Jodoh 19

3.6K 98 0
                                    

Raia's

Kukira, apa yang kudengar tadi malam itu hanya khayalanku. Kukira, saat kusentuh tanda merah di ponsel Fiero dan menaruhnya pelan-pelan lalu pulang juga Cuma mimpi. Saat aku terbangun di kasurku yang nyaman, kukira semua yang terjadi hanya mimpi.

Tapi ketukan yang datang 5 menit lalu itu nyata. Senyata titik hitam di kertas putih. Aku sudah sibuk mencubit lenganku, berharap ini masih kelanjutan mimpi tadi malam. Sakit. Jelas bukan mimpi. Dan walaupun aku tak mau mengakui, apa yang kudengar dari ponsel Fiero tadi malam itu juga bukan mimpi.

"Raia, gue bisa jelasin!" Teriak Fiero dari luar. Ugh, rasanya aku ingin menyumpal telingaku. Tapi, aku lebih baik memainkan skenario tidak-tahu-apa-apa. Jadi, aku berakting baru-bangun-tidur, lalu membuka pintu sambil menguap.

"Hoahm. Pagi, Fiero. Kenapa gedor-gedor pagi-pagi?" Tanyaku—berusaha dengan nada setenang mungkin.

"Sorry, Raia."

Aku sok-sok mengerutkan keningku. "Minta maaf? Buat apa?"

"Gue tahu lo ngangkat telpon gue, kan?"

"Telpon apa?"

"Please, Raia, Gue bener-bener minta maaf. Devina Arkaningrum bukan siapa-siapa gue. Serius."

Aku menghela nafas. Percuma saja berbohong padanya, dia benar-benar sudah tahu semuanya.

"Kalo dia emang bukan siapa-siapa, kenapa dia bisa bilang kalo dia calon istri lo? Apa yang udah lo lakuin sama dia sampe dia berani ngomong kayak gitu?" Wajahku tak lagi

"Sumpah, gue gak tahu apa yang terjadi, Raia. Dia Cuma mantan gue."

"Yah. Mau dia mantan lo, apapun juga—terserah deh. Gue udah nggak peduli. Pusing pala gue mikirin hal nggak penting."

"Raia, jangan gitu, dong. Sumpah, dia bukan siapa-siapa—"

"Iya, iya, dia bukan siapa-siapa. Gue mau tidur, ya. Masih ngantuk." Soalnya tadi malem gue abis nangisin lo, makanya masih ngantuk.

Aku berbalik dan menutup pintu. Menguncinya. Tak peduli Fiero yang masih menggedornya sampai 5 menit kemudian, lalu berhenti menggedor sama sekali. Aku hanya terduduk, bersandarkan pintu.

Tidak, aku tak ingin menangis.

Tapi, air mata itu turun dengan sendirinya tanpa bisa kucegah. Kenapa? Kenapa mendadak aku lemah sekali dengan cowok menyebalkan bernama Fiero?

Entahlah. Aku tak tahu jawabannya.

Yang aku tahu, hati ini rasanya sakit sekali seperti diiris.

***

"Kunci sebuah hubungan itu adalah saling memaafkan, Raia." Sebuah kertas tiba-tiba jatuh saat aku membuka pintu. Tulisan Mama, aku mengenalinya sekali.

Cunguk satu itu pasti menceritakan semuanya pada Mama. Dan, Mama pasti membelanya. Percuma saja sih, semuanya.

"Udah bangun? Sekarang jam 9 malam, loh. Fiero tadi pagi kesini jam 10 pagi, kan?"

Suara Mama membuyarkan lamunan tentang surat pendek nan aneh itu. Walaupun 11 jam berlalu setelah gedoran Fiero tadi pagi, tak sedikitpun aku memejamkan mata. Bagaimana aku bisa memejamkan mata, kalau wajahnya yang selalu kulihat saat aku menutup mataku?

"Matamu sembab. Kompres dulu, gih, pake es."

Aku hanya berjalan pelan menuju kulkas, mencari es, menurut. Lalu, aku duduk di kursi makan, mengompres mataku. Mama akhirnya duduk di seberangku.

Jodoh : When The Love Fall [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang