NH 2 - Teh Buatan April

2.5K 293 348
                                    

APRIL POINT OF VIEW

REYHAN menaruh cangkir tehnya setelah disesap. "Kamu selalu meninggalkan rasa yang khas pada donat dan teh ini yang membuat jantungku terus berdebar," katanya mantap.

Tuh kan? Sudah kuduga dia akan mengatakannya lagi.

Aku memasang ekspresi sebal pada Reyhan. Laki-laki itu mengambil sebuah kertas lukis dan disodorkan kepadaku. Aku tahu Reyhan pandai melukis, dan itu sudah menjadi hobinya. Kertas lukis ini sudah menjadi kertas yang kelima puluh dia berikan padaku. Beberapa yang cocok, kutempelkan pada dinding kedai ini, beberapa lagi aku simpan di kamarku.

Dia pernah bercerita padaku bahwa suatu saat, dia ingin menjadi pelukis yang terkenal. Tetapi, ayahnya menuntutnya untuk menjadi seorang pianis. Aku tahu Reyhan membenci piano. Dia pernah bercita-cita membanting pianonya di atas panggung, seperti band-band rock yang membanting gitarnya seusai konser.

Aneh sekali.

KRING...

Aku menengok ke arah pintu. Seorang pria paruh baya memasuki kedai ini. Beliau menduduki kursi di belakang Reyhan.

"Yuhu, April. Layani pelanggan itu di mejanya, ya. Pantastik! Lop-lop!" seru Maddame dari balik pintu dapur.

Dengan semangat, aku melayani pelanggan pertama hari ini. Beliau bolak-balik mendehem begitu melihat daftar menunya. Sepertinya, semua makanan ini tidak cocok untuknya. Maksudku, beliau sudah tua, makanan manis tidak akan cocok untuk giginya.

"Saya... ini saja deh. Roti tawarnya dua, dan teh hangat tidak terlalu manis satu ya, Mbak." Pria paruh baya itu tersenyum sambil menyodorkan kembali buku menunya.

Silakan menunggu, begitu ucapku melalui senyuman dan anggukan kepala.

Langkahku bergegas ke balik etalase yang memamerkan aneka roti buatanku pagi-pagi sekali. Jariku menekan tombol dispenser hot drink. Aliran air teh yang menggugah selera itu mengepul di cangkir.

Aku rasa tidak ada yang lebih nikmat dari secangkir teh. Dan harus kuakui bahwa teh dan donat buatanku memang sangat enak.

Aku kembali menaruh pesanan pria itu di mejanya. Matanya seketika berbinar mencium aroma tehku. Sebentar lagi, dia akan terpikat oleh teh buatanku. Hihihi.

"Hmm... baunya enak sekali!" Pria itu mulai mengangkat cangkirnya, lalu menyesapnya. "Wah! Ini teh paling enak yang pernah saya minum! Ini Mbak yang buat?" tanya pria itu memberikan sederetan pujian.

Aku tersenyum lebar.

"Sayang, saya sudah tua. Ah, tapi nggak jadi masalah. Saya akan rekomendasikan kedai ini untuk teman-teman saya," tawa pria itu. "Mbak namanya siapa?"

Aku meraba pakaianku. Ah, sial! Aku meninggalkan name tag-ku di meja belajar. Seharusnya aku tidak ceroboh hari ini.

Sebagai gantinya, aku mengambil pena di kantong pakaianku, dan menuliskan di atas secarik kertas yang belum dibaca oleh pria tersebut.

Nama saya April. Maaf, saya tuna wicara.

Sekilas tampak kilat keterkejutan di mata pria tersebut. Dengan profesional, aku tetap bersikap tenang. Aku sudah biasa menghadapi hal seperti ini. Dan aku bahagia.

Ya beginilah kehidupanku. Aku selalu berteman dengan kekuranganku. Selagi masih bisa tertawa walau tak terdengar, why not? Kekurangan itu bukan suatu penghambat untuk merasakan kebahagiaan. Kekurangan itu adalah cara Tuhan untuk memberikanmu sebuah kecukupan.

"Ah, baiklah kalau begitu," ujar pria tersebut sambil menyesap lagi cangkirnya.

Setelah semua beres, aku kembali ke dapur untuk mencuci tanganku. Maddame yang mendengar perbincanganku di luar sana, terus tersenyum bangga.

"Yuhu... kerja bagus, April. Paporit! Maddame beruntung sekali bisa punya kamu di kedai ini. Jangan pernah mengundurkan diri, ya. Kamu berbakat sekali. Pantastik! Lop-lop!" Maddame menepuk-nepuk pundakku dengan bangga, lalu dirinya disibukkan kembali dengan melihat jam tangannya.

"Aduhai, ini manalah si Shapira. Udah siang belum tampak wajah imutnya. Maddame bingunglah ini, mah, pelanggan makin penuh aja, aduhai." Maddame tampak gelisah.

KRING...

"Nah, itu dia yang Maddame tunggu!" seru Maddame begitu Shafira masuk ruang dapur dengan setelan modis.

Dia selalu tampil cantik. Herannya, Shafira adalah anak dari keluarga yang sangat mampu, namun entah mengapa, dia lebih memilih untuk bekerja di kedai ini bersamaku.

"Kamu sudah Maddame tunggu dari tadilah! Kamu ke mana aja?" sambung Maddame sambil berkecak pinggang.

"Ah, Maddame..." Shafira mulai mengeluarkan jurus merayu yang kerap sekali ia gunakan ketika datang kerja terlambat. "Aku tadi dandan dululah, Maddame. Soalnya nanti Michael mau jemput aku buat da-ting," kata Shafira sambil mengibas-ngibas rambut panjangnya.

Maddame melotot. "Michael siapa? Oh, yang ganteng itu? Yang rambutnya keren itu? Wah!"

Kukira Maddame akan menegur Shafira yang sering membolos bekerja, namun ternyata jawabannya di luar ekspektasiku.

"Maddame juga mau da-ting sama Michael!" Mata Maddame mulai berbinar.

Yup. Michael adalah pacar Shafira dari empat bulan yang lalu. Cukup tampan sih, menurutku. Dia pacar Shafira yang masih bertahan lebih dari tiga bulan. Itu sebuah kemajuan! Dia juga sering memuji kopi buatanku. Namun, dia tidak suka donat. Yah, nggak masalah. Rasa itu selera.

"Ingat umur dong, Maddame. Entar kalau si Mr. Daddy punya simpenan di Amerika sana, gimana hayo?" goda Shafira sambil memainkan jari telunjuknya.

"Aih, nee nee nee nee nee! Maddame yakin kalau Daddy itu setia. Nggak seperti kamu yang rutin tiap tiga bulan selalu ganti pacar," ledek Maddame membuat Shafira cemberut.

"Aku cuma nggak nemu cowok yang cocok aja, Maddame, bukan gonta-ganti pacar. Ih, Maddame, ih!" Shafira menghentakkan kakinya seperti anak kecil.

Dalam hati, aku berkata, Nggak bakal ada cinta yang cocok sepenuhnya. Setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Seperti di dunia ini yang tidak ada hal yang sempurna. Namun apa daya? Aku sedang malas menulis panjang-panjang di atas kertas. Biarkan suatu saat ada orang yang akan mengingatkannya.

"Hei, dengarkan Maddame. Nggak bakal ada cinta yang cocok sepenuhnya. Setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Seperti di dunia ini yang tidak ada hal yang sempurna," ucap Maddame sambil mencuci beberapa piring di tempat cucian.

Nah, benar kan? Aku tertawa. Maddame selalu menyalurkan apa yang sedang kupikirkan. Shafira memajukan bibirnya, kemudian menatapku.

"Kamu dong, Pril, kapan punya pacar?"

Aku tidak tahu maksud dari perkataan Shafira. Antara murni pertanyaan atau memang ada unsur mengejekku karena aku tidak pernah pacaran. Yang pasti opsi kedua itu cukup menyakitkan.

Mungkin suatu saat aku akan merasakan sebuah cinta. Yup, cinta.

Nuansa HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang