Baru 5 langkah kakiku meninggalkan Parto dan aku melihat Wira sedang bersama teman-temannya, memegang rokok di tangan kiri dengan bercerita seru bersama-sama sambil melangkahkan kakinya, entah ke mana. Wira melihatku, aku yakin Wira melihatku karna aku selalu memandanginya, mataku dengan awas memandangi ujung kaki hingga rambutnya sampai ia berdiri sejajar dan kemudian beberapa langkah di belakangku. Aku yakin sekali jika ia sempat melihat ke arahku walau hanya beberapa detik. Dan tanpa sedetikpun waktu yang ia miliki diberikan untuk menyapaku.
Setelah membeli minum dan kembali, ku lihat anak-anak sudah berada di luar panti. Entah aku tak tahu di mana aku sekarang, yang jelas ini di Jakarta Pusat dan ada sebuah tanggul tinggi di depannya. Air sungai sedang surut saat kulihat ke bawah, begitu jauh jaraknya dari tinggi tanggul. Aku duduk di atas tanggul tersebut, naiknyapun penuh perjuangan karna jaraknya cukup tinggi dari tanah, berkumpul bersama teman-teman jurusanku karna memang semua tak berbaur, kumpul masing-masing dengan kelompoknya.
"Sha minta minum," ucap Reka padaku.
"Wih beli minum diem-diem ajaa," sambung Avi men-judge ku.
"Itu lu liat lampu ga Vi?" tanyaku sebal.
"Liat lah lu kira gue buta," jawabnya.
"Gue beli minum di situ, tuh gue kasih tau kan," balasku.
"Emang belom imsyak apa?" tanya Parto pada Reka yang hampir saja meneguk air mineral yang ku kasih.
"Emang udah imsyak ya? Serius gue belom minum masi aus banget boleh kali ya?" tanyanya bingung, meminta jawaban dengan menatap satu-satu.
"Imsyak jam setengah lima pinter, ini masi kurang 15 menit berarti," jawab Reza.Aku membeli dua botol air mineral ukuran sedang tadi. Baru saja aku minum setengahnya dan semuanya sudah habis oleh manusia-manusia ini, cerdas sekali mereka, bahkan aku tak dibagi sedikit untuk tegukan terakhir menjelang imsyak. Ku habiskan pagiku kali ini untuk berbincang dengan semua anak-anak ini, anak-anak yang selama setahun terakhir menghiasi hidupku bersama dengan yang lain.
"Lu jadi mau pulang bareng Wira gak?" tanya Zhani memecah obrolan kita pagi ini.
"Emang orangnya mau?" tanyaku hati-hati.
"Kalo lu mau gue bilangin ke orangnya," balas Zhani simple.
"Yaudah iya Zhan," balasku cepat, dengan mata berbinar, dengan perasaan senang. Zhani langsung pergi secepat kilat di tengah kerumunan dan anak-anak meledekku karna wajahku yang terlihat seperti diberikan uang ratusan juta, tapi bahkan uang ratusan juta tak mampu membeli kebahagianku saat ini.
"Sha lu lagi deket ama Wira?" tanya Nuri.
"Engga kok cuma dia janji mau nganter pulang haha, kenapa?" aku balik bertanya.
"Gapapa, kan Wira pernah deketin gue Hahaha," ucapnya santai. Bruk, sepertinya tubuhku seakan terbang lalu dihempaskan ke tanah.Tak lama Zhani kembali padaku dan menarik tanganku mengikutinya dengan cepat. Zhani membawaku ke Wira yang wajahnya seperti ingin memakan orang.
"Udah mau pulang?" tanyaku basa-basi.
"Udah ditungguin daritadi kali," jawabnya ketus. Benar sekali dugaanku dan aku yang sebentar lagi dimakan olehnya.Dia berjalan mengarah ke temannya dengan berteriak meminjam helm. Ia sempat protes karna helm yang dia pinjam tak sesuai keinginannya tapi dia langsung menghampiriku.
"Ayo," katanya tanpa melihat ke arahku.Bad. Perkenalan yang menjijikan, perkenalan paling aneh yang pernah ku rasakan. Aku tak pernah membayangkan akan seperti ini, yang ku bayangkan selalu manis dan ternyata? Mana ada manisnya? Selalu pahit terasa. Apalagi saat kulihat wajahnya yang ingin memakan orang huh mengerikan.
Dia berhenti di depan motor metik biru yang bersih sekali, sepertinya habis dicuci. Kali ini kemeja kuningnya ditutupi sweater rajut berwarna gelap, membuatnya semakin imut. Sepertinya aku tak percaya jika dia lebih tua dariku, wajahnya masih seperti anak kecil, seperti anak SD bukan anak SMK.
Sepuluh motor konvoi pulang, termasuk motor Wira, mengikuti motor hijau yang berada di urutan terdepan, membelah pagi ibukota.
"Lu tau jalan Ra?" tanyaku hati-hati.
"Engga," jawabnya pendek.Wira yang saat ini di hadapanku sepertinya berbeda sekali dengan Wira yang ku kenal biasa. Tak pernah sedikitpun ia membalas kata-kataku dengan pendek dan ketus tapi inilah sekarang, inilah Wira yang asli yang berada di depanku dan ini Wira yang sebenarnya. Sedikit menyesal.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam saja mengikuti laju Wira yang entah ke mana, bahkan aku tak tahu aku sedang di mana saat ini. Kemacetan belum terasa dan membuat perjalanan ini terasa begitu cepat, hanya kekakuan yang menyebabkan perjalanan ini terasa lama, ya karna aku dan Wira sama-sama diam, Wira fokus mengikuti teman-teman di depannya dan aku sibuk melihat jalan, mengusir kekakuan. Motor di depan satu persatu mulai hilang berbeda arah, begitu pula motor yang berada di belakangku, menyisakan satu motor di hadapanku dan motor Wira.
"Koc lu mau lewat mana?" tanya seseorang setelah memperlambat lajunya.
"Koc? Apaan itu," pikirku dalam hati.
"Seterah gua ngikutin aja," jawab Wira.
"Lu mau ke Kuningan kan? Yaudah ke Grogol aja kali ya," usulnya.
"Yaudah iya tar gue di grogol tinggal kiri kan arah palmerah?" tanya Wira memastikan.
"Iya," jawab temannya itu dan langsung memacu motor dengan cepat sehingga berada di depan. Aku merasa asing melihat mereka, padahal sudah satu tahun di atap yang sama, mungkin mereka seperti Wira, terlalu sibuk dengan mimpi indahnya sampai lupa keluar kelas.Wira menyelaraskan lajunya dengan teman di depannya, tidak terlampau lebih cepat dan tidak lebih lambat agar jarak motornya tidak jauh dengan motor temannya. "Bruk," bunyinya keras sekali mengaung di telingaku dengan guncangan keras yang membuat dudukku terperosot sampai dekat sekali dengan Wira. Aku memperbaiki dudukku dan memberi jarak. Wira menghajar lubang yang kurasa dalam, aku tak sadar sama sekali jika ia menghajar lubang. "Bruk," suara itu datang lagi beberapa menit setelah suara pertama. Kali ini aku lebih siap sedikit meskipun aku tetap kaget merasakan guncangannya. Kali kedua, Wira menghajar lubang. Terbesit rasa kesal di hatiku saat ini.
"Dia ga ikhlas banget kali nganter gue pulang, seradak seruduk mulu," kataku dalam hati, tak berani ku keluarkan dengan mulut, bisa-bisa aku diturunkan di tengah jalan dan aku tak tahu sama sekali ini di mana."Bruk,". Tiga kali. Aku lemparkan piring lama-lama. Ku beranikan membuka mulut menghadapnya, ku beranikan mendekat padanya lalu ku buka suara.
"Ra lu bisa bawa motor ga sih?" tanyaku dengan nada sensi.
"Maaf Sha lupa ngomong, mata minus parah nih jadi ga keliatan," jawabnya dengan santai.Motor terus melaju. Perbincangan itu selesai dan hanya suara semilir angin yang terdengar. Tidak ada lagi kendaraan yang lalulalang selain motor Wira dan temannya. Perasaanku mulai tak enak. Motor depan melaju lebih cepat bergerak menjauh, Wira berusaha mengejar sekuat motornya, namun ah motornya tak mampu mendekatkannya dengan motor di depan. Wira memaksa terus memacu metik birunya saat ia sadar lampu berwarna hijau depan beranjak menghilang dan digantikan warna kuning lalu merah. Motor depan sudah melaju melewatinya, persis saat lampu kuning baru saja menyala. Motor Wira tak mampu melewatinya karna lampu merah menyala tepat beberapa meter sebelum Wira lewat. Dengan kecepatan yang masih penuh Wira terlihat ragu melanjutkan atau tidak, terasa sekali ia ragu karna ia sedikit mengurangi laju motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]
Ficção AdolescenteMana mungkin ku mampu pergi saat aku sendiri terikat terlalu kuat? Bagaimana berlari jika merangkakpun aku tak mampu? Terkurung di sini, terdiam menahan sepi Waktu berjalan tanpa mampu ku bendung Waktu pergi tanpa persahabatan Dan cinta pergi tanpa...