NH 20 - Aku Harus Pergi

593 64 23
                                    

REYHAN POINT OF VIEW

Tahu apa yang kurasakan saat Jost tertembak?

Sakit. Perih. Hancur.

Aku merasa bahwa akulah yang paling bodoh. Melihat Josh ambruk di depan mataku, aku hanya mampu meneriakkan namanya. Ketika Josh ambruk, aku hanya mampu berdiam diri melihat seluruh police line di sekitar areanya.

"Jika meminta maaf berguna, buat apa ada polisi?!"

Saat itu aku benar-benar berniat untuk menghancurkan kantor polisi ini. Kata maaf mereka begitu mudah diucapkan, tetapi tak mampu membawa Josh kembali!

Di antara yang lainnya, AKULAH YANG PALING SAKIT!

Hatiku perih di tiap gundukan tanah di atas keabadiannya. Semua kenangan kami terkubur rapat-rapat di sana. Aku harus apa aku juga tidak tahu. Aku hanya mampu menangis dan terus menyalahkan diriku atas apa yang terjadi.

Akulah yang paling pengecut!

Josh sedang membutuhkan uang, dan aku tidak mengetahui itu! Aku sedang dalam keadaan bangkrut, dan Josh mengetahui hal itu!

SAHABAT MACAM APA AKU INI?!

Pantaskah aku dianggap sahabat? Sahabat yang hanya berlagak bodoh saat Josh tertembak. Andaikan waktu itu aku mencegah Josh untuk kabur. Andaikan waktu itu aku tidak kabur dari rumah. Apakah semuanya masih baik-baik saja? Apakah Josh akan tetap bersama kami? Ataukah tetap sebaliknya?

Tuhan... cobaan apa lagi yang sedang kau ujikan? Mengapa rasanya begitu perih? Mengapa kisah kami harus terus berlanjut tanpa ada kehadiran Josh? Apakah itu adil?

Percuma. Aku terus menangis meraung-raung saat di kantor polisi, dan terus menyalahkan siapa saja yang membuat Josh seperti ini. Beberapa dinding di sana menyimpan hasil amarahku. Namun percuma. Mau seberapa keras aku menghancurkan dunia ini, Josh tetap tidak akan kembali.

Aku hanya membuang-buang waktu.

Tuhan... apakah aku egois? Tentu saja! Aku egois! Aku pergi dari rumah untuk menimbulkan berbagai macam kekacauan. Akulah penyebab kekacauan ini!

Tanganku terus terkepal bagaikan baku hantam. Siap menghancurkan siapa saja yang berani menyentuhku. Namun aku tersadar, apa yang kumiliki akan segera pergi. Aku tahu itu! Aku tahu itu! Menerima kenyataan yang telah pergi itulah yang aku tidak bisa menerima! Kenyataan pahit itulah yang aku tidak ingin dengar!

Josh... laki-laki bartender, bertubuh kekar, rambut yang ingin dipuji mirip Michael Clifford itu telah hilang... untuk melindungiku.

Jika "Maaf" adalah kata terakhirmu untukku, maka "Terima kasih" ini kuucapkan sebagai kata terakhirku untukmu.

Istirahatlah dengan tenang, Keenan N Joshua.

***

Pintu kamar yang telah lama kutinggali kembali terbuka. Nuansanya masih sama. Apakah aku akan kehilangan lagi?

"Mah..." Aku bertekuk lutut saat di depannya. Menyentuh kedua tangannya yang rapuh, aku mencium tangan itu lembut. "Mama tahu kalau Reyhan sayang sama Mama?" lirihku.

Mama tetap memandang jendela itu. Tidak ada suara apa pun yang terdengar. Kami tenggelam dalam keheningan.

Aku menatap mata Mama. Mata yang telah memancarkan seribu bayang. "Josh sudah meninggalkan Reyhan, apakah Mama juga?"

Mata pucat itu bergerak lemah menatapku. Air mata kasih sayang itu menetes begitu mata itu berkedip. Aku tahu Mama menyayangiku. Mama tidak akan pergi meninggalkanku.

"Makasih ya, Mah..." Aku menyandarkan kepalaku di atas pangkunya. Menikmati setiap momen keberadaanku bersama Mama. Mama yang selalu tampil cantik hingga kini di mataku. Mau bagaimanapun, wanita ini adalah Mamaku. Mama yang telah menghadirkanku di dunia ini, sebagai Reyhan kecil.

Reyhan kecil yang selalu menangis soal apa pun. Reyhan kecil yang selalu menepuk-nepuk tangannya begitu melihat Mama. Reyhan kecil yang selalu merepotkan di mana saja.

Hingga Reyhan kecil itu berubah menjadi diriku yang seperti ini. Berkat Mama. Berkat Mama. Dan... Papa. Tentu saja.

Aku menenggelamkan diri di atas pangkuan Mama. Menumpahkan semua rasa sakit yang membelenggu. Dulu, jika aku merasa sedih, Mama akan mengusap rambutku. Aku sangat merindukan sentuhan Mama.

"Mah... Reyhan minta maaf ya, Mah..."

Tangan Mama terangkat untuk menyapu lemah di rambutku. Walau lemah, namun tetap terasa kelembutannya. Mama menitikkan air mata di wajah kosong itu. Tiap bulir air mata itu adalah mutiara yang kujaga selama ini.

Aku adalah pahlawan bagi Mama. Aku tidak segan-segan melawan siapa saja yang membuat mutiara itu terjatuh. Tetapi kali ini akulah yang membuat mutiara itu terjatuh. Haruskah aku melawan diriku sendiri? Apa yang perlu kulawan dari tubuhku yang lemah ini?

"Re... Rey... han..."

Aku mendongak. Mata Mama langsung bertemu di mataku. Mata itu sangat sendu. Sesendu rasanya kesepian.

"Mama..." Aku segera memeluknya. Sudah berapa lama aku tidak memeluknya. Aku melupakan Mama begitu saja. Dosakah aku, Tuhan?

"Ma... ma-af... Ma-ma..." Suaranya terdengar parau. Suara itulah yang telah menghilang dari dunia ini. Jujur, aku ingin Mama terus mengusap rambutku seperti ini.

"Mama nggak perlu meminta maaf. Reyhanlah yang salah. Reyhan sayang Mama, jangan tinggalin Reyhan, Mah..."

Aku menjadi laki-laki yang cengeng. Tidak ada lagi Reyhan yang tampan. Tidak ada lagi Reyhan yang bisa segalanya. Aku hanyalah Reyhan yang cengeng.

Mama tidak berkata apa-apa lagi. Baginya, akulah yang tersisa. Kukecup pipinya yang keriput. "Mama baik-baik aja ya. Mama nggak boleh sakit. Mama harus semangat. Hati Reyhan ada buat Mama, walaupun tubuh Reyhan nggak di sini. Tetapi Mama nggak boleh pergi dari Reyhan. Mama harus nurut," ucapku lembut di depan wajahnya. Tanpa kusangka, Mama mengangguk pelan—pelan sekali.

Aku tersenyum lebar. "Kalau begitu, Reyhan merasa lega. Reyhan mau bertanggung-jawab dulu atas semua kekacauan ini, Ma. Doain ya. Reyhan sayang Mama." Aku meninggalkan Mama yang masih menatap pangkuannya.

Maafin Reyhan, Ma. Selamat tinggal... I love you.

To be continued...
30 Juni 2017

Nb: Aku mau adain Challenge Give Away. Ada yang mau ikutan kah? Hadiahnya satu buah novel, pulsa banyak, dan follow semua akun sosmed kamu dengan akun-akunku. Challenge-nya gampang sih, aku kasih tau nanti kalo emang ada yang mau ikutan. Gimana? Ikutan?

Nuansa HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang