Tiga

15.8K 872 5
                                        

Aku berjalan menuju daun pintu yang setengah tertutup. Langkah perlahanku membawaku masuk ke dalam walk-in closet dimana dia, orang yang paling kucintai berdiri di depan kaca full size, sedang sibuk mengikatkan dasinya.

"Aku tidak tahu kalau memasang dasi itu begitu susah," ucapku dengan langkah pendekku padanya. Kak Surya melepaskan tangannya dari dasi yang menggantung pada lehernya, memutar tubuhnya sehingga berhadapan denganku yang sudah berhenti di depannya.

"Kurasa aku perlu bantuan," balasnya dengan senyum jahilnya yang menawan.

"Ternyata ucapan Crystal memang benar." Aku meraih dasinya sambil menatap mata tajamnya.

"Apa yang dikatakan Crystal padamu?"

"Para pria yang sudah memiliki pasangaan akan berpura-pura kesulitan memasangkan dasinya sendiri, karena mimpi mereka untuk selalu dibantu memasangkan oleh pasangannya setiap pagi," jawabku sambil memulai mengikatkan dasi padanya.

"Kukira itu mimpi para wanita untuk memakaikan dasi pasangannya setiap pagi. Karena itu aku memberikanmu kesempatan, Chika."

Senyuman mengembang di wajah kami berdua, "kurasa itu mimpi setiap pasangan," ucapku di sela tawa kecilku. Kak Surya ikut tersenyum, masih menatap ke arahku.

"Berhentilah bekerja." Aku menatap tidak percaya dengan ucapannya yang tiba-tiba. Senyuman tipis tampak dari wajah tampannya, "aku tahu kamu ingin bekerja untuk karir maupun mimpimu, tapi aku tidak bisa membiarkanmu bekerja dimana banyak lelaki yang melihatmu bekerja. Kamu terlihat cantik saat bekerja dengan serius, Chika."

Senyuman lebar maupun rona merah di pipiku tidak bisa ku sembunyikan saat mendengar pengakuannya. Dia cemburu.

"Jangan tersenyum begitu. Aku seri-" Aku menarik dasinya yang sudah selesai ku ikat sehingga tubuhnya sedikit membungkuk ke depan, dimana aku berjinjit dan mengecup singkat bibirnya sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

"Kak Surya adalah satu-satunya orang yang Chika suka. Tidak ada yang lain." aku menatap lurus iris matanya, seakan meyakinkannya bahwa dia satu-satunya untukku sehingga dia tidak perlu khawatir dengan orang lain.

Aku memeluk tubuhnya yang hangat dengan erat. Aku benar-benar menyukai orang ini, bahkan aku tidak peduli dengan apapun di sekitarku, pandangan mereka, maupun perkataan mereka padaku selama aku bisa ada disisinya.

"Wanita murahan pembawa sial."

Suara itu ...

"Keberadaanmu merupakan kehancuran bagi hidup Leonardo."

Hentikan ... hentikan ... aku tidak ingin mendengarnya.

"Ni ... Suryani ..." Aku menoleh ke samping mendapati bu Nur, rekan kerjaku menggoyang tubuhku pelan, "demi tuhan. Bagaimana bisa kamu melamun saat bekerja? Cepat rapikan kasurnya, masih banyak kamar yang harus kita bersihkan," omelnya sambil menggelengkan kepala dengan decakan di mulutnya.

Aku menganggukan kepalaku pelan dan kembali menyelesaikan pekerjaanku. Sudah sebulan, sejak Aneta berumur satu tahun dua bulan, aku bekerja sebagai Cleaning Service di sebuah hotel di kota ini. Aku harus menunggu lama untuk bisa bekerja, karena dua alasan; pertama aku harus menunggu Aneta sudah bisa berjalan sehingga bisa aku titipkan kepada Kadek yang pekerjannya lebih banyak dia kerjakan di rumah dan kedua karena phobiaku, aku harus membiasakan diriku dengan orang lain dan menguasai sedikit latihan bela diri yang di ajarkan Kira padaku, agar tidak membuat Kira maupun Kadek yang memahami keadaanku khawatir.

His Eyes on Her  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang