Gadis itu terduduk di lantai, tak dipedulikannya kursi-kursi di sudut sana yang disusun bertumpuk. Darahnya menetes mengotori lantai. Dia tidak tahu bahwa bagian kaki meja itu terdapat satu paku yang mencolok. Paku itu tak sengaja menggores kakinya, membuat luka disana.
Kalau saja manusia biasa yang terkena paku itu, mungkin saja kulitnya sudah sobek sampai bagian tulangnya nampak. Apalagi bagian luka itu ada di bagian betis kaki gadis itu.
Setengah meringis, Gadis itu memperhatikan kakinya yang terluka. Hanya segores kecil padahal, tapi membuat darah mengalir. Darahnya juga menodai kaos kaki putihnya, gadis itu benar-benar berinisiatif menghentikan lukanya detik itu juga.
"Ck," Gadis itu berdecak kesal. "Sakit banget lukanya. Harusnya tadi aku jangan naik dulu." Gumam gadis itu menyalahkan kegiatannya tadi.
Coba saja dia mendengarkan nasihat Ayu dan Diana yang terus membujuknya untuk stay bersama mereka jika istirahat setelah mereka ke kantin tadi. Pasti Celine tidak perlu mendapatkan luka itu.
Celine melihat kiri kanan, sebenarnya dia mengharapkan seseorang datang dan membantunya. Tapi dia tersadar juga. Tempat ini adalah lantai tiga, tempat yang paling jarang didatangi oleh murid-murid.
Gadis itu berpikir untuk mengeluarkan sayapnya dan mengtransparantkan dirinya. Tapi, bagaimana dia memunculkan diri jika ternyata UKS ada manusia? Lagipula diusianya yang baru tigabelas tahun itu, dia belum terlalu menguasai teknik menghilangkan diri. Dia pernah mencobanya, namun tampak lagi dalam beberapa detik meskipun dia sudah mencoba mengendalikannya sekuat tenaga. Dia belum terlalu menguasai teknik itu.
Gadis itu tidak mau mengambil resiko tiba-tiba ada manusia yang melihatnya terbang. Mungkin Celine harus mengaktifkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Ayu atau Diana, tapi dibatalkannya karena dia cukup kesulitan melakukannya. Lagipula berabe juga kalau Diana atau Ayu yang datang.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat, yang membuat Celine terkesiap. Arville yang baru saja menaiki tangga melihatnya dengan penuh tanda tanya. Dia belum melihat darah yang menetes disana.
"Celine? Kamu..." Barulah Arville terdiam saat melihat darah yang keluar dari betisnya.
Celine tak mengatakan apapun, dia hanya diam. Semua hal yang pikirkannya untuk menghentikan darahnya dan menolong diri, meluap begitu saja.
"Sebentar ya..." Arville kembali menuruni tangga, namun dengan tergesa-gesa. Itu membuat Celine memiringkan kepalanya bingung.
Beberapa saat kemudian Arville kembali dengan baskom dan kain. Dia berjalan menuju WC di lantai tiga yang kabarnya di tutup, namun masih bisa digunakan. Lalu, dia keluar dengan baskom penuh air.
Tanpa berkata apapun, Arville berjongkok di depan Celine dan memeras kain basah itu di depannya. Celine bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang akan dilakukan oleh Arville. Celine belum pernah mendapatkan luka di tubuhnya. Tadinya dia berpikir untuk ke UKS agar bisa menghapus darahnya dan memberi handsaplast saja.
Saat kain yang dipegang Arville hendak menyentuh betis Celine yang tengah berdarah itu, tangan Arville berhenti bergerak begitu saja di udara.
Tentu saja itu semakin membuat Celine bertanya-tanya. "Kenapa?" Tanyanya penasaran.
Arville nampak ragu, lalu menyerahkan kain itu kepada Celine. "Bersihkan sendiri ya, maaf atas niat lancangku barusan."
Celine tertegun.
Rupanya ada manusia yang sopan begini. Arville pasti merasa tidak enak, mengompres atau membersihkan luka kaki perempuan itu ..., menurutnya sedikit taboo.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Memories [Telah Diterbitkan]
Fantasy[Fantasy & (Minor)Romance] Kalau saja Celine bukanlah malaikat, Kalau saja malaikat dan manusia diperbolehkan bersama, Kalau saja malaikat dan manusia diperbolehkan saling mencintai, Kalau saja Arville bukanlah manusia, ...