Keduabelas

314 12 0
                                    

Aku berdiri menunggu langkah kakinya, tak terlalu jauh jika ia berjalan dengan cepat, namun ia sepertinya memperlambat langkah kakinya dan membuat aku dan Zhani menunggunya.
"Lu kapan mau jalan? Anak jurusan gue dikit lagi jalan," kata Zhani.
"Asha sama Wira kan?" tanyanya padaku tanpa memperdulikan omong Zhani. Aku hanya mengangguk.
"Yaudah gue ambil motor dulu di tongkrongan belakang Zhan," balasnya pada Zhani.
"Terus gue nunggu mana?" tanyaku bingung. Anak-anak di depan hanya menunggu Zhani saja dan aku tak tahu harus menunggu di mana, ditinggal Wira dan teman-teman sejurusanku.
"Tunggu di pos satpam aja gua ambil motor dulu," jawabnya dan langsung meninggalkan aku dan Zhani. Aku menjadi cemas, jika ia sudah menungguku daritadi mengapa ia tak membawa motornya ke sini?

Wira berboncengan dengan entah siapa aku tak tahu namanya, bahkan wajahnya saja terasa asing di mataku. Aku dan Zhani bergegas ke depan, menemui anak-anak yang sudah menunggu di lobby depan. Semua mata tertuju padaku dan Zhani saat kami mendekat. Memang mereka hanya menunggu kami berdua. Beberapa bahkan sudah menghidupkan motornya saat jarak kami hanya tinggal beberapa meter saja.
"Sha lu tungguin aja di pos satpam, ke tongkrongan belakang gak lama kok," suruh Zhani dan aku langsung bergegas ke arah pos satpam yang tak jauh dari lobby.

Aku menunggu di sebelah Mang Kus, tukang rujak yang sudah melegenda di sini sampai ada video di youtube khusus untuk dirinya. Aku membeli minuman untuk menghilangkan rasa hausku. Mataku mengawasi setiap motor yang berjalan ke arahku, menunggu Wira.
"Sha lu ama siapa emang?" tanya Reka saat rombongan anak jurusan keluar melewatiku, anak-anak itu berhenti sebentar untuk menanyakan nasibku.
"Ama temen gue tar dikit lagi sampe kok," balasku.
"Dia tau jalan gak? Atau mau kita tungguin?" tanya Zul.
"Tau udah selaw nanti kalo nyasar gue tinggal chat kalian aja," jawabku menggampangkan. Setelah mereka mendengarkan jawabanku, satu persatu dari mereka pamit, termasuk Zhani yang mengkodekanku untuk tenang menunggu, seakan ia tahu Wira akan sampai dengan segera.
"Sha mau nonton futsal?" tanya seseorang dari samping Mang Kus. Billa, cewek tinggi cantik yang berbeda kelas denganku.
"Iya Bil, lo juga?" tanyaku berbalik.
"Engga gue lagi nunggu jemputan, lu ama siapa?" tanyanya lagi.
"Ama temen gue tapi dia lagi ngambil motor bentar," balasku.

Lima belas menit berlalu dan entahlah aku tak melihat Wira sama sekali. Aku mengawasi setiap motor yang melewatiku tapi tak ada Wira. Selama itukan dari tongkrongan ke sini? Bahkan dari sana ke sini dengan berjalan kaki hanya butuh waktu 10 menit dan sekarang sudah lebih dari 15 menit. Ingin rasanya aku pulang dan melupakan kejadian ini. Apalagi aku tak membawa handphone sehingga aku tak bisa menanyakan di mana dia.
"Sha duluan ya gue udah dijemput, dadah Asha, see you tomorrow," ucap Bila yang bergegas pergi menghampiri motor yang berhenti tak jauh dariku yang dikendarai oleh bapak dengan usia 40 tahun-an.
"Dadah," jawabku dengan suara lemas, capek menunggu yang tak kunjung datang.

30 menit berlalu dan ku lihat Wira berada di ujung sana, baru saja terlihat dan ia langsung mengenali diriku di mana karna ia langsung berhenti tepat di depanku. Wajahnya sedikit cemberut, entah kenapa tapi itu cukup membuatku takut melihatnya.
"Lama banget sih udah setengah jam tau di sini," kataku.
"Gausah bawel cepet udah telat,"

Siapa yang membuat kita telat? Bukannya dia yang datang terlalu lama sehingga kita telat? Tapi siapa yang seharusnya mengomel? Aku atau dia?

Perjalanan tersepi yang pernah ku rasakan. Hanya terdengar suara dari motor dan mobil di sebelah tanpa aku dengar sedikitpun suara Wira. Ya, selama beberapa menit tubuh kami hanya berbeda beberapa centi saja tetapi kami terbuai oleh diri masing-masing. Aku tak ingin mengganggu konsentrasinya,atau lebih tepatnya, aku takut dimakan olehnya karna wajahnya sudah cemberut sedaritadi.
"Ra tau jalan kan?" tanyaku padanya.
"Engga," singkat, padat, menyebalkan. Wajahnya begitu tenang, entah ingin dibawa ke mana aku ini.

Jam menunjukkan pukul 5 dan futsal sekolahku mulai setengah jam lagi. Wira masih membelah jalan yang entah ini di mana, aku tak menguasai sama sekali wilayah Jakarta Barat. Aku memandangi sekitaran, sudah di Kebon Jeruk dan Wira masuk ke dalam gerbang gor lalu memarkirkan kendaraannya.
"Ngapain lo di sini Chan?" tanya seseorang dengan perawakan tubuh tinggi besar. Aku asing dengan wajahnya dan 'Chan'? Aku tak pernah mendengar jika Wira dipanggil seperti itu.
"Nontonlah ini sekolah gue masuk final haha," jawab Wira sambil menjulurkan tangannya untuk bersalaman, terlihat sekali perbedaan dua orang ini bahkan Wira terlihat kecil sekali.

Wira meninggalkan temannya setelah berpamitan dan bergerak ke arah bagian tiket. Aku mengikutinya dari belakang, memegang sedikit baju batiknya agar aku tak tertinggal jauh darinya.
"Ada duit gak? Tiketnya 15 ribu," ucap Wira padaku. Aku hanya mengangguk dan menyodorkan uang 20 ribu.

Setelah mendapat cap aku dan Wira bergerak ke dalam. Aku lihat Zhani berada di pintu masuk gor, sendirian menunggu aku dan Wira sepertinya. Saat aku dan Wira sudah dekat ia langsung memimpin, memberitahukan aku dan Wira di mana anak-anak berada. Masuk gor kulihat teman-temanku berkumpul di sebelah kanan tribun, aku segera melangkah menuju teman-temanku, meninggalkan Wira yang duduk di depan bersama teman-temannya.

Tim futsal sekolahku mulai memasuki lapangan, Wira mengibarkan bendera bertuliskan nama sekolahku di barisan terdepan, mengibarkan dengan penuh percaya diri. Lucu sekali anak itu, membuatku terpana melihat tingkah lakunya.
"Sha kepala gue pusing dah," kata Rani padaku.
"Sama, gue lupa gue belom makan jadi pusing," jawabku.
"Keluar yuk Sha bentar," ajak Rani dan aku langsung mengikuti gerak Rani yang menuruni tangga.
"Makin pusing gue di dalem berisik, laper," kataku saat sudah keluar dari gor.
"Nah itu bener tuh," balas Rani.

Lima menit aku dan Rani di luar berbincang-bincamg dengan tenang, keluar dari kegaduhan. Suara speaker terdengar lebih kencang dari suara kegaduhan itu, berbicara bahwa pertandingan final akan di mulai beberapa saat lagi. Aku dan Rani langsung masuk ke dalam, tak ingin aku melewatkan pertandingan ini.

Saat ingin menaiki tangga untuk kembali ketempatku tadi, aku dikagetkan dengan kehadiran Wira saat aku mengangkat kepalaku. Wajahnya khawatir, seakan bertanya 'Lo kenapa?' dalam diam. Aku mengangguk lalu tersenyum, seakan berbicara jika aku tak kenapa-napa. Ia langsung tersenyum dan beranjak kembali ke depan. Wajah khawatirnya membuatku senang, bahwa Wira peduli padaku.

Pertandingan berlangsung meriah. Penonton tim lawan berada di sebrangku. Adu lagu antar penonton semakin memperparah derby ini. Babak pertama, masih kacamata dan babak kedua, GOL!!!! Gol untuk tim lawan membungkam suara dari penonton sekolahku. Dan hasil akhir 1-0, kami kalah.

Tepat pukul 7:30 malam pertandingan selesai. Aku masih duduk-duduk berbincang dengan teman-temanku sekalian menunggu antrean anak-anak yang keluar. Setelah pintu itu agak sepi kami baru keluar dari gor. Rani dan Nuri belum keluar dan menyebabkan aku dan yang lain menunggu mereka, entahlah sedang apa mereka di dalam.
"Yeeeh orang malah di sini," ucap Adit yang langsung menarik tanganku.

Adit berjalan secepat kilat. Membuatku semakin sulit untuk menyelaraskan langkahku dengannya. Tanganku dipegang dengan keras seakan ingin menculikku. Lorong begitu gelap tak ada pencahayaan sama sekali. Membuat nyaliku ciut. Perasaan tadi aku tak melewatinya? Atau aku yang tidak sadar karna masih sore hari dan ada cahaya dari sang surya?

Diujung lorong kulihat ada api-api kecil menyala, seperti rokok dari beberapa orang. Saat aku berada di ujung lorong, muka seseorang yang di hadapanku tak asing ku lihat, ya Wira sudah menungguku di situ dengan wajah masamnya. Huh kena semprot juteknya dia lagi sepertinya.

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang