Pemuda itu berjaket kulit itu mengunci pintu mobilnya lalu memasuki lobby rumah sakit. Sesuai rencana yang pemuda itu buat malam kemarin, pemuda itu akan meminta bantuan pada gadis yang akan dikunjunginya itu.
Siang ini, gadis pemilik hati pemuda itu, akan menemuinya di taman rumah sakit itu. Pemuda itu tersenyum lucu. Semoga saja ini adalah akhir dari penantiannya.
Ray, pemuda itu, membuka pintu ruang rawat no. 6. Sesuai tujuannya tadi, pemuda itu akan menemui gadis yang akan ia ajak bekerja sama itu.
"Hai Shill" sapanya.
Shilla menyambut kedatangan Ray dengan seutas senyum. Sampai siang ini, Ray lah orang pertama yang mendatanginya. Gadis itu tersenyum simpul. Walau status keduanya hanya 'pura-pura', pemuda itu benar-benar memperlakukannya dengan sangat baik.
"Lo mau ga bantuin gue?" Ujarnya seraya duduk di kursi disamping ranjang Shilla.
"Bantuin apa?"
Pemuda itu bercerita tentang apa yang terjadi kemarin malam. Menceritakan saat Via, gadisnya, menghampirinya untuk mengatakan bahwa gadis itu benar-benar menyesal telah menyakiti hatinya.
Shilla mengangguk pelan. Menanggapi curahan hati pemuda itu. Gadis itu menghela napas pelan. Lagi-lagi, satu dari sahabatnya telah menemukan cintanya. Hah. Sudahlah Shilla! Bukankah dirinya telah -mencoba- melupakan Alvin? Bukankah tak ada lagi yang gadis itu tunggu?
"Bagus lah kalo dia bener-bener nyesel. Apapun keputusan lo gue dukung kok" ujarnya.
Ray tersenyum lebar. Kini ia menceritakan apa rencana pemuda itu yang selanjutnya. Rencananya untuk menemui Via di rumah sakit itu.
"Via minta ketemuan. Gue suruh dia kesini. Pengen tau aja dia udah berubah apa belom"
Shilla mencibir sejadinya. "Terus aja gue dipake buat kelinci percobaan"
Ray terkekeh pelan. "Lo kan cewe gue gimana sih? By the way lo boleh gue ajak jalan keluar ga?"
"Gausah keluar. Pulang aja sebenernya gue boleh. Tapi Dokter Hendrawan sama Gabriel aja yang gabolehin" dengusnya.
Ray mencibir pelan. "Ya kalo pulang ya ga boleh lah. Ada ada aja lo"
Pemuda itu mengambil kursi roda yang terletak diujung ruangan. Membantu gadis itu untuk duduk diatasnya. Shilla tersenyum senang. Setelah sekian lama, akhirnya gadis itu merasakan udara luar. Walau semua tetap terlihat gelap.
Ray mendorong kursi roda itu keluar dari ruang rawat Shilla. Pemuda itu tersenyum lebar. Turut merasakan kebahagiaan yang terpancar di kedua mata bening gadis itu.
Langkah Ray terhenti saat seorang pemuda menghentikan langkahnya tepat di depan kursi roda yang Shilla tempati. Pemuda itu menatap Ray dengan tatapan yang sulit diartikan. Ray mengangkat sebelah alisnya. Ya. Ray mengenal pemuda itu.
Shilla menautkan kedua alisnya. "Ray kok berhenti?" Ujarnya.
Pemuda itu melirik Shilla sekilas lalu kembali berjalan menjauhi keduanya. Ray menatap pemuda itu aneh. Apa maksud dari tatapan pemuda itu? Ray sedikit tersentak lalu mengalihkan pandangannya pada Shilla.
"Gapapa kok ini mau jalan" ujarnya.
Ray kembali mendorong kursi roda Shilla menuju lift. Ingin membawa gadis itu menghirup udara luar setelah sekian lama gadis itu terperangkap di dalam ruangan bernuansa serba putih itu.
Pemuda itu duduk di kursi taman rumah sakit itu. Menunggu gadis yang Ray tunggu datang. Keduanya berbincang seperti yang biasa mereka lakukan.
Ray tersentak saat melihat seorang gadis yang menatap mereka dari kejauhan. Ray mengangkat sebelah alisnya saat mendapati gadis itu, gadis yang ia nanti, pergi menjauh. Bukankah mereka berjanji untuk bertemu di tempat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Photograph
Teen FictionAshilla dan Alvin. Dua sahabat yang telah dipersatukan sejak kecil. Namun perlahan rasa itu berubah, begitu juga dengan mereka.