Jodoh 23

1.9K 60 1
                                    

Raia's

Pengakuan : ternyata jadi pengacara itu membosankan. Maksudnya, gini. Kita bicara soal kenyataan saja. Aku menjadi pengacara, tentu saja agar aku bisa hidup mandiri dan bisa membantu keuanganku dan mama. Dan asal kalian tahu, menjadi pengacara tak selalu seperti di drama-drama korea dimana kita membela kebenaran mati-matian.

Ada kalanya dimana orang yang bisa membayarku justru terdakwa, sang pemeran antagonis yang kebanyakan duit dan tak ingin dihukum berat-berat.

Ih, kalau sudah begini aku jadi berpikir; buat apa aku sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya hanya membela orang jahat dan mencari kesalahan orang?

Yaudah, gapapalah. Yang penting Mama senang aku jadi pengacara.

"Menang lagi?" Tanya Mama saat aku turun dari mobil jazzku yang sudah 4 tahun umurnya, dari aku masih semester 4 hingga detik ini.

Aku mengangguk, berusaha tersenyum di depan mama. Aku menyalami tangannya.

"Keren, ih. Biasanya kan kalo anak-anak baru gitu, suka nggak langsung dipake dalam kasus penting gitu."

"Ini mah gara-gara waktu itu aja aku gantiin si bapak pimpinan biro gara-gara dia stroke. Terus kebetulan menang. Terus membanjir deh permintaan-permintaan itu ke kantorku." Kuraih gelas kosong di lemari dan mengisinya dengan air hangat.

Mama duduk di sofa dan memandangiku. "Jangan merendah gitu, dong. Kalo bukan karena kamu emang beneran hebat dan berbakat, nggak mungkin permintaannya masih membanjir sampai sekarang, kan?"

Ucapan Mama ada benarnya, jadi aku hanya mengangguk sembari mengalirkan air hangat itu di kerongkonganku.

Sejenak, hening.

"Kenapa, Raia?" Tanya Mama, kali ini dengan suara pelan yang terdengar lirih.

Aku mengerutkan keningku. "Kenapa apanya, Ma?"

"Kenapa kamu nggak bisa menjadi Raia yang dulu?"

Kalimat tanya Mama itu membuatku berhenti melangkah, bahkan kurasa juga berhenti bernafas sejenak.

"A-apa sih, Ma? Aku kan gini-gini aja." Jawabku setenang mungkin, namun membelakangi Mama.

Wanita yang paling kusayangi itu menghembuskan nafas panjang. "Kamu bisa membohongi seisi dunia, tapi nggak dengan Mama, Raia. Kamu bisa berpura-pura ceria dimana saja, berpura seperti tak ada yang berubah, padahal kamu jadi sering melamun. Kamu jadi workaholic dan kehilangan lingkungan sosialmu. Kiara pasti setuju dengan Mama. Kemarin dia kesini, dan kamu belum pulang. Kiara cerita banyak sama Mama."

Kiara. Aku sudah beberapa bulan ini menolak ajakan Kiara untuk sekedar jalan bareng; Ah, tepatnya aku menghindari Kiara sejak pulangnya aku dari Singapura, hingga detik ini. Komunikasi kami sebatas chat di media sosial saja. Bahkan Leo, pacar Kiara beberapa kali menghubungiku juga, sebelum akhirnya menyerah jua.

Aku hanya tak ingin ia tahu kalau aku....tak lagi sama.

Tak perlu Mama utarakanpun, aku sadar, Raia yang dulu sudah lenyap, mustahil untuk kembali.

"Apa ini masih karena Fiero?"

Aku berbalik dan menatap Mama dingin. "Tolong, Ma. Aku nggak mau denger nama itu." Lalu kulangkahkan kakiku cepat-cepat menuju kamar, menutup pintunya dan terduduk.

Rasanya sudah lama sekali aku menahan tangis. Jadi saat perlahan airmataku meleleh, aku tak melakukan apapun. Sesak. Ingin lepas, namun ada yang mengikatku. Entah apa.

Disakiti ketika lagi sayang-sayangnya.

Pada ujungnya, semua cowok bule itu brengsek, ya kan? Harusnya feelingku sejak awal tak kuabaikan begitu saja.

Jodoh : When The Love Fall [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang