ketigapuluhlima

183 9 2
                                    

Bahkan berlalunya hari tak membuatku mudah menjadi ceria kembali. Entah, apa Wira tak pernah merasakan atau memahami efek perkataannya waktu itu seperti apa? Aku seperti di ambang kehidupan, yang tak tahu di mana arahku, aku tak tahu aku harus maju atau mundur, yang aku tahu, aku begitu menyedihkan, mengharapkan seseorang untuk berada di dekatku terus.

Apa Wira mengigau waktu berbicara perasaannya? Atau bahkan aku yang terlalu bodoh karena percaya dengan banyak kebohongan yang ia katakan? Hidupku hanya berada di satu tempat berputar-putar di tempat yang sama tanpa berubah.

"Mau sampe kapan?" Tanya Widya, teman kampusku yang bahkan sudah jenuh melihatku seperti ini setiap pulang dari Bandung.

"Sampe gue udah ga sayang sama dia," jawabku enteng.

"Lo yang gamau ngelupain sih, gimana lo bisa move on," nasihatnya.

"Gampang gitu lu move on disaat dia ngungkapin kalo dia mau bales cinta gue?" Ngototku pada Widya.

"Ya lo berarti harus sadar, rasa sayangnya dia itu cuma di mulut, lu bego?" Marahnya padaku.

"Ya itu yang gue arepin, gue gaberharap dia jadi pacar gue, tapi gue berharap dia punya rasa yang sama ke gue," balasku.

"Bedain deh pemikiran lo, lo boleh sayang, cinta, ataupun yang lainnya, tapi come on, udah berapa tahun lo diginiin? Dan dengan begonya lo masih iya setiap kali dia dateng ke hidup lu?" Cerocos Widya panjang lebar yang membuatku membenarkan dalam hati.

"Coba lo tutup celah yang sering dia ambil, bisa jadi kan lo itu cuma pelarian? Bisa aja dia cuma butuh disaat yang satunya gabisa nemenin dia, bukannya kaya gitu sama aja pemaen cadangan? Lo tuh cuma bonekanya dia, dia mainin seenaknya, dia buang seenaknya, dan begonya, bertahun-tahun lo gapernah sadar," nasihat Widya lagi.

Entah semua perkataan manusia-manusia diluar sana seakan menguap, seakan hanua lewat. Andai mereka jadi aku, apa mungkin melepaskan seseorang yang dicintai padahal orang itu memiliki rasa yang sama? Ku rasa tidak, karena berbicara tanpa merasa itu mudah, yang sulit itu, merasakan.

"Lo buka hidup lo, cowok bukan dia doang yang baik, bukan dia doang yang ganteng," lagi, sepertinya Widya sudah tak mampu menahan emosinya berbicara denganku.

"Dia yang gue butuh," jawabku dengan tegas.

"Lo yang gapernah buka hati lo buat liat siapa lagi yang lo butuhin selain dia, dia aja gapernah ada di sebelah lo, lo butuh apanya? Ga habis fikir gue Sha, sebego-begonya cewek ya itu elo," nasihat Widya lagi dan lagi.

Bahkan aku sudah muak dengan kata-kata manusia di muka bumi. Mereka banyak berbicara tanpa mendukungku. Entah apa mereka adil? Apa aku harus mengikuti keinginan mereka yang menyebalkan itu? Aku sayang dan aku ingin tetap di sebelah laki-laki itu, apa salahku?

***

Aku membuka handphone saat kulihat ada 6 panggilan takterjawab dari Puspa. Ku kerutkan dahiku, sepenting apa sampai harus menelponku berkali-kali. Dengan sisa-sisa kesadaran aku mencoba menelpon Puspa.

"Sha si Zhani," Puspa langsung berkata demikian setelah telponku ia angkat, suaranya cemas, takut.

"Kenapa?" Tanyaku dengan suara yang masih malas-malasan.

"Tipes terus dibawa ke rs," jawabnya.

"Terus?" Tanyaku lagi.

"Ayo ke Bandung temenin gue di Bandung," jawabnya.

"Ah gamau ah gue lagi nugas nih banyak, ngampus juga gue besok," tolakku.

"Ayo kenapa sih gue bayarin, ayo ke Sha masa lu suruh gue sendirian, tolongin," paksanya padaku.

Ada rasa yang berbeda saat ini, saat di mana dejavu kejadian dulu saat ku ke bandung terulang kembali. Aku memang pengecut, tak berani menghadapi keadaan yang seharusnya aku rasakan. Aku terlalu negative thinking, toh bisa saja memang Zhani sakit kan? Tapi entah kenapa pikiranku dipenuhi oleh pikiran buruk tentang Wira. Yang jelas, aku sama sekali tidak menginginkan kejadian buruk untuk Wira, tidak dan tak akan pernah.

"Lu mau ke sana kapan?" Tanyaku.

"Nanti sore gimana?" Tanya Puspa.

"Yaudah gue malemnya ya, gue masih ada kuliah ampe jam 5, istirahat ganti baju, abis magrib kali jalan," jawabku yang dengan tidak langsung mengiyakan ajakannya.

Bertemu Wira lagi. Entah akan ada cerita apalagi.

***

Hujan deras mengguyur kotaku. Membuatku memeluk jaket lebih erat didalam bus jurusan Bandung. Aku melihat ke arah langit, begitu gelap segelap perasaannya padaku. Tak pernah berfikir lebih jauh aku untuk berangkat ke kota Bandung, bukan, bukan karena Bandung kotanya anak hits saat ini, tapi karena kota ini punya Wira di sana, ditempat itu.

Aku turun dipinggir tol dan kulihat dikejauhan Puspa telah menungguku. Mengapa Puspa? Biasanya Wira? Langkah kakiku terasa tertahan, ada rasa takut namun entahlah takut apa yang kurasakan. Menerima kenyataan bahwa terakhir aku di Bandung aku melihat Wira tergeletak tak berdaya seperti itu buatku tak bisa mengendalikan untuk berkata dalam hati, aku takut, tak ingin ia kenapa-napa.

"Lama banget," protes Puspa.

"Kok di sini cuma gerimis ya, padahal dari tadi gue ujan terus gede lagi," kataku dan langsung naik ke motor Zhani.

"Kita mau ke mana? Perasaan ini arah kontrakan Wira," tanyaku bingung.

"Gue disuruh Zhani boong Sha," ucap Puspa lalu Puspa memelankan laju kendaraannya.

"Maksudnya? Jangan bilang Wira kenapa-napa?" Tanyaku dengan wajah bingung yang sudah tak mampu ku sembunyikan.

"Wira gapapa kok," jawab Puspa lemah lalu ia menjalankan motornya ke rumah bercat hijau yang sering disebut "GREENHOUSE".

Keadaan rumah ini selalu ramai semakin malam. Udara bekas gerimis di kota ini begitu membuat tubuh ingin membeku. Aku berjalan masuk di belakang Puspa, mengikuti Puspa yang bergerak masuk ke sebuah kamar yang selalu ku rindukan.

"Udah dateng yang ditunggu," ucap Zhani saat aku sudah masuk ke dalam kamar.

Dan deg, disebelah Zhani, seseorang bermata sipit langsung terduduk melihat aku yang berada di dekat pintu, mematung seakan tak percaya.

***

Maafin aku yang terlalu lama updatenya. Dikampus lagi sibuk dan feel nulis lagi jelek sejelek-jeleknya. Kayanya dikit lagi bakal tamat deh. Mungkin ga sampe 5 part lagi biar kalian juga ga bosen sama Asha dan Wira. Terimakasih buat yang masih nunggu ceritanya ya

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang