Dua Belas

13K 959 18
                                    

                 

Daun pintu tertutup dengan pelan dan rapat setelah dia masuk ke dalam kamar hotelnya. Muka pucatnya terlihat begitu mengerikan saat ini. Dia berjalan ke arah tas kerjanya berwarna cokelat muda di atas kursi di depan kasurnya. Dia membuka tas tersebut dan meraih laptop yang ada di dalamnya. Dengan tangan gemetar dia menyalakan laptop tersebut dalam pangkuannya, menyambungkan sambungan WIFI yang disediakan hotel sebagai fasilitas dan membuka beberapa situs untuk membeli tiket pesawatnya.

Setelah menemukan penerbangan yang dia inginkan, besok jam enam pagi, dia meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada atasannya, jika dia ada urusan mendadak dan harus segera kembali besok pagi. Setelah pesan terkirim, dia mencari nama seseorang dan melakukan panggilan.

"Halo? Suryani?" sapa suara di seberang yang tak lain suara Kadek.

"Halo Kadek? Kamu dimana? Aneta bersamamu?" tanya Kartika dengan nada sedikit panik.

"Aku? Ada di hotel bersama Aneta. Apa ada masalah di pesta? Suaramu terdengar panik. Apa terjadi sesuatu denganmu? Apa aku perlu kesana bersama Aneta malam ini?"

"Tidak!" Kartika meninggikan suaranya, "kamu tidak perlu kemari, ini sudah malam. Ak-akau menghubungi karena ingin meminta maaf. Sepertinya besok aku tidak bisa bertemu dengan kalian. A-ada urusan kerjaan, Brayden memintaku kembali besok pagi."

"Sungguh?" tanya Kadek sedikit tidak percaya, karena suara Kartika terdengar panik.

"Aku minta maaf, terutama kepada Aneta. Aku tidak bisa menemaninya besok. Tapi aku akan menjemput kalian."

"Apa kamu ingin mengatakannya langsung kepada Aneta? Dia baru keluar dari kamar mandi."

Tok... tok... suara ketukan pintu membuat Kartika terperanjat dari tempatnya dan berdiri tiba-tiba menjatuhkan laptop yang sudah dia tutup dari pangkuannya.

"Ada apa? Kamu jatuh?"

"Bukan apa-apa. Ada yang mengetuk pintuku. Aku harus membukanya. Tolong bantu aku meminta maaf pada Aneta. Bye." Kartika segera menutup sambungan teleponnya. Suara ketukan pintu masih terdengar. Dia mengambil laptop yang terjatuh dan meletakannya di atas meja.

Dia berjalan mendekat ke arah pintu dan membukanya secara perlahan. Tubuhnya segera membeku dengan mulutnya setengah membuka tanpa suara menatap pengetuk pintu kamarnya.

Dua setengah jam sebelumnya...

"Terima kasih atas kedatangannya, saya harap kerja sama kita berjalan lancar." Leonardo mengulurkan tangannya kepada pria tua dengan karisma yang tidak kalah dengannya. Pria itu menyambut uluran tangan Leonardo dan menjabatnya dengan kuat.

"Senang bekerja sama dengan anda," ucap pria itu dengan senyum tipis di balik jenggot dan kumisnya yang berwarna putih.

Leonardo mengangguk dan menuntunnya keluar ruang rapat menuju lift bersama dengan Rekka yang berdiri di sampingnya. Fajri yang sudah berdiri di luar ruangan, menekan tombol lift untuk membuka dan ikut bersama tamu tersebut untuk mengantarnya.

Leonardo membuka kancing jasnya sesaat pintu lift tertutup. Dia berbalik berjalan ke arah ruangannya. Dengan satu tangan di dalam kantong celana bahannya, Leonardo berjalan menuju meja minumannya dan hendak membuka salah satu botol yang kini menjadi faforitnya.

"Aku sarankan untuk tidak minum malam ini. Karena kamu masih ada acara jam tujuh malam." Rekka mengambil botol minuman dari tangan Leonardo dan meletakan kembali di atas meja.

His Eyes on Her  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang