Jodoh 17

3.7K 107 0
                                    

Fiero's

Kalian tahu, apa yang sedang kurasakan?

Kalo ini nggak lebay, rasanya sama kayak nunggu vonis hidup atau mati. Sekecil apapun suara terdengar dan sesedikit apapun gerakan terlihat.

Padahal aku yang bertanya, tapi kenapa aku degdegan setengah mati begini?

Bagaimana kalo Raia menggeleng? Kurasa skenario itu tidak terpikir dalam rencanaku, itu yang membuatku degdegan.

Sejak kejadian Naoko-Akai di Holiday Inn itu, Aku jadi berpikir bagaimana cara supaya Raia lebih dekat denganku, dan aku bisa menjaganya.

Menurutku, caranya hanya satu. Memiliki Raia. Jadi, semingguan ini aku menyusun rencana untuk menyatakan perasaanku.

Perasaan yang bahkan hampir tidak kupercayai. Maksudku, beberapa bulan lalu kami masih sama-sama linglung karena dijodohkan secara iseng oleh orangtua kami, tapi waktu perlahan mengubah semuanya.

Mengubah aku dan Raia.

Kulihat wajahnya yang memerah, dan terlihat bingung. Matanya bergerak kesana-kemari--kemanapun asal tidak bertabrakan pandang denganku.

Tanpa kusadari, aku tersenyum.

"Emangnya, kenapa lo suka sama gue?" tanyanya setelah sekian lama diam.

Dasar. Kukira dia akan menjawabnya. Aku kan udah degdegan duluan. "Sayang itu harus punya alasan, ya? Gue sayang sama elo. Gue cuma pengen tahu perasaan lo. Itu aja."

"Gue kan nggak cantik, nggak jaim, nggak modis, nggak selevel deh sama lo." katanya, membuat keningku berkerut. Aku menyentuh kedua bahunya. "Itu yang bikin lo spesial. Lo itu satu dari sejuta. One of a kind. Nggak ada yang sama kayak lo, dan lo itu unik. Buat gue, itu lebih dari cukup." kuketuk pelan dahinya dengan ujung telunjukku. Ia menunduk dan kurasa pipinya memanas.

"Oke."

"Oke?" aku mengulang kata itu.

Ia mengangkat wajahnya, menatapku dalam dan yakin dengan ekspresi serius. "Gue...mau nyoba segala hal bareng lo. Gue mau belajar nerima lo. Gue... Mau nyari jawaban kenapa akhir-akhir ini perasaan dan jantung gue aneh kalo sama elo."

Itu... Artinya iya, kan?

Aku tersenyum lalu refleks memeluknya.

"Makasih karena...bikin degdegan gue ilang." kurasa senyumku ini bakal awet banget. "Ngomong-ngomong, jantung dan perasaan lo yang aneh itu, mungkin lo suka sama gue." bisikku, membuatnya membeku. Aku tertawa kecil.

"Oh iya, ro." celetuknya saat aku melepas pelukannya. "Yah, mungkin semuanya bakal berubah, tapi gue nggak mau kehilangan lo yang dulu. Dan seandainya nanti--ini seandainya aja ya--sesuatu terjadi sama kita, gue mohon buat lo nggak berubah dan tetep kayak gini. Janji?"

Aku mengangguk. "Janji."

Suasana jalan tamansari yang sejuk membuatku nyaman.

Tanpa kutahu, ternyata menepati janji itu susahnya minta ampun.

***

"Bro, lo belum gila, kan?" Sani menginterupsi lamunanku.

Aku menoleh. "Maksud lo?"

Ia mengangkat bahu. "Abis lo ketawa ketiwi senyam senyum. Kan gue takut jadinya, bro." Sani mengangkat bahu.

"She said yes, San!"

Sani terlihat kaget. "Lo ngelamar Raia? Gila aja!"

"Nggak, kok. Gue cuma, yah seenggaknya lebih dari temen. Seenggaknya dia tahu dia spesial."

Sani memutar mata dan menghembuskan nafas keras-keras. "Udah kayak de javu aja adegan begini, perlu berapa adegan begini sampe lo ngelamar dia?"

"Gue udah nyiapin semuanya kok buat ngelamar Raia. Tinggal nunggu waktu. Nggak mungkin kan gue langsung ngelamar Raia gitu, itu mah namanya bunuh diri."

"Lo udah fix banget? Udah cocok banget buat nikahin Raia?" Tanya Sani, terlihat meragukanku.

"Gue rasa, nggak akan ada lagi cewek kayak Raia yang bakal mampir di hidup gue. Unik. Dan bikin gue bahagia tiap sama dia. Dan dia bukan kayak cewek-cewek matre itu, San." Aku menerawang. Memikirkannya saja membuatku kangen.

Emang, ya, virus cinta itu, benar-benar. Mungkin Sani juga berpikir begitu, karena dia memandangku seolah aku ini hantu atau apa. Aku berdiri, dan sebelum keluar, aku sempat-sempatnya menepuk bahunya dan berkata, "Sabar, ya, jadi jomblo, San. Ntar gue cariin deh cewek tipe lo yang mirip Megan Fox."

Sani mencibir. Aku melangkahkan kakiku ringan menuju mobil.

Tiba-tiba, seseorang menghalangi jalanku. Oh My God! Om-om itu! Aku langsung memasak muka sejutek mungkin. "Ngapain lo disini?"

Naoko mengangkat bahunya. "Gue nunggu elo."

"Ada keperluan apa lo sama gue?"

"Gue besok balik ke Singapura. Tugas gue udah selesai di Bandung." Ucapnya tiba-tiba. Aku menghela nafas kelewat lebay.

"Bagus, deh. Cepet-cepet aja lo pergi. Terus, tujuan lo apa ngomong gitu ke gue?"

Naoko menerawang sejenak ke langit. "Gue cuma pengen lo tau aja, gue nggak akan ganggu lo sama Raia lagi. Gue tahu kok, walau terlihat suka sama gue, dia punya rasa yang sama, sama elo. Jagain dia, ya. Kalo lo nyakitin dia, gue bakal langsung terbang dari Singapur buat ngebunuh lo." Wajahnya itu, loh, seakan-akan dia baru mengatakan hal yang menyenangkan.

"Gue bakal jagain dan ngebahagiain Raia. Supaya lo nggak usah repot-repot terbang kesini."

Naoko tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh di matanya. Aku tahu.

Dia... patah hati.

"Lo...juga sayang sama Raia, iya kan?"

Cowok itu melihatku, lalu mendengus. "Yah, menurut lo aja deh."

"Ya menurut gue mah gitu. Bro, gue cowok kali."

"Udah ya, gue balik. Kurang sopan apa sampe gue harus pamitan sama lo. Padahal ngabisin waktu doang. Yah. Bye. " Dia berbalik tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Dari punggungnya yang berjalan menjauh, aku cukup tahu kok.

Bahwa melepaskan Raia dari jarak pengawasannya itu berat.

Bahwa Naoko kepalang suka pada Raia.

Yah, bukan salahku sih. Siapa suruh Raia polos banget sampe bisa bikin orang suka begitu?

Oke, skip.

Sani tiba-tiba melongo ke dalam ruanganku.

"Bro, ada telpon." katanya.

"Mana?" aku berjalan ke arah telpon kantor yang dipegangnya.

"Uhm, gue pikir lo nggak akan terlalu suka sama telpon ini." kata Sani aneh sambil menggaruk belakang kepalanya.

Kuraih telpon itu."Emang kenapa?"

Dari ujung sana, terdengar suara yang terasa jauh sekali dari masa lalu.

"Halo?"

Sani masih menatapku horror. "Itu dari Devi."

***

HAI SEMUA !

IHIW KANGEN BANGET SAMA OREN INI. Tapi ga kangen sama marhalah oren soalnya bentar lagi gsd *buat yang ngerti aja kebye.

Tumben kan ya update pas lagi bukan penghujung semester karena saya sedang sakit sodara-sodara. Iya, sakit jiwa. Benar sekali.

Nggadeng, ini kayak pembengkakan tiroid gitu deh. Yha. Kambuhan.

Ini sebenernya cuma nambah kalimat dikit soalnya ceritanya udah ditulis dari kemaren kemaren. Maapin ya pendek soalnya udah gakuat nambahnya.

Doain cepet sembuh ya! Doain lancar juga jaringannya.

Love you pokoknyamah!

Xoxo,
NSyifaHaura

Jodoh : When The Love Fall [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang