"Lu berdua keluar, udah cukup ikut campurnya," bentak Wira pada Puspa dan Zhani yang sedang berdiri di depan pintu.
Di waktu seperti ini aku seakan tak mampu bergerak di atas gendongan Wira. Aku hanya menatap meminta belas kasih dan bantuan dari kedua orang yang sedang berdiri tanpa kata. Sepertinya merekapun sudah merasakan bahwa Wira sudah marah dengan semuanya, semua kebodohan mereka yang membuatku disini, yang membuatnya marah.
Wira menjatuhkan tubuhku dengan kasar ke atas kasur. Aku sedikit meringis, bukan karena sakit tapi karena takut dengsn tingkah kasarnya. Wira berjalan menuju pintu kamarnya. Cekrek, kudengar pintu dikunci. Mampus lah aku sekarang harus mendengar celoteh Wira sendirian.
Aku menutup wajahku dengan bantal, berpura-pura mencari tempat pewe untuk tidur dan menutupi perasaan takut. Aku tak tahu sudah sepucat apa wajahku saat ini. Aku mengutuk keberanianku tadi kabur keluar, bodoh memang.
"Mau lu apa sekarang hah?" Bentak Wira dengan suara agak ditahan. Aku semakin membenamkan wajahku di bantal guling. Air mataku sudah tak mampu ku tahan.
"Gua tanya gadijawab," katanya lagi.
Wira menarik bantal guling yang menutupi wajahku. Aku lengah sehingga mudah bantal guling yang menutupiku ditarik Wira. Aku menutupi wajahku dengan tanganku, aku tak ingin ia melihatku semakin lemah.
"Lu kenapa nangis?" Suara Wira melunak. Ia mencoba melihat wajahku.
"Jangan bikin takut," jawabku di tengah-tengah tangisku.
Wira terdiam. Ia tidur di sebelahku, menghadapkan tubuhnya ke tubuhku dan tangan kirinya memelukku yang sudah sangat kacau. Ingin tahu rasanya? Seperti jantungku berhenti berdetak dan tangisku mereda, meninggalkan isak yang tak bisa aku kuasai suaranya. Ia berubah hangat, berubah membahagiakan meskipun bahagia yang ia berikan begitu semu.
"Jangan bikin gue semakin banyak masalah bisa?" Tanyanya yang sepertinya perintah. Meskipun suaranya melunak tetapi ketegasan dalam intonasi katanya membuatku mengiyakan seketika.
"Gausah nangis lagi, coba liat gue," katanya dan aku segera membuka penutup wajahku.
"Sha, yang lo tau dari gue itu ga 1% dari hidup gue," Wira sedikit menjelaskan sesuatu yang entah aku tak paham maksudnya apa.
"Jangan buat gue makin terpuruk, masalah gue banyak, gamau terpuruk lagi cuma gara-gara cinta," katanya yang membuatku mampu melihat matanya.
"Kalo menurut lu ini gapenting gausah lu bahas, tapi asal lu tau, lu itu penting Ra di hidup gue," jawabku yang entah dengan keberanian darimana.
"Maunya apa?" Tanya Wira dengan intonasi lembut yang seakan-akan dibuat-buat. Dia mungkin sudah lelah berbicara denganku.
"Lu bilang sayang tapi lu gapernah kasih kabar, kita itu apa sebenernya? Gue fikir sederhana, gue sayang lo, lo sayang gue dan yaudah, tapi kenapa rumit? Kok kayanya kata sayang lo gaguna," jawabku.
"Sha, lo pernah dikhianatin? Bukan sama lawan jenis tapi sama orang terdekat? Keluarga mungkin?" Tanyanya padaku dan aku berfikir keras untuk menjawab pertanyaannya. Mengulas-ulas masalah hidupku namun sepertinya aku tidak menemukan apapun.
"Untuk orang kaya lo, mungkin percaya sama kata sayang gampang. Ortu lu setidaknya gapernah kecewain lu dengan kata-kata sayang. Sementara gue Sha? Gue selalu dikecewain orang rumah yang ngakunya sayang sama gue," jawabnya. Sebenarnya aku belum menjawab pertanyaannya, namun ia seakan dapat membaca jalan fikiranku.
"Mungkin masalah terbesar lu itu gue, mungkin pertanyaan terbesar hidup lu itu kenapa sikap gue kaya gini ke elu, tapi masalah kecil dihidup gue itu sekarang, gue belom tau bisa lanjut kuliah atau engga," jela Wira padaku yang membuatku mengerutkan dahi.
"Maksudnya?" Tanyaku bingung dengan apa yang ia katakan.
"Udahlah Sha, gue udah bilang, hidup lu terlalu enak, gapunya masalah rumit kaya gue," balas Wira dan aku menunjukkan wajah protes tak terima.
"Masalah itu dijalanin bukan diomongin. Banyak orang yang masalahnya lebih rumit dari lu kenapa elu selalu ngerasa masalah lu lebih dari orang-orang? Kalo lu butuh tempat buat cerita, gue bisa denger cerita lu dari a-z, tapi gausah ngejudge gue, gausah bilang gue kaya gitu, yang tau masing-masing kan kita sendiri, orang lainpun ga perlu tau," nasihatku padanya. Aku tak tahu apa lagi yg ada difikiran anak itu.
"Gue balikin lagi, lu cuma tau 1% dari hidup gue, lo gatau apa-apa karena lo gapernah peduli apapun," timpalku lagi.
"Mau lu sekarang apa?" Tanyanya dengan nada tinggi. Tangannya sudah terlepas entah sejak kapan aku tak sadar.
"Cuma mau lu ngasih tau, mending gue move on atau bertahan," ucapku.
"Itu pilihan lu, semua itu keputusan lu," balasnya dengan acuh sambil membuang wajah ke arah pintu.
"Gue nyerah Ra, gue nyerah ngadepin lu, semoga lu bisa bahagia sama hidup lu ya, gue tau Wira gue kuat," jawabku dengan lembut.
"Gue ke kosannya Zhani aja gaenak ganggu lu di sini," tambahku yang langsung menggendong tas dan berjalan ke arah pintu.
Aku berjalan dengan pelan. Dalam hati, ingin sekali aku bertahan di sini, setidaknya malam ini kulihat Wira bersamaku. Perpisahan dengan air mata yang tak bisa ku keluarkan dari persembunyiannya.
"Setidaknya kalo lu mau move on, malam ini terakhir lu sayang gue, setidaknya biarin malem ini gue nemenin lu Sha," suara pasrah terdengar begitu memprihatinkan.
Aku menengok wajah Wira yang samar-samar karena lampu kamar dipadamkan. Satu kata, ia begitu berharap dalam kata-kata yang baru terucap.
Aku kembali ke kasur dan duduk di sebelahnya. Wajah Wira tertunduk, air matanya keluar meskipun hanya setetes, aku melihatnya. Membuat langkahku untuk pergi semakin berat.
"Gausah nangis, gue cuma butuh kepastian," ucapku.
"Gue cuma butuh pembuktian," balasnya.
"Apalagi?" Tanyaku.
"Gue belom yakin sama lu, Sha. Gue gayakin rasa sayang lu ke gue," balasnya sambil menatapku lekat-lekat.
"Perlu gue bahas pengorbanan gue biar jadi bahan pertimbangan omongan lu?" Tantangku.
"Apa Sha?" Tanyanya dengan nada berharap.
Aku terdiam menatapnya lekat-lekat, apa ia masih harus bertanya hal ini?
***
Hai aku comeback. Maaf baru selesai UAS dan tenang lagi dikebut biar ceritanya cepet-cepet selesai. Aku udah gak kuat nahan rindu terlalu lama kalo ngetik ini semua, see you guys and selamat menjalankan ibadah puasa♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]
Teen FictionMana mungkin ku mampu pergi saat aku sendiri terikat terlalu kuat? Bagaimana berlari jika merangkakpun aku tak mampu? Terkurung di sini, terdiam menahan sepi Waktu berjalan tanpa mampu ku bendung Waktu pergi tanpa persahabatan Dan cinta pergi tanpa...