Enam

13.2K 867 24
                                        


"Aku menangkapmu, Chika. Aku tidak akan pernah melepaskanmu selamanya," bisiknya tepat di depan telingaku. Hembusan napas hangatnya terasa di sekitar kuping dan leherku. Sentuhan mulutnya pada kulit ku terasa membara.

Kuangkat kedua tanganku untuk menggapai rambutnya yang lebat. Suara desahan keluar begitu saja ketika dia menghisap perlahan daguku, lalu menciumnya. Sentuhannya berhasil membangkitkan gairah tubuhku. Kujambak rambutnya agar kepalanya agak menjauh sehingga aku bisa melihat wajah tampannya. Wajah lelakiku, suamiku. Kudekatkan wajahnya padaku kali ini dan mengecup dalaam bibirnya yang selalu membuatku tak berkutik.

Dia mengigit bibir bawahku dan membuatku sedikit memekik. Lidah hangatnya menelusup begitu saja ke dalam rongga mulutku dan bermain dengan lidahku saat dia menemukannya. Aku suka. Aku menyukai semua yang ia lakukan padaku. Sentuhannya pada setiap kulit tubuhku begitu membekas. Berbeda dengan sentuhan orang lain. dirinya. Hanya dirinya yang berhasil membuatku kehilangan akal.

"Aku mencintaimu, Chika," bisiknya sambil menatap intens kepadaku dengan bola matanya yang mengelap. Kucakup wajah tampannya dan kembali mencium bibirnya yang membuatku menginginkannya lagi. Dan lagi.

"Aku juga ..." gumamku.

Pletak...

Pukulan ringan di kepalaku berhasil membuatku bangkit dari tempatku dan berdiri di antara meja kerjaku dan kursi hitam yang barusan aku duduki. Aku mendongakan kepala menatap Brayden, bosku tengah berdiri tepat di hadapanku sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan sebuah penggaris plastik di tangan kirinya. Dengan cepat aku menutup semua berita-berita yang terbuka dan menggantinya dengan file kerjaan di komputerku.

"Maaf ... Saya tida-" Brayden mengangkat tangan kirinya kepadaku setelah menaruh penggaris pelastik di atas mejaku, sehingga aku bisa melihat telapak tangannya yang panjang dan putih di hadapanku. Sebuah gesture yang memintaku untuk berhenti bicara. Aku segera menutup rapat mulutku.

"Cukup. Aku tidak mau tahu mimpi jorokmu yang membuat air liur mu keluar," sindirnya yang berhasil membuatku mengusap setiap sudut mulutku yang tidak basah. Brayden menaikan sebelah sudut bibirnya sehingga membentuk senyum mengejeknya kepadaku, "scan semua design ini dan kirim ke surelku, jangan lupa kirim juga ke cabang singapura," lanjutnya sembari melempar map hitam ke atas mejaku dan berbalik meningalkanku masuk ke dalam ruangannya.

Aku menghela napas pendek melihatnya menghilang dari balik pintunya. Dia orang teregois kedua yang pernah aku temui, bukan orang yang pertama. Meski disekitarku semua orang terlihat begitu egois seperti Kadek, Kira, kak Nathan, Karel atau siapapun orang terdekatku. Mereka orang-orang egois yang selalu mengambil banyak keputusan dalam hidupku sebelum aku memutuskan.

Bahkan Brayden dengan seenaknya menawari pekerjaan yang terdengar seperti perintah di telingaku yang tidak dapat aku tolak beberapa tahun lalu. Disinilah diriku sekarang menjadi asisten pribadinya. Meski sudah berjalan dua tahun aku masih tidak terbiasa dengan perintahnya yang seenaknya hampir sama dengannya, tapi perbedannya aku tidak merasa begitu terikat dan terjerat perntah Brayden. Berbeda dengannya yang tanpa kata-kata berhasil membuatku membeku, lumpuh ditempat atau apapun namanya sehingga aku selalu melakukan apapun yang ia minta walau tanpa kata-kata.

Aku merindukannya. Aku ingin menemuinya lagi walau dari jauh tidak seperti terakhir yang terlalu dekat, batinku sambil mengingat kembali pertemuan terakhir kami. Pertemuan diimana dengan pengecutnya aku menghilang dari hidupnya.

"Aku menggajimu dua kali lipat dari UMK dan lima kali lipat dari pekerjaanmu sebelumnya bukan untuk melamun di depan meja kerjamu," gumam suara menyebalkan yang terdengar beberapa hari ini setelah kembalinya dari Singapura yang kutebak dia mengalami kejadian terburuk dalam hidupnya, Brayden, berdiri di ambang pintu sambil melihat jam tangan dengan tatapan datarnya kepadaku.

His Eyes on Her  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang