
"Husnul? Nuri?" jawabku dengan nada bertanya.
"Hahahahaha udah di seriusin ternyata nanyanya mereka, ngakak Sha asli hahahaha," balasnya sambil tertawa, aku melihat wajahnya di spion motor, tertawa bahagia. Ia tak tahu saja seperti apa rasanya hatiku saat bertanya hal itu.
"Dih malah seneng banget lu," kataku sebal.
"Gini Sha, kalo si Nuri itu ya, waktu itu kakak kelas ada yang suka sama Nuri, terus Wira disuruh deketin Nuri, gitu itu juga pas ngirim chat pas lagi di tongkrongan, jarang Wira yang bales," jelasnya.
"Terus kalo si Husnul, asli Wira diboongin anak-anak, Wira dibilang katanya Husnul cakep beh Rahma sama Adelia kalah dah pokoknya beh, yaudah Wira mintain aja nomernya sama Anwar," tambahnya dengan suara kesal.
"Dih dasar gatel ewh," balasku.
"Katanya kalo ketemu gue mau ngeledekin gue? Mana?" tanyaku menagih sesuatu.
"Bener nih mau diledekin? Ga nyesel?" tanyanya memastikan.
"Harusnya gue yang nanya kaya gitu kayanya, haha," balasku sambil tertawa.
"Yaudah turun aja deh ya di sini yaa," katanya padaku sambil memberhentikan motor dan mengarahkannya ke tepi.
"Ih nuruninnya mikir-mikir ih ini itu tuh halte busway masih jauh banget turuninnya di sana kek," kataku panik. Gila halte masih jauh yakali disuruh jalan kaki.
"Emang udah ada bisnya jam segini?" tanyanya.
"Biarin aja, kan ada orang gak bertanggungjawab yang janjinya mau nganter pulang malah nurunin di sini," jawabku sambil menyindir.
"Asha jago nyindir ya jadi merasa gimana gitu," jawabnya sambil tertawa, memacu kembali motornya.

Suasana mencair, menjadi hangat. Aku lebih ingin waktu berhenti saja, berhentilah biarkan aku merasakan keindahan yang hanya sekejap ini. Jalan lengang, keramaian jakarta seakan lenyap, kenapa di saat seperti ini tidak macet saja? Itung-itung nambahin waktuku bersamamu, Wira.
"Rumah Wira bisa nih lewat sini, pulang kali ya," katanya sambil tersenyum, senyum manis, ku lihat di spion.
"Ih trus gue gimana?" tanyaku bingung.
"Tadi mau ditinggal gapapa sekarang ape beda lagi, labil," jawabnya.
"Eh yaudah gapapa gue main aja ke rumah lu trus gue bilang gue dijanjiin dianter pulang trus malah dibawa ke sini," balasku mencari cara.
"Lah kan Asha ditinggal di sini aja, tuh halte deket banget dari sini," ucapnya sambil menunjuk halte dengan jari telunjuknya.
"Yaudah turunin aja di depan situ," ambekku.
"Idih udah gede ngambek idih," katanya sambil menengok ke belakang. Ia angkat tubuhnya dari motor dan menengokkan seluruh badan dan tubuhnya ke arahku, mengadu matanya denganku dalam hitungan detik sambil tersenyum. Matanya persis sekali seperti bulan sabit, sepasang bulan sabit yang sangat indah.

Wira kembali memacu motornya saat lampu hijau menyala. Membelah jalan palmerah yang kemudian menembus semanggi dengan mudahnya. Biasanya semanggi selalu penuh dengan kendaraan dan saat ini lengang tak berpenghuni. Wira kembali diam, sepanjang perjalanan dia terlalu fokus menghadap ke arah jalan.
"Sha itu Sha," katanya antusias menunjuk sebuah plang nama hotel di sisi kiri. Aku mengerti maksudnya. Namanya terpasang di sana, menjadi nama salah satu hotel yang cukup terkenal.
"Ih tapi itu pake H kan elu engga," balasku sambil meledeknya.
"Ya bacanya sama kan tetep," katanya tak mau kalah.

Wira kembali terdiam. Ku lirik jam tanganku, jam 6 sepertinya aku akan sampai ke rumah. Tinggal 5 menit lagi tersisa dan ingin sekali ku berhentikan waktu dengan mesin doraemon, sebentar saja aku ingin lebih lama bersamanya pagi ini.
"Ra nanti lu ada puter balik lu muer yaa terus ngambil kiri berenti," kataku memberikan arah. Ia hanya mengangguk tanda mengerti.

Wira mengikuti petunjukku. Ia memutar balik lalu kemudian jalan dengan cepat ke arah depan.
"Ra minggir ngapa ngegas di kanan sih,"
"Ra denger gue kan?" cerewetku padanya.
"Ohaha ga denger maaf," jawabnya yang langsung mengambil kiri. Astaga ku tengok ke arah belakang, jauh sangat dari rumahku.
"Mana ada rumah sih di sekitar sini," katanya sambil celingak-celinguk.
"Rumah gue di sana setelah lamer, cuma gue kasian lu harus muter kalo ke sana makanya minta turunin di sini," jelasku.
"Yaudah bentar, puter balik deh Wira," katanya yang langsung memutar motor, berjalan di sebelah kiri dengan hati-hati.
"Masih kejauhan ga Sha? Mata minus takut kenapa-napa dari depan kalo ada motor," katanya padaku.
"Yaudah gapapa kok Ra udah deket," kataku yang langsung turun, ku coba membuka pengaman helm untuk mengembalikan. Satu kali ku coba, tak bisa, dua kali, tiga kali, aku menyerah.
"Ra bukain dong ininya," ucapku sambil memberitahukan.
"Sweet banget deh Sha," katanya sambil membukakan pengamannya lalu tersenyum, manis sekali.
"Pokoknya kalo udah sampe rumah sms ya, jangan lupa, punya pulsa kan," pesanku padanya.
"Kaya Wira mau mati aja," katanya sambil tertawa, binar matanya mengecil sipit seperti bulan sabit.
"Ih gue gaenak tau kalo ada yang nganterin gue pasti gue ngomong gitu," jawabku.
"Cerewet, yaudah balik sana cepet," suruhnya padaku.
"Gamau lu duluan," balasku sambil tersenyum.
"Mana ada yang begitu, Asha jalan dulu sana cepet bikin lama kalo gini,"
"Yaudah gue pulang ya, jangan lupa ngabarin kalo udah sampe," kataku pamit.
"Iya bawel,"

Ku langkahkan kaki dengan gontai. Aku merasa masih ada Wira di belakangku, entah ia ingin menunggu sampai aku berada di mana. Aku berjalan pelan, tak berani menengok ke arah belakanh, sedikitpun. Aku tengok ke arah belakang saat aku ingin menyebrang sekalian memastikan apa Wira masih di sana atau tidak. Motor Wira masih terlihat meskipun kecil dan sudah tak jelas, baru saja melaju beberapa detik sebelum aku menengok.
"Pagi yang indah, Wira Wijaya, aku menyayangimu,"

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang