Keenam

462 14 2
                                    

***
sekitar satu tahun yang lalu...

Demam gunung melanda semua anak muda di penjuru negeri. Berkat film 5 cm yang sukses membangkitkan rasa penasaran mencoba gunung-gunung yang banyak berjejer di Indonesia. Begitu juga Wira, sepulangnya dari Gunung Gede akhir tahun lalu, keinginannya untuk naik gunung seperti sedang membara. Awal ajaran semester genap ia mulai menyusun rencana untuk membuat komunitas pecinta alam di sekolah yang memang selama ini belum ada. Dirintis 10 orang, mereka mencoba mencari anggota-anggota baru. Pertemuan pertama berhasil mengumpulkan 20 anak yang tersebar dari kelas 1, 2, dan 3. Terkumpul 30 orang, termasuk 5 orang wanita di dalamnya.

Aku tertarik untuk ikut ke dalamnya namun ku urungi niatku tersebut. Wira bahkan tak pernah sedikitpun mengajakku untuk bergabung, Zhani pun sama. Pertemuan pertama mereka persis sekali di depan kelasku. Pertemuan pertama bisa ku lihat Wira terduduk di pojok di deretan para perintis. Ku lirik-lirik ke jendela depan dan aku mampu melihat Wira dari sini. Sudah 6 bulan aku bersamanya tapi tetap saja, aku selalu bahagia meskipun hanya memandangnya dari jauh.

Pertemuan mereka berakhir, semua kembali ke kelas masing-masing, tepat saat bel masuk berbunyi dengan lantang. Zhani memasuki kelas dan aku segera mengejarnya.
"Ngapain lu di kelas gue?" tanyanya bingung.
"Tadi kan ada Wira terus kalo di kelas aku ga keliatan jadi aku di sini deh, strategis banget deh di sini tadi," jelasku pada Zhani.
"Sha lu sadar gak sih?" tanya Zhani.
"Sadar kok kalo ga sadar gue di UKS lah," balasku.
"Lu udah deket ama Kocan lama banget ya, berbulan-bulan, toh nih ya kalo lu nemenin dia di sampingnya dia dia juga gabakal marah, daripada lu liatin dia dari jauh mending lu samper," panjang lebar dia mengingatkanku.
"Abis gue malu Zhan ih elu mah," jawabku sambil beranjak pergi ke kelas.
"Kasih kucing makanya," treak Zhani dan aku tak mengihiraukannya.
"Eh btw Zhan gue mau ikut dong naik gunung, lu pada mau naik gunung gede lagi kan?" tanyaku sambil berbalik badan, berlari secepat mungkin ke arahnya kembali.
"Lu mau ikut? Yakin?" tanyanya ragu.
"Zhan, gue pernah hiking ke bunder, gue janji gabakal nyusahin pokoknya ayolah aku ikut, please," ucapku meminta.
"Yaudah tar dah gue bilang," kata Zhani dan aku segera pergi ke kelas.

Sore sepulang sekolah Wira menelponku, tepat sekali saat aku berada di halte busway di dekat sekolah. Suasana sedang ramai, lalu lintas sudah padat dengan mobil dan motor yang lalulalang. Suara Wira terasa jauh, terdengar begitu kecil tak terlalu terdengar di telingaku. Saat pertama kulihat Wira yang menelpon, aku semangat sekali ingin mengangkatnya, dan percakapannya membuatku kecewa.

"Asha ngapain sih pake mau ikut naik gunung segala?" tanya Wira yang lebih ke menuduh.
"Suara lu ga jelas Ra," jawabku dengan lembut.
"Yaudah di whatsapp ajaa deh," balasnya yang langsung menutup telponnya.
"Asha ngapain pake mau ikut ke gunung segala?" tanyanya untuk kedua kalinya.
"Emang ga boleh ya?" balasku dengan segera.
"Engga," singkat, padat dan jelas. Kecewa, sangat.
"Yaudah deh gue gajadi ikut Ra," jawabku pasrah.

Aku tak bisa menggambarkan perasaanku. Sakit dan kecewa itu pasti. Mungkin dia merasa aku mengganggunya? Ya itu pastinya. Aku terlalu manja dan mungkin ia merasa aku mengganggu.

Beberapa hari setelah itu aku bercerita ke Zhan, seluruhnya. Semua rasa yang ku pendam dan Zhan mendengarkan tanpa bersuara sedikitpun. Setelah puas mengeluarkan unek-unek, aku meminjam ponsel Zhani.
"Yaudah gue ke kelas sebelah dulu yak ada urusan lu pegang dulu aja hape gue," katanya yang langsung beranjak pergi.

Ku bukan chat BBM antara Zhani dengan Wira. Seketika ku baca seluruhnya, dari atas hingga bawah. Hingga aku mampu mengutip sesuatu.
"Slot buat cewek masih ada nih"
"Lu ngapa gabolehin Asha ikut?"
"Gamau gue tar gue kan pegang cewek, kalo dia capek gue bawain tasnya tar yang laen gimana ? masa harus gue bawa juga udh kaya porter gue"
"Lu gamau dia jadi anak emas gitu?"
"Iyalah Zhan"

Sedih? Pasti. Menurut Wira aku hanya mengganggunya saja, aku terlalu manja mungkin baginya. Aku merasa tak pantas berada di sampingnya, dari dahulu saat Wira menemaniku ke mana-mana, aku selalu bahagia dan dengan percaya dirinya mengenalkannya, sementara dia? Dia merasa aku pengganggu hidupnya saja.

Bel istirahat siang berbunyi dan aku langsung ingin pergi ke kantin bersama Rahmah dan Putri. Setelah membeli tiga porsi ketoprak di Babe dan tiga botol air minum, kami bergegas ke atas. Saat aku sedang mengobrol dengan Rahmah dan Putri, Wira lewat bersama teman-temannya. Aku melihatnya sekilas sebelum ia berlalu melewatiku, aku hanya melihatnya sekilas saja tanpa menyapanya. Wira berlalu perlahan, bergerak persis di sampingku dan saat ia sudah berlalu di belakang, ia mencolek pundakku, seakan ingin bercanda dan aku diam saja tak membalas ataupun.

Sejak setengah tahun lalu itu interaksi paling dekat kami di sekolah. Wira jarang sekali mengajakku mengobrol di sekolah, jangankan mengobrol, kadang aku colekpun ia tak menengok sama sekali. Manusia itu terlalu misterius, kadang aku bisa merasa Wira sangat sayang padaku dan bisa merasa sebaliknya.

"Lu ada apa sama Kocan?" tanya Rahmah padaku.
"Gapapa emang kenapa?" aku malah balik bertanya.
"Asli Sha muka lu udah kaya mau makan orang 10 biji asli tadi," jelas Putri, memberitahu dengan wajah seakan apa yang diucapkannya benar-benar terjadi.
"Lagian gue kesel ama dia udah ah bodo," balasku.
"Biasanya kalo ketemu Kocan senengnya setengah mampus lu Sha," kata Rahmah sambil tertawa, diikuti tawa Putri yang menggelegar. Dan aku diam saja, masih memikirkan hatiku yang pilu saat ini.

Dua hari berikutnya aku tak kuasa lagi menahan semuanya. Kuputuskan untuk meminjam ponsel Zhani untuk menghubunginya. Ponsel ku android dan tidak ada aplikasi BBM di dalamnya dan Wira selalu lebih aktif di BBM daripada di whatsapp atau di sms.
"Ra, gue mau ikut naik gunung," kataku membuka pembicaraan BBM pagi itu.
"Engga," jawabnya singkat.
"Mau ikut, titik," balasku kesal.
"Kalo mau ikut naik gunung lo lupain gue," ucapnya.
"Gak mau," balasku cepat.
"Yaudah gausah ikut gausah bawel," jawabnya lagi.
"Mau ikut tapi," balasku kembali.
"Mana data diri lo sini gue data cepetan sini," katanya padaku.
"Gamau kalo harus ngelupain," balasku.
"Bodo lah gua tunggu data diri lu gausah ribet males gue," bentaknya padaku.
"Ah gamau Ra," tolakku.
"Bodo jan bikin gua ribet," balasnya singkat dan pesan dari Wira seketika kehapus. OMG Wira delete contact Zhani.

Aku gemetar ketakutan. Aku tak membayangkan apa yang akan terjadi antara aku dan Wira. Wira terlihat marah sekali padaku. Ku coba untuk mengirim sms kepadanya namun nihil, berapa kali ku kirim pesan singkat dan tidak ada respon sama sekali.
"Zhan nih hape," kataku saat baru saja sampai di mejanya.
"Udahan?" tanyanya meyakinkan.
"Udahan, btw itu elu di dc ama Wira," jawabku langsung beranjak pergi.
"Kok bisa? Wey jangan kabur," tanyanya kembali.

Aku menarik kursi yang ada di samping Zhani, membetulkan posisi dan duduk dengan santai. Menunduk menutupi air mataku yang terus menerus mengalir karna takut, hubunganku sedang tidak ada masalah sama sekali dan kini karna masalah itu semua terbelah menjadi dua. Aku menceritakan semuanya, kejadian pagi tadi yang tak pernah kubayangkan ini terjadi.
"Lagian elu dibilangin batu, Kocan mah kalo A ya A," marah Zhani padaku.
"Ya terus gue harus apa?" tanyaku bingung.
"Yaudah sini data diri lu, lu lupain Wira, naik gunung deh bareng gue," candanya padaku, melihat mukaku yang langsung masam dia tertawa tak henti-hentinya.
"Udah diemin dulu aja dia lagi marah, nanti juga baikan," nasihat Zhani dan aku mulai menenangkan diri.

Ku tunggu balasan pesanku. Biasanya Wira akan membalas selang dua hingga tiga hari jika dia tidak ada pulsa. Aku berusaha berfikir positif kutunggu hari demi hari dengan sabar, aku berusaha positive thinking padanya, aku mencoba untuk melakukan hal itu. Seminggu berlalu, aku mulai tak sabar menunggunya. Aku coba menelponnya dan nihil, sama sekali tak ada jawaban. Kucoba hingga berkali-kali dan kali ke empat berhasil, Wira mengangkat telponku. Suaranya berisik sekali.
"Apa? Nanti dulu ya gue lagi sibuk," katanya yang langsung menutup telponnya. Rasa lega saat mendengar dia masih mau mengangkat telpon itu kembali hilang, aku cemas sekali.

Dering sms di handphone ku berbunyi. Nama Wira Wijaya terpampang jelas di layar hape. Ku buka dan ku baca.
"Gue mau udahan aja, gue gabisa sams lu terus, jadiin gue pelajaran aja ya, makasih,"

Udah semua telah berakhir, menjadi debu, menjadi angan dalam buai mimpi, menghilang bersama angin yang menyapu. Pergi tanpa jejak seakan kertas putih yang pernah digoreskan itu dapat terhapus dengan mudah, meskipun terhapus, rasa sakit itu akan terus ada, kertas itu meskipun terhapus bekasnya tak mungkin hilang, begitu pula hati, dengan waktu, entah satu atau dua hari, entah satu atau dua bulan, bahkan entah satu atau dua tahun mungkin dapat terhapus, tapi bekas akan tetap ada, menggores sedikit sucinya hati, kenangan pahit.

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang