A/N: This is one-shot for my crazy friend, Vivi Khovivah! Wkwkw XD thanks for your request, Vi ^^ I hope you—and whoever who read this— like it!
*
Wajahku langsung disambut oleh terpaan angin saat aku keluar dari mobilku. Mataku langsung disejukan oleh pemandangan hijau yang indah, membuat siapapun orang yang melihatnya pasti akan berdecak kagum atas indahnya ciptaan tuhan ini.
Aku berjalan kearah seorang gadis yang sedang melukis dibawah pohon cedar besar disana. Aku sengaja memberhentikan mobilku hanya untuk melihat gadis itu lebih dekat dan jelas.
Sebut aku bodoh.
Namun, entah apa yang membuatku tertarik untuk menghampiri gadis itu. Senyumku mengambang saat aku sudah berada disamping gadis yang sedang melukis ini. Ia sedang melukis pemandangan didepannya dengan wajah yang terfokus pada kanvas. Terlihat sebuah sepeda terparkir disebelahnya.
Aku memandang kedepan dan mendapatkan sesuatu yang lebih dari pada indah. Sangat. Menakjubkan. Lalu kualihkan pandanganku kepada lukisan gadis itu. Kau tahu? Lukisan-nya bagus sekali. Lebih dari bagus sekali! Sepertinya dia pelukis yang sudah profesional, mungkin? Mataku saja berbinar saat melihat lukisannya. Ya, aku tahu aku berlebihan.
Sepertinya Ia sama sekali tidak menyadari keberadaanku sama sekali disini. “Hi!” Sapaku seramah mungkin. Ia menoleh kearahku dan tersenyum. Manik mata hitam kecokelatan-nya terlihat bersinar. Ah, apa aku ini?
Ia kembali melanjutkan aktifitas melukisnya. Ia tidak menbalas sapaanku. Baiklah, aku orang asing baginya. Aku tahu itu.
“Lukisanmu menakjubkan sekali. Bisakah kau melukis wajahku?” Entah mengapa malah kalimat seperti itu yang keluar dari bibirku. Ia kembali menatapku, lebih lama dari sebelumnya. Senyumannya Indah, aku pun ikut tersenyum membalasnya. Namun apa? Ia tidak menjawab lagi. Bukannya tidak sopan jika ada seseorang yang bertanya, lalu kau tidak menjawab?
“Namaku Harry Styles. Kau?” Ia masih tak menjawab. Membuatku menghela nafas berat.
Aku hanya ingin berbincang—walaupun sedikit— dengannya.
Apakah salah?
Aku hanya ingin menjalin pertemanan dengannya.
Apa salah juga?
“Bisakah kau menjawab pertanyaanku atau setidaknya berbicara sedikit kepadaku? Sedari tadi kau tidak membalas ucapanku. Apakah yang menyebabkanmu tidak menjawab dan membalasnya? Apakah aku punya salah?” Tanyaku bertubi-tubi padanya. Ia masih tersenyum, tapi tanpa menatapku. Aku mendengus kesal melihat tingkahnya itu.
“Bisakah kau sopan sedikit pada orang lain? Setidaknya jawablah pertanyaanku?!” Ujarku sedikit membentak. Ia tidak mengalihkan pandangannya sama sekali padaku. Ia, tetap fokus melukis. Itu sangat menyebalkan kau tahu!
Diabaikan adalah salah satu sikap yang paling aku benci.
“Hey! Tolong balas ucapanku?!” Aku mulai tak sabaran sekarang. Yatuhan, Mengapa gadis ini sombong sekali, sih?! Cih.
“Okay. Jika kau tidak mau membalas ucapanku. Kau memang gadis tak sopan. Aku menyesal telah bersikap ramah padamu.” Ucapku sarkastik lalu melenggang pergi meninggalkan gadis menyebalkan itu. Dia. Sangat. Menyebalkan.
*
Sebut aku bipolar untuk hal ini. Gadis kemarin yang aku temui dipadang rumput itu masih membuatku penasaran. Aku kembali mengunjungi padang rumput itu hari ini. Namun, Kendall—sepupuku, meminta untuk ikut. Ya, aku turuti saja. Lagipula, tidak ada salahnya aku mengajak Kendall ikut.
“Kau tunggu disini saja, ya. Aku tidak akan lama.” Tuturku, lalu keluar dari mobil dan berjalan ketempat dimana aku bertemu dengan gadis itu.
Aku dapat melihat gadis itu berdiri seraya tersenyum—yang mungkin didedikasikan untukku?— sembari memengang bingkisan berbentuk persegi panjang. Aku mengulas senyum melihatnya.
Apakah Ia sengaja datang kesini lagi karena mungkin Ia juga ingin menemuiku lagi?
“Hi.” Sapaku seperti kemarin—walaupun aku tahu Ia tidak akan membalas sapaan ataupun ucapanku. Ia tak melunturkan senyum dibibirnya. Malahan, Ia memberikan bungkusan itu kepadaku.
Keningku menyerit sambil menerima bingkisan darinya. “Untukku?” Gadis itu hanya mengangguk.
“Apa ini?” Ia hanya tersenyum sembari menaikan kedua bahunya, dengan kepala dimiringkan kekanan sedikit.
Aku mengulas senyum yang membuat lesung pipiku terlihat, “Terima kasih.” Ia mengecup pipi kiriku seklias dan langsung berlari meninggalkanku yang masih mematung disini. Wajahku memanas dan mungkin memerah sekarang ini.
Apakah karena gadis itu mengecup pipiku?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, entah kenapa bibirku sulit untuk memudarkan senyum. Aku membuka bingkisan itu dan melihat isinya. Ini... lukisan wajahku?
Jadi, gadis itu sungguh-sungguh melukis wajahku?
Ya tuhan...
“Harry!” Aku menoleh kearah Kendall yang sudah berada disampingku. Eh? Sejak kapan Ia ada disana? “Kau lama sekali? Ah, itu lukisan dirimu? Bagus sekali, wah!” Kendall berdecak kagum melihat lukisan wajahku.
“Ya. Aku tahu, lebih dari sekedar bagus malah. Kau tahu gadis itu?” Aku menunjuk gadis tadi yang sekarang telah menaiki sepedahnya.
“Oh dia.” Kendall menyelipkan rambut ditelinganya, “Namanya Vivi Khovivah, gadis yang berbakat sekali dalam hal lukis-melukis. Kau tahu? Lukisannya sangat indah sekali. Tapi...” Kendall menggantungkan ucapannya.
“Tapi kenapa?” Tanyaku penasaran. Menatap Kendall lekat-lekat.
“Tapi... sayangnya dia bisu.”
APA?!
Bisu...
Jadi kemarin itu...
Yatuhan...
*
A/N: Whoops! Sorry if it’s strange or whatever~
I hope you like it, especially Vivi!
Semoga suka ya, Vi kkk~ maaf kalo engga sesuai sama yang diharepin hehehe xD
Jangan lupa tinggalin vote sama comment-nya yaaa~
Makasih banyak! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Memories
Fiksi Penggemar[One-shot request. But, I close this request for a while.] Just an empty memories. Someday, they'll disappears.