4

95 1 1
                                    

Kalaupun tidak mencintai, setidaknya ia di cintai. Kalaupun ia tak bisa memiliki, setidaknya ada yang ingin memilikinya. - unknown

Sejak pertemuan Rai dan Raiven di Caffe waktu itu, sejak itu pula mereka tidak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, saling berhubungan melalui telpon saja mereka tidak pernah, dan itu sudah 3 minggu berlalu. Kini Rai sedang bersiap-siap untuk pergi. Yup! dia akan pergi bersama Raiven hari ini. Ya ya ya, sebenarnya dia malas, dia juga yakin kalau Raiven pasti sama. Hari ini mereka akan pergi membeli cincin pertunangan mereka bersama. Jika saja Mamanya tidak memaksanya ikut, mungkin saat ini dia pasti sedang bergelung di kasur, tidur dengan nyenyak di kamarnya yang nyaman. Atau mungkin saat ini dia akan berada di salon langganannya, dan memanjakan dirinya. Bisa di bilang dia sangat jarang melakukan hal itu, mengingat pekerjaannya sebagai dokter yang mengharuskannya bekerja siang dan malam, atau mungkin seharian?, oh ayolah...ini kesempatan langka baginya, mengambil cuti selama seminggu tentu saja dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dan Mamanya justru memaksanya untuk pergi bersama Raiven si manusia es itu hanya untuk membeli cincin pertunangan mereka. Sebenarnya bisa saja dia tidak ikut, toh dia sudah memberitahu Raiven ukuran jarinya, tak masalah mau seperti apa bentuk dan rupa cincinnya itu, dia sama sekali tidak keberatan. Tapi mau bagaimana lagi? jika Mamanya yang memaksa? dia bisa apa?. Rai menghela nafasnya sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memang akan selalu tampil perfect kapanpun dan dimanapun. Karna baginya penampilan itu nomor satu, dan dia tentunya tidak main-main kalau soal penampilan.

"Sayang! Rai-eemm maksudnya Raiven sudah menunggumu di bawah" seru Mama Reva di balik pintu kamarnya.

"Ya, Mama" Rai segera mengambil tas jinjing bermerk-nya lalu segera keluar dari kamarnya.

Raiven melirik sekilas Rai yang menuruni tangga dengan anggunnya. Cantik, itu yang terlintas di benaknya. Walau ia hanya sekilas melirik Rai, tapi diam-diam dari tempat ia duduk ia mencuri pandang ke arah Rai.

"Ayo" ujar Rai. Raiven menganggukkan kepalanya. Ia beralih menatap Mama Reva lalu tersenyum sopan.

"Kalau begitu Raiven pamit, tante" ucapnya. Mama Reva yang sedari tadi tersenyum langsung memudarkan senyumannya mendengar Raiven yang memanggilnya Tante.

"No, panggil aku Mama, sebentar lagi kamu akan menjadi menantu Mama!" ujar Mama Reva tegas. Rai yang dari tadi hanya diam, langsung memutat bola matanya memdengar penuturan sang Mama. Lagi-lagi Raiven tersenyum kecil.

"Kalau begitu Raiven pamit, Ma" ulangnya lagi, namun kali ini memanggil Reva dengan sebutan Mama. Senyum Mama Reva seketika mengembang. Iya lalu mengangguk.

"Kalian hati-hati di jalan" pesannya yang di balas anggukan dari Raiven dan Rai.

.
.
.

"Kamu pilihlah cincin yang mana menurutmu bagus" setelah mengatakan itu, Raiven berlalu dari hadapan Rai dan memilih duduk di sofa panjang yang di sediakan di toko perhiasan itu. Dalam hatinya Rai berdecak kesal. Brengsek!! kenapa malah gue yang dia suruh milih, sih?. Sejenak Rai menatap Raiven yang kini tengah sibuk dengan ponselnya. Cih! dia malah asyik-asyikan sama ponselnya. Dia pasti sedang menghubungi kekasihnya. Sialan!!. Dengan langkah cepat sambil menghentakkan kakinya, Rai melangkah menuju etalase tempat berbagai macam cincin di pajang, Rai melihat-lihat bentuk-bentuk cincin yang menurutnya indah-indah itu. Bagaimana tidak, Raiven mengajaknya pergi ke toko perhiasan yang terkenal mahal ini. Well, sebenarnya dia sudah biasa, tapi inikan hanya sebuah cincin pertunangan, yang mana akan di ganti dengan cincin pernikahan. Dan itu berarti cincin ini akan di pakai sementara, bukan?. Ah sudahlah! toh yang keluar uang juga bukan dia, tapi calon tunangannya itu!!.

"Nona ingin mencari cincin seperti apa?" tanya pramuniaga yang melayani Rai dengan sopan. Rai tersenyum ramah pada sang pramuniaga itu.

"Eemm...untuk cincin pertunangan mbak"

Perfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang