Akhir dari Penyesalan

198 9 1
                                    

Aku mematut diri dimuka cermin, terusan dengan motif floral print selutut dipadukan dengan jaket denim. Kurasa ini terlihat santai, kubiarkan rambut panjangku tergerai. Setelah kupoles make up tipis, aku duduk santai di beranda menunggu jemputanku datang.

"Mau kemana?"

"Mau menyelesaikan masalah, supaya aku bisa makan enak,"jawabku asal, Gita masih asik meneliti penampilanku."Aku terlalu heboh ya?"akhirnya aku tidak tahan dengan tatapannya.

"Ga kok, cantik. Dapat wangsit darimana, sepuluh tahun aku bebusa ga ada faedahnya."

"Setelah kamu marah-marah sama aku, aku benaran jadi kepikiran banget masalah ini. Aku putuskan, aku harus berani. Mungkin terlambat, tapi setidaknya kali ini aku ga menghindar."

"Memang itu yang seharusnya kamu lakuin dari dulu."

Aku hanya diam, memang aku sudah menarik semua keberanianku keluar. Tapi tetap saja dari tadi aku gelisah, tanganku dingin, jantungku berdegup liar. Aku bahkan ga yakin apa yang harus aku katakan pada Andra, kata-kata yang selama beberapa hari ini kurangkai diotakku perlahan menghilang.

"Kamu cuman perlu mikirin setelah ini semua selesai. Aku tau kamu pasti bisa Na,"aku tersenyum, mengangguk pelan menerima peneguhan dari Gita.

"Ya, Tuhan bantu aku. Lancarkanlah semuanya,"doaku dalam hati saat melihat mobil hitam itu berhenti di depan pagar."Git, kalau aku pulang makanan harus sudah tersedia. Kayaknya aku bakalan makan banyak habis ini,"aku mencoba bercanda, karena kalau stress aku memang cenderung makan dengan kalap.

"Tenang aja, ayam asam-manis kesukaanmu kubuat dua kali lebih banyak."

Aku tertawa, dengan gugup berjalan menuju mobil dihadapanku. Nena, kamu pasti bisa.
-----------
Aku memainkan tepi cangkir vanilla latteku yang sudah dingin dan tanpa tersentuh sedikitpun. Andra dihadapanku juga melakukan hal yang sama. Kurasa sudah lebih dari tiga puluh menit, dan kami masih diam bahkan saling menatap pun tidak.

"Seminggu yang lalu aku ketemu Bayu, dia bilang dia minta maaf ke aku. Dia minta maaf untuk sepuluh tahun yang lalu,"dia mengangkat wajahnya, mulai tertarik dengan perkataanku."Sepuluh tahun lalu, dia pernah datang nemuin aku. Dia marah, bukan hanya marah tapi dia juga nampar aku,"kenanganku mengingat tamparan Bayu, setelah aku tidak menghiraukan peringatan darinya.

"Aku ga pernah tau,"dia tersentak kaget, mendengar ceritaku yang baru di dengarnya."Kenapa?"

"Dia bilang, aku harus jauhin kamu."

"Kenapa?"tanyanya lagi.

"Dia bilang kamu suka sama aku, karenanya aku harus jauhin kamu karena dia ngerasa kalau aku tuh cuman mainin kamu,"aku kembali memainkan cangkir dihadapanku, gelisah karena aku tahu dia menatapku. Kembali kami hening beberapa saat.

"Kalau aku bilang apa yang dikatakan Bayu itu benar gimana?"Aku mengangkat kepala menatapnya, ragu akan jawaban yang harus aku katakan dan akhirnya aku memilih diam."Kurasa aku selalu mengucapkannya, walaupun secara tidak langsung,"lanjutnya.

"Dra, kamu tau kan gimana aku sepuluh tahun lalu."

"Tentu aja Na, makanya aku ga pernah bilang langsung ke kamu. Aku tahu kalau aku bilang langsung ke kamu, pasti kamu bakalan jauhin aku. Kamu tau ga Na, kalau aku tuh suka banget sama kamu,"tatapannya menembus jiwaku."Aku suka kamu karena kamu selalu memprioritaskan pendidikan kamu, aku suka kamu karena kamu bahkan tahu masa depan apa yang akan kamu jalani kelak. Aku suka kamu karena kamu yang pertama kali ngajarin aku tentang tanggung jawab, kamu yang ngajarin aku supaya ga menyia-nyiakan masa mudaku dengan hal-hal yang ga berguna. Aku suka kamu karena kamu yang ngajarin aku tentang arti kebanggaan, saat aku menang lomba renang, ikut tim futsal sekolah, jadi kapten tim basket, dan saat tampil dengan bandku diacara pensi sekolah,"dia menghela nafasnya, memberi jeda sejenak agar aku memahami kata yang keluar dari mulutnya.

Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang