Jalanan malam Bandung begitu sejuk cenderung dingin. Saat ini aku sedang diatas motor bersama Wira, mengenakan helm dua dan siap meluncur ke ibukota Indonesia. Jam masih menunjukkan pukul 9 malam lebih 25 menit, dan entah akan sampai pukul berapa di Jakarta.
Semakin cepat motor menambah lajunya, semakin tertusuk rasa kulitku oleh udara malam, sial sekali aku tak membawa jaket tebal, hanya jaket jeans lusuh yang sudah menemani semenjak pertama aku bertemu dengan Wira. Ku rekam lekat-lekat jalur ini, akankah menjadi kenangan dan pemisah di antara kami?
"Dingin?" Tanya Wira dengan suara lembut. Aku langsung menjawab tidak, meskipun sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya.
"Kan udah Wira bilang pake jaket Wira kenapa ganurut sih?" Omel Wira dan aku hanya cengengesan di belakang.
Wira menepikan motornya, aku sedikit degdegan dengan apa yang ia lakukan. "Mau marah lagi?" Pertanyaan itu berputar-putar pada batinku.
Wira membuka tasnya dan mengeluarkan jaket merah maroon bercampur putih atau kuning yang sudah lusuh. Kalian mau tahu mengapa aku tak ingin memakainya? Karena jaket ini adalah jaket yang beberapa tahun lalu Wira pinjamkan kepadaku, apa harus aku mengulang kenangan masa lalu terus-menerus? Aku ingin masa depan saja.
"Pake, double aja," perintahnya dengan tegas. Aku hendak protes padanya dengan mimik wajah.
"Perjalanan masih jauh, mau sakit?" Ucapnya yang melunak.
Aku segera memakainya. Jaket ini begitu harum khas Wira, harum yang takmungkin ku lupakan. Sejenak aku berada diatas awan membayangkan kebahagiaanku, tanpa sadar, manusia yang ku bayangkan ada di depanku sendiri, jadi buat apa ku bayangkan?
Wira melesat dengan kecepatan sedang. Iya sepertinya terganggu dengan mata minusnya. Dikanan dan kiri masih terdapat banyak pohon-pohon yang tentunya membawa kesan angker. Belum lagi penerangan yang kurang memadai membuat jarak pandang terbatas.
"Lo tau ga? Gue pernah jatoh disini sama Safii," Wira bercerita.
"Nabrak?" Tanyaku.
"Ditabrak truk, jam 1 malem pula," ceritanya lagi.
"Lah terus elu gimana? Ga takut apa di sini?" Tanyaku bingung.
"Abis di tabrak, gue sama Safi jatoh ke bahu jalan, truknya kabur, motor rusak parah, pokoknya kacau, untung jam 3 anak-anak pada jemput," jelas Wira.
"Terus gatakut ada begal atau apa gitu?" Tanyaku kepo.
"Ditas gue ada pisau, jadi gue udah siap, kalo ada yang macem-macem, langsung keluarin aja di kiri yang tempat minum, kecil tapi tajem banget," jelas Wira lagi dan aku menjadi takut mendengarnya.
"Kalo yang macem-macem gue gimana?" Tanyaku.
"Awas aja lo mah di kampus macem-macem, gue hajar bocahnya," ancamnya yang membuatku tertawa. Padahal ku rasa maksudku bukan seperti itu.
"Inget, lucuma ngampus di sana, udah ada yang nunggu lu di Jakarta, gue pastiin itu," ucapnya dengan nada berubah serius. Aku mengangguk tanpa ingin sedikitpun membalas kata-katanya.
Tepat jam 12 malam kami akhirnya sampai di warjok untuk beristirahat. Udara kali ini lebih dingin 2x lipat dibanding tadi. Kami duduk di teras, memandang jalan yang hanya dilintasi beberapa kendaraan saja. Puncak terlihat begitu sepi, mungkin karena bukan malam minggu? Atau puncak mengerti kalau kita membutuhkan waktu berbincang lebih banyak berdua.
Di temani secangkir kopi, air mineral botol dan rokok filter kesukaan, Wira menerawang menatap jalan yang sepertinya tak berujung. Keningnya sedikit berkerut, menandakan ia sedang berfikir sesuatu meskipun aku tak tahu apa. Beberapa kali ia menarik nafas secara kasar, menandakan ia seakan mencari suasana relax dalam dirinya, padahal aku? Sangat relax dengan kehadirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]
Ficção AdolescenteMana mungkin ku mampu pergi saat aku sendiri terikat terlalu kuat? Bagaimana berlari jika merangkakpun aku tak mampu? Terkurung di sini, terdiam menahan sepi Waktu berjalan tanpa mampu ku bendung Waktu pergi tanpa persahabatan Dan cinta pergi tanpa...