Tak ada yang istimewa semenjak saat itu. Hidupku lebih banyak ku habiskan untuk belajar, lebih tepatnya untuk ujian dan segala macamnya. Banyak ujian yang menantiku, terlebih lagi ujian nasional pada bulan April. Aku tak berkomunikasi apapun dengan Wira hanya sering melihatnya update foto atau lainnya tanpa saling menyapa.
Dan saat ini, masa akhir mengenakan putih abu-abu sedang ku rasakan. Setelah wisuda, semua mengejar mimpinya masing-masing, yang ingin berkuliah mencoba mencari universitas yang ingin menerima, begitu pula yang ingin berkerja. Aku mencoba mendaftar ke salah satu universitas, ya universitas yang berada di Kota Kembang, Bandung yang juga universitas tempat Wira bernaung, universitas yang memang sangat ingin ku rasakan almamaternya. Bukan karna bagus atau karna terletak di kota gaul sekelas Bandung tapi karna ada Wira di sana.
Tahun lalu, Wira berada di posisiku saat ini, posisi di mana menunggu pengumuman lebih menakutkan dari digigit harimau. Bedanya mungkin aku lebih berdebar karna aku berharap sekali dapat menyusulnya di sana, bersama satu almamater kembali. Aku tak menggunakan jalur tes tapi cukup dengan melampirkan raport dan tunggu sekitar 5 hari. Dan aku di terima, dengan jurusan yang berbeda dengannya tapi masih dalam satu fakultas. Tapi kemudian aku tak jadi melanjutkan ke sana.
Kecewa? Pasti? Aku pernah berjanji dalam hati untuk menyusulnya ke sana. Janji yang ku ucapkan saat Wira berkata padaku, lebih tepatnya pamit dan meminta izin padaku untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Dan Wira, sepertinya ia sudah menungguku untuk mengikuti jejaknya ke sana.
***
Dua tahun silam...
Aku sedang bermalas-malasan di rumah. Hari Minggu yang terlalu cerah sehingga aku tak mampu keluar dari tempat indah ini, kasur. Sabtu ku kuhabiskan dengan mengerjakan tugas yang amat sangat banyak untuk minggu depan dan baru pada hari ini aku bisa malas-malasan di kasurku ini.
Dering handphone ku berbunyi, aku tak pernah menyimpan nomer itu sebelumnya, terlalu asing. Aku mengangkatnya dengan ragu, seperti nomer kantor tapi dari kantor mana? Aku masih pelajar dan tak melamar kerja parttime di manapun. Dan ternyata.
"Hallo," sapa orang di sebrang sana, laki-laki.
"Iya dengan siapa ya?" tanyaku serius dengan suara formal.
"Serius banget Sha, hahaha," jawab orang itu dan tertawa dengan lepas. Sepertinya aku kenal suara itu.
"Ih Wira?" tanyaku menebak.
"Iya emang Asha bilang ini siapa haha," jawabnya dengan terus tertawa, tak mampu memberhentikan gelegar tawanya.Kaget bahagia. Semua bercampur menjadi satu saat ini. Selama berbicara di telpon aku tak henti-hentinya tersenyum setiap kali mendengar suaranya. Berbicara dari A hingga Z dengannya sangat menyenangkan bagiku karna aku dan dia memang jarang berkomunikasi.
"Sha mau ngomong bentar deh," katanya serius. Suaranya berubah dari yang sebelumnya ku dengar.
"Iya kenapa Ra?" tanyaku lembut, menenangkan hatiku yang takut dan menstabilkan detak jantungku yang tanpa sadar terpacu lebih dari biasanya.
"Kalo Wira kuliah di bandung gimana?" tanyanya seakan minta izin padaku.
"Ih lu mau kuliah?" tanyaku kembali dengan suara antusias. Jujur aku kaget mendengarnya, aku senang sekaligus sedih.
"Iya Sha di Bandung," jawabnya mengulangi.
"Oh yaudah gapapa bagus dong trus kapan pendaftarannya?" tanyaku kembali.
"Beneran gapapa kalo Wira di Bandung?" tanyanya memastikan. Suaranya belum berubah masih serius bahkan seperti suara sedih karna ia memelankan suaranya.
"Lah kok minta izinnya sama gue, ya gapapa dong, malah gue seneng lu mau kuliah Ra, keren dong," jawabku asal.
'Ra lo gatau rasa dalem hati gue kaya apa'
"Iyalah keren doain makanya," balasnya dengan suara seperti biasa.
"Kapan daftarnya? Ngambil jurusan apa?" tanyaku biasa.
"2 bulan lagi, gatau nih paling sama ama jurusan kita Sha,"Tak lama Wira izin untuk menutup telponnya. Sepertinya izin tadi yang membuatnya tanpa angin tanpa hujan menelponku. Mungkin hatinya tenang saat ini, sepertinya ia takut jika aku tak mengizinkan. Dan hatiku? Aku tak tahu apa rasanya. Jakarta-Bandung, 150 km, terpisah oleh tol Cipularang. Jauh sekali jarak memisahkan. Tapi aku tak mampu apa-apa. Apa aku sejahat itu untuk memaksanya tetap di sini untuk melanjutkan masa depannya? Tidak, tak mungkin aku lakukan demikian. Caraku sudah benar, berada di dalam kemunafikan hati. Bukan untuk kebaikanku, tapi untuk kebaikannya.
Air mataku menetes tanpa aku kehendaki. Mataku memejam, membayangkan empat tahun tanpa dia di sini, empat tahun terpisah karna jarak. Entah akan berapa kali ia pulang ke sini, yang jelas aku tak mudah bertemunya kembali seperti saat ini, saat kita masih satu atap perguruan. Tapi itu fase hidup, semua orang bebas melanjutkan masa depannya dan aku tak ingin menjadi penghalang Wira meraih cita-citanya. Tapi Tuhan, Apa aku sanggup terbiasa tanpa dia di sini selama bertahun-tahun? Apa aku mampu untuk mencintainya dalam jarak? Apa aku mampu terus mempercayai bahwa cintanya adalah aku?
Terlalu banyak pertanyaan yang ada di kepalaku. Tak mampu rasanya ku cari jawabannya. Masih kurang lebih setengah tahun hal itu akan terjadi dan ketakutan itu sudah ku rasa sekarang. Aku berharap semoga aku mampu terbiasa menghadapinya.
Langit malam saat ini terlalu cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati yang kurasakan. Langit indah bertabur bintang kecil di mana-mana yang memberikan setitik sinar yang membantu bulan untuk menyinari bumi. Setitik-setitik yang teramat banyak, tersusun secara acak memenuhi seisi langit.
"Wira, 2 tahun lagi gue susul di sana, gue gamau jauh-jauh dari lo,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]
Fiksi RemajaMana mungkin ku mampu pergi saat aku sendiri terikat terlalu kuat? Bagaimana berlari jika merangkakpun aku tak mampu? Terkurung di sini, terdiam menahan sepi Waktu berjalan tanpa mampu ku bendung Waktu pergi tanpa persahabatan Dan cinta pergi tanpa...