12

42 2 0
                                    

Flashback on:

Aku mengedarkan pandanganku ke penjuru Caffeteria, mencari keberadaan Damar. Sejujurnya aku sangat penasaran dengan sesuatu yang ingin dia katakan padaku. Kenapa dia tidak mau memberitaunya melalui telepon, sih?. Aku mendengus, ini sudah yang kedua kalinya dia membuat pertemuanku dengan Rai menjadi batal. Damar brengsek! memangnya sepenting apa hal yang ingin dia bicarakan itu?

"Sam!"

Aku menoleh ke arah asal suara yang memanggilku. Damar ada di sana. Aku mengerutkan dahiku ketika melihatnya duduk di meja paling ujung. Kenapa dia duduk di sana? ini tidak biasanya.
Aku langsung menghampirinya dan duduk di hadapannya.

"To the point saja, aku tidak bisa berlama-lama di sini, Rai menungguku di perpustakaan. So, hal apa yang ingin kamu bicarakan?" Damar berdecak

"Pesan minum dulu, lah"

Aku mendengus. Dia selalu saja mengulur-ulur waktu. Sepertinya dia tau kalau aku sudah sangat penasaran. Lihat saja seringaiannya itu. Benar-benar sialan!!

"Ck, cepat katakan, brengsek!" umapatku. Seketika Damar terbahak. Kenapa dia hobi sekali menjahiliku, sih?

Aku masih menunggu tawanya berhenti, dan itu cukup membuatku jengkel karenanya. Astaga...bagaimana dengan nasib perempuan yang akan di jodohkan dengannya itu? aku harap dia bisa bertahan menghadapi sikap Damar yang menurutku sedikit tidak waras ini.

"Aku minta maaf"

Lamunanku terhenti ketika mendengar suaranya. Aku mengernyit. kapan dia berhenti tertawa?.
Lalu dahiku mengkerut semakin dalam ketika mengingat perkataannya barusan. Damar meminta maaf?. Oke, aku jadi tidak mengerti sekarang. Kemana arah pembicaraan kita?

"Maaf untuk apa?" tanyaku yang keheranan. Dia menghembuskan napasnya sejenak. Ada jeda yang cukup lama, membuatku semakin penasaran, sebelum dia berbicara lagi. Dan itu berhasil membuatku diam seribu bahasa.

"Aku meniduri Arleta"

Aku hanya terdiam, mencerna ucapannya yang jujur saja itu cukup mengejutkan untukku karena pengakuannya. Dan entah kenapa, tawaku meledak.

"Are you kidding me?"ujarku di sela-sela tawaku yang masih menggema dan sepertinya aku cukup sadar karena aku sekarang menjadi pusat perhatian di sini. Oh? oke, salahkan Damar yang membuat lelucun konyol itu.

Aku berdehem, sedikit meredakan tawaku. Sial, perutku terasa kram.

Aku menatap wajah Damar kembali, dan tertegun ketika melihat ekspresi serius di wajahnya.

"Yang kamu katakan itu hanya lelucon, bukan?" tanyaku memastikan. Damar hanya menghela napasnya, kemudian aku mengumpat ketika dia menggelengkan kepalanya. Reflek aku meraih kerah bajunya, membuatnya berdiri dari posisi duduknya.

"Brengsek!! apa yang sudah kamu lakukan dengan Arleta, huh???" bentakku. Sial, aku tidak bisa menahan kemarahanku ini. Aku bahkan tidak perduli kami menjadi pusat perhatian sekarang. Aku hanya tidak habis pikir, kenapa bisa? Damar meniduri Arleta? Oh astaga....kenapa saat aku ingin melupakan dia dan kejadian malam itu, kenapa justru Damar melakukannya lagi?. Aku memejamkan mata, meredam rasa nyeri yang merambat di benakku. Rasa bersalah terhadap apa yang sudah aku lakukan pada Arleta saat itu. Oh Tuhan...kenapa semuanya menjadi rumit, sekarang?.

"Lalu, bagaimana dengan dirimu? apa yang sudah kamu lakukan dengan Arleta?"

Seketika mataku terbuka mendengar ucapannya barusan. Aku memicing, menatap wajahnya tajam.

Perfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang