Prolog

28.9K 1.3K 16
                                    


Suara teriakan terdengar begitu menusuk di telingaku. Secara perlahan aku membuka mataku yang terasa berat. Cahaya putih menyapa dengan silauannya yang terasa panas. Samar-samar tampak lampu panjang di atasku, begitu juga dengan wajah lelaki asing dengan jas putihnya.

Dimana ini? Apa aku sudah mati? Apa aku masih hidup?

"Dia sudah sadar." Lelaki itu menatapku, saat menyadari diriku yang mengedipkan mata mencoba melihaat sosoknya. Lelaki itu mendekatkan wajahnya kepadaku.

Apa yang hendak ia lakukan? Aku takut. Aku takut ...

"Siapa nama anda?" Suara baritonnya terdengar begitu jelas di telingaku. Hembusan napasnya terasa di daun telingaku yang berhasil memberikan sensasi merinding di sekujur tubuh.

Aku takut ... tolong, tolong aku kak ...

"Surya ..." Seketika cahaya menghilang begitu saja dari mataku dan suasana kembali hening. Apa kali ini aku benar-benar meninggal?

Prang ... suara nyaring sebuah piring yang aku lempar begitu saja terdengar begitu nyaring pada bangsal rumah sakit yang kutempati bersama dua pasien lainnya. Ssemua mata kali ini tertuju tepat kepadaku. Suster Intan yang merawatku menunjukkan wajah terkejutnya sesaat, tapi ia segera mengembalikan wajahnya sambil memunguti makanan yang terjatuh pada piring stainless yang tadi aku buang begitu saja.

Aku marah. Aku kesal. Kenapa aku bisa hidup? Kenapa aku ada disini?

"Suryani," suara bariton lelaki memanggil nama yang aku kenal, dimana berhasil membuatku menoleh kepadanya. Seorang dokter laki-laki yang aku lihat saat pertama kali aku sadar. Dokter laki-laki yang menatapku dengan tatap dingin dan berhasil membuatku ketakutan. Dokter Karel. Dokter yang menangani ku dan aku membencinya.

"Jangan membuang makanan. Mau sampai kapan kamu tidak makan? Kamu perlu makanan bergizi untuk mengembalikan kesehatan tubuhmu."

Aku tidak butuh makanan. Aku tidak peduli dengan kesehatan tubuhku. Kenapa kalian menyelamatkanku?

Aku menatap kesal dokter Karel yang menatap datar ke arahku. Aku tidak suka dengannya, dia menakutkan. Semua laki-laki menakutkan. Aku memalingkan wajahku dari dokter Karel, meringkukkan tubuhku di sisi lain hendak berbalik dan berbaring di kasur kembali, sampai kedua wanita datang di hadapanku dengan senyum lebarnya yang tidak aku pahami. Kenapa dia tersenyum padaku?

"Selamat siang, Suryani!" sapa wanita yang tersenyum lebar itu kepadaku, yang tak lain psikiater magang, Kadek yang tidak pernah mau dipanggil dokter, bersama temannya, Kira, dokter magang, yang di belakangnya memberikan senyuman lembut.

"Kenapa kalian kemari?"

"Karena ada keributan, mangkannya aku kemari membawa wanita perkasa bersamaku," ujar Kadek sambil menarik dokter Kira di sampingnya yang selali mendesis kesal setiap Kadek menyebutnya wanita perkasa.

Duk ... papan tangan yang di pegang dokter Karel mendarat dengan sempurna di kepala Kadek, "kalian setiap siang selalu ada disini, apa tidak ada kerjaan lain? Apa perlu aku laporkan ke pengawas kalian berdua?"

"Aku kemari karena khawatri kamu berbuat aneh-aneh kepada pasien cantik di rumah sakit ini," candanya kepada dokter Karel, "lagipula dokter Karel terlalu sinis kepada Suryani. Beri dia senyuman ter tampanmu biar dia gak ketakutan." Kadek berjalan mendekat kepada dokter Karel, mencubit kedua pipinya sehingga terbentuk sebuah senyuman di bibirnya. Suara tawa yang tertahan terdengar dari bibir dokter Kira.

Kadek melepas cubitannya kepada dokter Karel setelah mendapat tatapan tajam darinya. Ia duduk di pinggir ranjangku dan mendekat kepadaku hingga jarak wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku yang membuatku kaget, "aku tahu kamu memiliki phobia laki-laki, tapi kamu tidak perlu takut dengan dokter Karel. Dia tidak akan menyakitimu seperti laki-laki yang kamu takuti," ucapnya dengan lembut. Kadek mendekatkan bibirnya pada daun telingaku, "dia tidak tertarik dengan wanita. Dia gay." Kadek menatapku dengan senyum lembutnya, tapi tersirat kesedihan didalamnya.

His Eyes on Her  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang