"Ngurus kebun sekolah?" Arville mengulangi perkataan Celine yang jelas-jelas didengarnya tadi, membuat Celine berdengus menghela nafas lelah.
"Iya, habisnya aku nggak tahu mau ngambil apa." Balas Celine santai.
Kening Arville mengerut. "Kan kamu bisa ambil yang lain, kenapa malah berurusan dengan tanah?"
"Memangnya ada yang salah dengan tanah?" Tanya Celine sedikit terkejut.
Dia kira, manusia akan sangat menghargai tanah. Tanah adalah komponen di bumi yang selama ini menjadi pijakan dan tempat manusia berdiri. Seharusnya manusia beruntung dengan adanya tanah, karena mereka tidak ada tempat berlabuh jika tidak ada tanah di bumi.
Lagipula manusia seharusnya memang berterimakasih kepada tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman yang memberi oksigen, juga sayur-sayuran yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Hewan yang dikonsumsi manusia juga ikut terlibat di dalam komponen tanah—dari makanan yang pernah herbivor konsumsi.
Ada pula cerita yang mengatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Dia tidak tahu itu benar atau tidak, yang jelas Celine juga pernah membacanya dari salah satu cerita dongeng lama.
"Siapa yang bilang salah, memangnya?" Tanya Arville mengerutkan keningnya. "Kalau kamu memang mau ambil itu, ya ambil saja."
Celine menyipitkan matanya, "Tapi tadi kamu seperti melarangku masuk disana."
Arville tadinya teringat dengan kegiatan memungut sampah di kota mereka yang pernah diselenggarakan saat mereka SD dulu. Kegiatan itu sebenarnya adalah bakti sosial yang diadakan di kota, namun didukung oleh sekolah mereka dan sekolah mewajibkan seluruh murid untuk mengikutinya. Dia ingat jelas bagaimana teman-temannya yang bergender perempuan terus saja menyatakan rasa jijiknya meskipun itu hanya terhadap sampah plastik, belum lagi yang organik dan bisa membusuk.
Tapi Arville juga ingat saat itu Celine mengerjakan pekerjaan itu tanpa berkata banyak. Dia mengerjakannya dalam diam dan serius, membuat Arville yang saat itu melihatnya terpancing untuk juga serius.
Dan Arville sadar, Celine tidak mungkin takut dengan hal-hal seperti itu. Celine berbeda.
"Aku tidak melarangmu," Elak Arville. "Tapi itu lho ...," Arville menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menatap Celine dengan tatapan ragu. "Aku punya teman yang masuk sebagai pengurus kebun belakang sekolah. Dia tampaknya lelah melakukannya."
Celine mengendikan bahunya. "Kita nggak tahu kalau kita belum mencobanya." Ucapnya. Dalam masalah lelah, manusia dan malaikat memang tidak memiliki bandingan yang jauh. Celine sering kecapekan jika menggunakan sayapnya lama-lama, atau berlari saat menjadi manusia.
"Dan katanya ..., setiap sabtu di suruh datang ke sekolah buat nyabut rumput lapangan." Tambahnya dengan nada horror.
Celine menatap Arville datar. "Teknologi sudah maju, yaampun. Kan ada alat pemotong rumput. Aku sudah tanya-tanya sama ketua pengurus kebun, katanya tugas kami itu hanya menanam tanaman dan menata taman. Udah, itu aja."
"Apa yang terdengar tak semudah yang dikerjakan, Cel."
"Nah, tuh kan. Kamu kenapa daritadi seperti membujukku untuk membatalkan keinginanku?" Tuduh Celine.
Arville hanya terdiam, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada. Perasaanmu saja."
"Kalau tidak ada, yasudah. Kamu tidak perlu mengurusi masalahku." Celine lagi-lagi memeriksa jam di tangannya. "Tinggal semenit, sudah aku duluan."
Arville menghela nafasnya. "Iya, kamu duluan aja."
"Bye,"
"Bye."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Memories [Telah Diterbitkan]
Fantasy[Fantasy & (Minor)Romance] Kalau saja Celine bukanlah malaikat, Kalau saja malaikat dan manusia diperbolehkan bersama, Kalau saja malaikat dan manusia diperbolehkan saling mencintai, Kalau saja Arville bukanlah manusia, ...