NH 10 - Gery Alexander

806 90 53
                                    

REYHAN POINT OF VIEW


SENTUHAN itu memberikan warna di setiap gerakannya. Warna demi warna memiliki cerita sendiri di tiap sentuhannya. Bagaikan hujan yang memiliki sejuta kisah di tiap butirannya. Kuas itu bergerak sebagai alat penerjemah hati. Kanvas ini berdiri tegak mendengarkan setiap cerita yang kulukis.

Suatu saat, ketika bibir dan tubuh ini tak mampu lagi menggapai hujan, kuharap di setiap lukisanku dapat menggapainya.

TUK...

Suara di luar sana mengacaukan garis konsentrasiku.

TUK...

Sialan.

TUK...

Baiklah-baiklah. Aku berdiri dari kursi ini dan melangkah keluar kamar. Di setiap langkah, telinga ini selalu mempertajam pendengarannya. Mengikuti semua bunyi "Tuk!" yang terdengar.

Hingga pada akhirnya, aku berhenti melangkah di ambang pintu kamar Gery.

"Ngapain, Ger?"

Namanya Gery Alexander. Adikku satu-satunya yang baru saja duduk di bangku kelas 6 SD. Gery tampan sepertiku. Masa yang biasanya anak laki-laki merapat pada seorang "anak perempuan", justru merekalah yang merapat pada Gery.

Pertanyaanku bagaikan angin yang hanya dirasa. Gery memandang lurus dengan tatapan kosong, namun kakinya terus mengetuk-ngetuk lantai.

"Ger?"

Panggilan kedua, Gery menoleh. Dia menatapku datar sekilas, lalu kembali menatap lurus. Karena bingung, aku hanya bisa memandangnya sambil duduk di ranjang sebelahnya.

"Ger? Kedip dong. Nggak perih apa matanya nggak kedip?"

"Nggak mau, Bang."

Gery menjawab tanpa menoleh padaku. Nadanya juga terdengar datar. Aku yang sedari tadi memperhatikannya tidak berkedip, justru mataku yang mengeluarkan air mata.

"Kenapa nggak mau?" tanyaku memandangnya aneh.

"Takut, Bang." Gery menjawab.

"Takut apa?"

Gery menghela napas panjang. Wajahnya masih setia menghadap lurus. Padahal di depannya hanya ada dinding putih bersih.

"Aku lagi jatuh cinta, Bang."

"Hah?" Aku menoleh cepat ke arahnya. "Terus apa hubungannya sama nggak mau kedip?"

Gery menatapku datar. Kadang aku berpikir bahwa adikku memang tidak punya ekpresi. Mau naik rollercoaster juga datar. Berdiri di pinggir tebing juga datar. Teman-temannya yang lain pada heboh nonton Cat Walk Victoria Secret, wajah Gery hanya datar. Jatuh cinta saja, wajahnya datar.

"Bayang-bayangnya selalu muncul kalau aku kedip, Bang," jelasnya.

"Ooh." Cinta monyet rupanya.

"Bang." Gery menatapku datar. "Wajahku mirip monyet ya, Bang?"

"Hah?!" pekikku membulatkan mata.

Perutku geli. Gelinya dari perut sampai ke mulut. Dan tawa keras itu seketika menghantam wajah Gery.

"Kok ketawa, Bang?"

"Ya jelaslah. Memangnya, siapa yang bilang kalau wajahmu mirip monyet?" tanyaku sambil mengusap air mata ini.

"Anin, Bang," katanya datar.

"Dia bilang apa?"

Gery kembali menatapku. "Aku suka Anin, Bang, tapi Anin bilang kalau cintaku itu cinta monyet."

Anak ini memang ada-ada saja.

"Ya maksudnya Anin, cinta anak remaja itu masih cinta monyet. Maksudnya, cinta yang main-main doang, bukan wajah kamu mirip monyet." Aku menghela napas serta menetralkan getaran di perut ini.

"Tapi aku nggak lagi mainan, Bang," elak Gery. "Cintaku bukan cinta monyet."

"Ya tapi istilahnya tetap saja 'Cinta Monyet', Gery." Nadaku menekan nama "Gery". Anak yang satu ini memang keras kepala. Harus dinasihatin seribu kali baru mau nurut.

"Kenapa harus 'Monyet', Bang?" Dia masih belum mau mengalah.

"Ya karena... ka-karena..."

Penjelasanku terdengar putus-putus—baiklah, memang putus-putus. Gery sedang menatapku dengan garis wajah yang mendesak ingin tahu penjelasan itu. Sejujurnya, dari tahun ke tahun penjelasan "Cinta Monyet" ya hanya itu-itu saja. Aku sendiri tidak mengerti mengapa harus "Monyet" yang menjadi sebuah perumpamaan sebuah cinta "anak-anak". Tidak adakah nama yang lebih baik?

Aku jadi curiga pada Charles Darwin, penemu evolusi manusia. Jangan-jangan dialah yang memberi istilah "Cinta Monyet". Aku jadi kasian padanya. Terlalu banyak membahas tentang kera, hingga pada akhirnya terjadilah novel yang berjudul I'm In Love With Monkey karya Charles Darwin.

"Karena apa, Bang?" Gery memperjelas wajahnya di hadapanku.

Segera aku menggeser kepalanya dari pemandanganku. Sepertinya, ini cara yang baik untuk menghindar dari topik memojokkan.

"Sudahlah, Ger. Boleh-boleh saja untuk menyukai mony--"

"Anin, Bang." Gery segera membenarkan perkataanku.

"Ya, Anin. Tapi ingat, jangan pacaran dulu, nanti kamu jadi--"

"Monyet, Bang?"

Argh! Mengapa bocah ini selalu saja memotong perkataanku? Tidak tahukah bahwa rasanya tidak enak jika pembicaraan kita langsung disahut begitu saja. Dasar bocah.

"Ya! Monyet!"

Dasar, keturunan Darwin.

Aku langsung meninggalkannya begitu saja. Dia telah menyita dua puluh menitku untuk pembicaraan tentang monyet. Sedangkan bisikan hatiku kutinggalkan begitu saja di atas kanvas. Bahkan aku belum menorehkan warna inti di atasnya. Payah.

Nuansa HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang