Wira berdiri tepat di sampingku, merangkul pundakku dan Putri dengan baiknya akan mengambil gambar. Waktu itu handphone ku masih butut, samsung galaxy pocket sudah terasa sangat mewah. Tak ada kamera depan yang menghiasi, toh kamera belakangnya hanya 2 MP saja. Dulu saat selfie, aku menggunakan kamera belakang dan memberinya waktu jeda 5 detik dari saat ku tekan. Wira sudah berpose dengan tangan kanannya berada di pundakku, malu sekaligus senang. Agak lama menunggu Putri namun ia tak memberi aba-aba selesai foto itu. Wira sedikit kesal lalu melepaskan tangannya dan bertanya kepada Putri. Dari situlah aku baru ingat jika kamera itu di timer dan aku langsung merubah settingannya.
Wira terlihat gelisah melihat ke arah gor. Sepertinya ia sudah di panggil dari dalam, entahlah aku tak melihat satupun yang menggunakan jersey seperti Wira di dalam gor. Putri mengambil foto sekali lagi, timer sudah ku matikan. Aku berdiri di samping Wira, baru kali ini aku sadar jika aku lebih tinggi dari Wira, cukup terlihat dan agak mengganggu bagiku. Aku meletakan tangan kananku di pinggangnya, sedikit menundukkan kepalaku agar tak terlihat aku terlalu tinggi, lebih tepatnya aku meletakkan wajahku di pundak kirinya. Cekrek dan foto pertamaku dengan Wira tersimpan rapih dalam ponselku.
Keesokan harinya Wira memintaku mengirimkan foto kami berdua. Bahkan aku sudah memasangnya terlebih dahulu di Line, Whatsapp dan BBM, tak ada yang luput satupun. Semua orang ingin ku beri kebahagiaan yang ku rasakan.
"Makasih ya Sha," kata Wira sesaat setelah aku mengirimkan foto itu.
"Iya sama-sama, di save ya, foto pertama tuh," celetukku.
"Tau gak makasih kenapa?" tanyanya sok membuat pertanyaan.
"Gara-gara aku kirim foto kan?" tanyaku memastikan.
"Bukan," balasnya.
"Terus gara-gara apa?" tanyaku yang malah bingung dengan jawabannya.
"Karna cuma Asha yang berani peluk Wira di depan umum," jawabnya santai. Huh ia malah membuatku sebal dan malu mendengar kata-katanya.
"Ih aku salah ya? Maaf yaa aku cuma mau deketin ke kamu doang kok," kataku. Sebenarnya aku hanya ingin menyamakan tinggi saja dengannya, bukankah laki-laki biasanya lebih tinggi dari wanitanya? Dan saat aku di samping Wira, aku lebih tinggi darinya.Segelintir cerita itu membuatku mengenang masalalu, ya Wira selalu memperlakukanku dengan baik. Pandangan semua orang selalu salah. Semua orang selalu memandang Wira sebelah mata, hanya melihat keburukannya tanpa mencoba mengetahui masalahnya.
Aku selalu percaya sesuatu. Sama halnya dengan kacang di dalam kulit, kulit kacang yang jelek dan kusam tak berarti kacang di dalamnya tak berkualitas, begitu pula sebaliknya, kulit kacang yang bersih tak menjamin kacang di dalamnya dalam keadaan baik. Aku lebih ingin melihat yang buruk di awal daripada harus terbohongi dengan kemunafikan yang dibuat untuk menutupi ke kurangan, dan Wira, selalu saja membuatku mengetahui kekurangannya tanpa membuatku hilang darinya. Sudah-sudah tak perlu kuputar lagi adegan cinta lama itu, cukup ku kenang ku letakkan di dalam hatiku saja tanpa ku ingat kembali.
Pukul 9 aku sudah getir saat ku coba menelpon Wira dan tak ada jawaban sama sekali, padahal ia yang meminta. Aku sedang mengerjakan Try Out namun konsentrasiku terpecah menjadi dua karna selalu menelponnya. Setiap detik ku coba untuk menunggu jawabannya dan damn, dia tak bangun. Sudah 30 kali kucoba menelponnya dari Line namun tak ada jawabannya, 20 kali dengan panggilan telpon biasa namun tetap saja gagal. Waktu sudah menunjukkan pukul 9:45 dan aku tak mendengar pergerakannya sama sekali. Pukul 10:00 aku berhenti dari aktifitas menyebalkan ini. Anak ini mengapa susah sekali dibangunkan.
Pembicaraanpun terhenti. Waktu demi waktu aku tak mendengarkan kabarnya. Entahlah ia sudah mengerjakan UAS-nya atau tidak aku tak tahu. Fokusku saat ini ingin mengabarkan pada Zhani saja.
"Yaudah hari Sabtu aja, mamah mau dateng hari Jum'atnya," katanya saat aku bertanya kesediaannya.Ya sudah diputuskan aku akan ke Bandung 5 hari lagi dan aku rasa akan menjadi waktu menunggu terpanjang. Aku langsung mengirimkan chat kembali kepada Wira, menyampingkan ego rasa maluku terus-terusan mengganggunya.
"Ra gue datengnya sabtu," yap informasi yang sebenarnya sangat tak penting untuknya.
"Gabisa ganti hari? Gue mau ke Jakarta hari Sabtu, ada acara di senayan," katanya bernegosiasi.
"Yaudah kalo lu gabisa mah gapapa, balik aja ke jakarta gapapa kok," seakan-akan aku mengizinkannya bukan? Padahal aku hanya berbohong, apa sebenarnya yang mendorongku untuk ke sana? Karna Zhani? Atau karna Wira? Tak perlu ku jawab sudah pasti ketahuan, yap Wira yang membuatku menginginkan pergi ke sana. Perayaan event besar itu menghadirkan band Thirteen di hari Sabtunya. Jelas saja Wira akan membela-belakan untuk datang. Tapi tak mungkin aku membatalkan janjiku pada Zhani. Sudahlah, memang kami tak berjodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]
Novela JuvenilMana mungkin ku mampu pergi saat aku sendiri terikat terlalu kuat? Bagaimana berlari jika merangkakpun aku tak mampu? Terkurung di sini, terdiam menahan sepi Waktu berjalan tanpa mampu ku bendung Waktu pergi tanpa persahabatan Dan cinta pergi tanpa...