Keempatbelas

277 10 1
                                    

Kutunggu balasan Wira atas pesan tak penting itu. Aku mengirimkan pesan pukul sebelas malam dengan pertanyaan yang retorik. "Masih bangun?" Jelas ia pasti masih bangun karna ia sejenis kalong, tidur pagi hari begadang malam hari. Aku merasa pertanyaan itu salah dan tak seharusnya aku mengirimkan itu padanya.

Tak ada jawaban darinya. Menguatkan perasaan bodoh yang menghantui hatiku. Tapi jika ia membalas saat ini, apa aku tak bingung dengan alasanku menanyakan hal itu? Pasti ia akan bertanya dan tentunya aku tak tahu alasannya. Jujurkupun pasti dianggap sebelah mata olehnya.

Dua hari berlalu dan aku tak melihat pergerakannya sedikitpun untuk menjawab pesanku. Whatsapp-nya sudah 3 hari tidak dibuka. Setidaknya masih ada secerca harapanku agar dia mengirimkan jawaban pesan. Namun entahlah, aku tak ingin menunggunya, sudah cukup waktuku terbuang sia-sia hanya untuk menunggu yang tak mengerti jika ia selalu dinanti.

"Iya nih,"pukul empat pagi Wira mengirimkan jawaban untukku. Sudah tiga hari dan baru dibalas sekarang. Ya ampun.
"Telat haha," balasku sok perlu dengannya.
"Wkakakak, kenapa emangnya ?" tanyanya.
"Mau jawab apa ini?"
"Udah lupa haha," pintar sekali Asha bohongmu.
"Beuh," balasnya singkat.
"-_-" aku hanya menjawab seperti itu saja dan segera menjauhkan handphone dariku. Jika handphone itu berada di dekatku aku pasti menunggu jawaban Wira yang sudah pasti tidak akan ada karna aku hanya menjawab seperti itu.

Lima menit kemudian handphoneku berdering. Panggilan masuk dari Line dan kulihat nama Wira Wijaya yang terpasang di layar. Pagi ini bahagianya hidupku.
"Lu ga read chat gue ya?" tanyanya langsung.
"Engga hehe lagi nonton tv tadi," jawabku bohong.
"Pantesan, gue bete nih," balas Wira yang membuat senyum di wajahku hilang. Setiap kali menelponku, kata-kata itu selalu ada, yang membuat diriku merasa ia menghubungiku di saat ia bosan saja.
"Lu tau kan gue kalo bete pasti pegang hape terus," tambah Wira saat tak terdengar suara dari ujung sana.

Pembicaraan didominasi olehnya. Ia bercerita tentang rockclimbing yang habis ia lakukan bersama teman-temannya. Pecinta alam membuat ia semakin aktif sepertinya. Wira memang memiliki banyak teman, aku rasa Wira memang handal dalam bergaul. Aku bahkan tak dapat menghitung jaket yang bertuliskan macam-macam nama tongkrongannya. Namun ia kurang aktif di kelas, namun karna kecerdasannya ia berhasil membuat hampir semua guru-guru di SMK ku mengenal dan tau siapa dia, bahkan ketenarannya mengalahkan juara satu di kelasnya. Ya Wira selalu masuk ke dalam peringkat lima besar, dari bawah.

"Lu kapan mau ke bandung?" tanyanya kembali. Entah sudah seberapa sering aku mendengarnya berkata demikian.
"Tanya sono ama temen lu," jawabku dengan nada sedikit emosi.
"Kenape?" tanyanya lagi.
"Kan waktu pensi gue bilang ke Zhani gue mau ke bandung awal bulan, eh katanya dia dia sibuk UAS jadi gamau diganggu, padahal kan libur panjang," jelasku dengan nada berapi-api.
"Yaudah tar gua yang ngomong dah yang penting lo fix ke bandung nih ya?" tanyanya memastikan.
"Iya fix," ah kenapa aku berbicara seperti itu? Aku saja bahkan belum ada rencana sama sekali untuk ke sana.
"Emang kalo libur panjang kenapa? Emang lo mau nginep lama gitu?" tanya Wira lagi.
"Engga juga sih kan lo tau gue gaboleh, ahaha," jawabku cengengesan.
"Pokoknya gue gamau tau, minggu ini lo udah harus nginjek bandung, ga perduli gue, awas lo kalo lo ga sampe sini," ancamnya dengan suara menakutkan. Huh manusia ini senang sekali mengancam.
"Iyaaa bawel banget sih lu Ka, biasanya jutek kok sekarang bawel," candaku dan ia seakan protes dengan apa yang ku katakan.
"Bukan bawel Sha, kan lo udah boongin gue, udah bilang mau ke sini dari kapan tau," jelasnya.
"Iyaaa ganteng," jawabku santai.
"Kalo lo gadateng gimana? Harus ada hukumannya dong," tanyanya seperti ketakutan.
"YaAllah kaa gue dateng pasti," jawabku memastikan.
"Ya harus ada lah apaan cepet harus ada hukuman," paksanya.
"Kalo gue ga dateng gue bakalan tulis permintaan maaf trus gue post di Path dah," jawabku sambik tertawa. Tentu saja aku bercanda, mana mungkin aku berani.
"Itu mah cuma bikin orang tau doang bukan biar jera," jawabnya sebal.
"Hhhh trus apa dong?" tanyaku kepadanya. Aku bingung tak ada yang melayang-layang di otakku.
"Tar gue kasih hukuman, spesial dah buat lu, awas aja pokoknya ga dateng," ancamnya sekali lagi, pagi ini sudah berkali-kali ia mengancamku.
"Kalo gue dateng gimana? Reward nya apa?" aku balik bertanya padanya. Suaranya seakan berfikir, entah apa yang ia fikirkan.
"Gatau, lu maunya apa?" tanyanya.
"Bayarin gue nonton film, ada yang gue pengen nonton nih, gimana?" usulku.
"Yaudah ayuk," setujunya dan aku semakin bersemangat untuk pergi ke sana. Kapan lagi bisa menonton film dengan laki-laki jutek seperti Wira? Tak akan ada kesempatan emas yang seperti ini lagi.
"Lu mau ke sini hari apa?" tanyanya lagi.
"Hari Sabtu palingan Ka, tar gue berangkat travel pagi dari sini biar gue bisa jalan sama nonton sepuasnya," jelasku.
"Ah parah dah, hari Sabtu kan mahal Sha," jawabnya.
"Ya bodo amat ih ga peduli, kan udah deal," kataku.
"Alah lagian tar juga kalo ketemu gue gue dikacangin, kaya kemaren," tambahku.
"Kemaren kapan?" tanyanya bingung.
"Waktu pensi gak inget?" kataku dengan suara sedikit jutek.
"Oh itu, kan di situ banyak ade tingkat Wira Sha di kampus, lah ga enak gue," alasannya.
"Ah bodo amat tetep aja orang sombong susah," kataku seakan mencapnya jelek.
"Gua mau ngomong," kata Wira.
"Ngomong apaa? Ga gue pegangin kok mulut lu," jawabku.
"Tapi gausah di potong pokoknya," katanya lagi.
"Iya wel," kataku sambil memberikan panggilan kesayangan.
"Baru Asha yang megang tangan Wira di depan umum kaya kemaren, ---" katanya membuka pembicaraan yang kerasa amat serius.
"Ih berarti gue salah ya?" tanyaku ketakutan.
"Ih udah gua bilang jangan dipotong atau gue bakal males ngomong lagi," ancamnya dengan nada menakutkan.
"Iya iya," jawabku.
"Wira ga enak aja, kan banyak ade kelas dari kampus yang ngeliat, kalo emang lagi sepi gaada mereka mah udah Wira tarik ke luar gor deh," katanya lagi. Mau tarik ke luar gor? Bahkan dia menengokku saja tidak, bagaimana caranya dia mau menarikku?
"Ih maaf yaa Ra ih malu," kataku lagi.
"Engga justru Wira mau terima kasih," balasnya langsung mengkoreksi perkataanku.
"Makasih kenapa?" tanyaku penasaran.
"Karna Asha satu-satunya cewek yang berani megang tangan Wira di depan umum," jawabnya lagi.
"Ih itu memalukan dodol jadinya, gue cuma mau biar lo kedengeran suara gue doang Ra sebenernya," jelasku dengan suara agak bingung.
"Btw, emang mantan-mantan lu gaada yang megang tangan lo gitu? hahaha," sindirku kepadanya.
"Gaada Sha," jawab Wira.
"Yaudah ah gue malu," balasku.
"Bangunin gue jam 9 bisa gaak? Gue ada UAS jam 11 tapi gue belom nyatet, nyatet contekan hahaha," katanya yang langsung mengalihkan pembicaraan. Aku langsung mengiyakan dan ia langsung ingin untuk tidur. Kulihat jam menunjukkan pukul setengah enam pagi dan ia baru tidur. Katanya tadi malam ia sama sekali tidak tidur. Dasar Wira selalu saja mengubah waktunya seperti kalong.

Aku memikirkan omongan Wira. Wanita mana yang tak malu mendengarkan kata-katanya seperti itu? Seakan-akan aku wanita murahan yang mau saja memegang tangan orang padahal aku hanya mendekat saja kepadanya agar suaraku terdengar saat itu. Dulu Wira juga pernah berbicara hal itu, tepatnya waktu classmeeting saat ia masih duduk di kelas tiga. Classmeeting terakhir yang dia rasakan di sekolah. Waktu itu final pertandingan futsal mempertemukan jurusanku dengan jurusannya.

Aku bertemu di pelataran gor dan melihatnya sudah bersiap. Ia melihatku dan langsung menghampiriku. Memandangku penuh arti dalam diam. Aku memberi sedikit dukungan dengan kata-kata. Ia hanya diam menatapku, teduh penuh cinta, entah mengapa aku selalu senang melihatnya sedang menatapku seperti itu karna jarang sekali ia melakukan hal itu. Putri yang daritadi berada di sampingku memberisikkanku satu hal. "Sha minta foto lagi sepi cepetan," ucapnya sambil seakan melihat sekeliling. Yap usul bagus dan kesempatan bagus.
"Boleh foto berdua gak?" tanyaku malu-malu. Ia tak menjawab tapi tersenyum dan langsung berada di sampingku.

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang