NH 22 - Nuansa Hujan

931 64 39
                                    

APRIL POINT OF VIEW

Seharusnya aku menyadari bahwa malam itu adalah malam terakhir kami.

Indonesia, 2017

Orang lebih sering memanggilku sebagai April dari sebuah nama Rani Aprilia.

Aku akan sedikit menceritakan tentang kebahagiaanku. Sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan tertawa bersama hujan, itu sudah lebih dari cukup. Karena dengan hujan, aku bisa bebas menjadi diriku sendiri.

Namun kebahagiaan itu kini berganti dengan sebuah kesedihan. Kesedihan yang amat menyiksa.

Hari ini, langit masih berawan. Tetesan air hujan masih menetes dari pepohonan dan atap-atap bangunan. Aku mengayuh sepeda kesayanganku yang sudah menemaniku sejak sepuluh tahun terakhir. Terkadang aku berhenti mengayuh dan menjejakkan kakiku di jalanan aspal yang masih menebarkan bau basah, atau orang muda lebih sering menjulukinya dengan petrikor.

Ini tahun kedelapan aku bekerja di kedai roti bersama sahabatku, Shafira. Dia adalah perempuan yang baik nan cantik. Terkadang aku menginginkan kehidupan sepertinya, berjalan berdua dengan kekasihnya, berpegangan tangan, berpelukan, dan saling menghangatkan satu sama lain.

Keinginan itu membuatku terjun semakin dalam pada sebuah kenyataan yang menyakitkan.

"Yuhuu, pagi, April," sapa Maddame. "Cepat layani itu pelanggan sampai benar-benar puas, ya, perpect! Pantastik! Lop-lop." Maddame mengangkat jarinya membentuk love.

Aku diam tanpa suara. Bertemu Maddame memang membuat hariku semangat. Tetapi bertemu dengan-nya jauh lebih membuatku semangat.

Aku tahu Maddame menyayangiku—sangat-sangat menyayangiku. Beliau pernah berkata bahwa wajahku ini mirip dengan anaknya yang telah meninggal akibat leukemia sepuluh tahun yang lalu. Ayahku juga meninggal akibat komplikasi penyakit asam lambung sepuluh tahun yang lalu. Dan kini bertambah satu lagi, dia telah menghilang sejak lima tahun yang lalu.

Banyak hal menyedihkan yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Namun yang paling menyedihkan bagiku kini adalah menerima kenyataan bahwa dia tidak lagi berada di sisiku sejak lima tahun yang lalu. Dan aku merindukannya.

KRING!

Lonceng di atas pintu masuk itu berbunyi. Tanpa aba-aba, mataku langsung menatap pintu masuk.

"Selamat pagi, Rani Aprilia."

Laki-laki bertubuh tinggi itu kini lebih sering mengunjungi Kedai Roti Maddame. Dia cukup manis. Rambutnya selalu menjulang tinggi ke atas. Laki-laki itu adalah mantan pacar Shafira. Namanya Michael, sepupu-nya.

Perasaan ini kembali kecewa. Semakin hati ini berharap, semakin sakit kenyataannya. Dia benar-benar menghilang. Cinta yang telah kupendam sejak kecil itu benar-benar menghilang.

"Haahh, aroma kopi ini enak sekali," puji Michael sambil menghirup lalu mengembuskannya aroma kopi yang semerbak.

Aku tersenyum mendapati-nya—Michael yang langsung menduduki kursi langganannya. Michael selalu memesan pesanan yang sama sejak Cinta menghilang malam itu.

Tanganku membawa nampan berisi secangkir kopi hangat dengan gemetar. Ini semua mengingatkanku akan awal cerita yang berisi dengan sebuah kebahagiaan, kini diakhiri dengan sebuah kesedihan. Tak lupa, aku selalu meninggalkan jejak berupa arsiran huruf R di atas permukaan kopi, dan sepucuk kertas yang selalu menemaniku menanyakan keberadaan-nya.

"Aku merindukan-nya. Apakah ada sebuah alasan yang menjelaskan rasa pedih ini?" Dia membaca sepucuk kertas dariku dengan raut hancur. Kemudian matanya memandangku. "Aku tahu kamu merindukan-nya. Aku yakin dia pun begitu. Tunggulah saja. Biarkan waktu yang menjelaskan ini padamu suatu saat."

Nuansa HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang