NH 13 - Ketakukan Terbesarku

618 73 28
                                    

REYHAN POINT OF VIEW

SAAT itu, hari menjelang malam. Kami bertiga—Papa, Gery, dan aku, sedang menikmati secangkir teh hangat di dekat perapian. Tidak ada satu orang pun yang bersedia membuka perbincangan. Kami hanya terdiam untuk sesaat, menikmati bunyi letusan kecil dari kayu-kayu perapian.

Beberapa menit kemudian, Papa meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Wajahnya tampak tenang dan terpancar aura kasih sayang. Mungkin karena kumis tebal di wajahnya. Beliau menatap Gery, kemudian aku.

"Papa bakal ada proyek pembangunan lagi."

"Wah! Proyek apalagi, Pah?" Gery menatap Papa dengan tatapan takjub.

Papa tersenyum hangat. "Proyek pembangunan hotel di kota ini."

Aku mendehem sambil menaruh cangkir di meja sebelahku. "Oh ya? Selamat, deh. Mau di kawasan mana?"

Awalnya Papa tersenyum, namun begitu aku melemparkan pertanyaan barusan, senyum diwajahnya tergantikan oleh raut yang bimbang. "Di... di kampung Diponegoro."

BLAM!

Hatiku terasa diinjak begitu mendengar tuturan Papa. Secepat kilat aku bangkit dari dudukku. "Itu kan kampungnya April!"

Papa turut berdiri sambil berusaha menenangkanku. "Iya, awalnya Papa ingin menolak, tetapi hasil yang ditawarkan menjajikan. Papa nggak mungkin menolak hanya karena alasan itu rumah April. Banyak yang sudah melemparkan kritik dan saran untuk segera menghapus kawasan kampung Diponegoro demi pembangunan negara."

"Itu pembangunan, atau penyingkiran?" sindirku tajam.

Papa menekuk wajahnya. "Sudah, Reyhan. Papa bercerita seperti ini, bukan untuk meminta restumu, melainkan hanya sebagai informasi saja. Jadi kamu tidak ada hak untuk membatalkan semua proyek ini."

"Kalau begitu, biarkan April dan keluarganya tinggal di sini."

"Jangan bodoh."

Papa memang benar-benar keterlaluan. "Lantas, ke mana warga kampung harus mengungsi? Apa itu sudah dipikirkan? Apakah mereka akan mendapatkan tempat yang layak?"

Papa terdiam sesaat. "Itu urusan rekan Papa yang lainnya. Sudah! Intinya kamu tidak memiliki hak untuk mengeluarkan suara tentang proyek ini," kata Papa geram. "Kecuali..."

Aku mengerutkan dahi. "Kecuali...?"

"... kamu mau melanjutkan kuliah di Vancouver."

"Apa?!" Aku memasang raut terkejut dan tidak setuju. "Kenapa harus jauh sekali? Aku tidak memiliki masalah dengan universitasku di sini. Dan aku nyaman."

Papa meletakkan kedua tangannya di belakang punggung. Pria itu berjalan tenang ke arah jendela yang menunjukkan warna-warni kota metropolitan.

"Papa ingin melihat kamu lulus dengan gelar Doktor di Vancouver. Papa juga ingin... kamu melanjutkan jejak Papa di sini. Kamu dan Gery adalah harapan Papa. Gery masih kecil, sedangkan kamu sudah kuliah. Tolong mengertilah." Nada suaranya melembut.

Gery menatap nanar perbincangan ini. Sedangkan aku sudah menyusul langkah Papa dari belakang. "Biarkan Gery yang menjadi penerus Alexander Group. Aku sudah tidak berminat dari awal. Aku tidak ingin menjadi seperti Mama kelak! Yang terakhir... aku tidak akan pergi ke Kanada."

Papa memutar badannya dan mengubah mimik wajahnya menjadi sosok yang profesional. "Tidak masalah. Kalau begitu proyek ini akan terus berlanjut. Ucapkan selamat tinggal pada April."

Aku tersenyum miring. "Coba saja."

Tampak keterkejutan dari wajahnya yang penuh kasih sayang. Kakiku melangkah pergi begitu saja meninggalkan ruang keluarga. Pikiranku kacau. Apa yang selama ini kutakutkan akhirnya terjadi. Sebuah ketakutan terbesarku yang selalu aku pendam sendirian.

Jika kebahagiaan terbesarku adalah melihat tawa April, maka ketakutan terbesarku adalah kehilangan April.

Wajah suramku ini kuusap dengan punggung tangan. Kuputuskan untuk kabur dari rumah. Itu adalah cara yang ampuh untuk meminta toleransi kepada Papa. Sebelum aku benar-benar kabur dari sini, aku memasuki sebuah kamar yang jarang dimasuki oleh kami— lebih tepatnya Papa dan Gery.

Kamar ini nampak sendu. Semua jendela tertutup dengan gorden indah yang hanya menyisakan satu jendela bebas gorden. Kamar ini nampak rapi karena setiap hari dibersihkan oleh Bi Jan. Udara dingin yang berasal dari semburan AC itu ikut membuat siapa pun yang memasuki kamar ini merasa nyaman. Namun ini bukan saatnya untuk memuji kamar ini.

Di hadapan jendela tanpa gorden itu, ada seorang wanita yang tengah duduk di kursi roda. Wanita itu memunggungiku dan menatap indahnya pemandangan di luar sana. Rambutnya panjang lurus berwarna hitam, tubuhnya kian hari kian mengurus, raut wajahnya nampak datar dan kosong.

"Mah..." Aku menyentuh kedua tangannya. Mama tidak menatapku, melainkan hanya memandang luar kosong. "Reyhan pergi dulu ya... Mama baik-baik sama Bi Jan yang sudah merawat Mama selama ini. Reyhan bakal balik lagi kok ke sini kalau Papa sudah berubah pikiran."

Tidak ada jawaban darinya. Bibir yang selalu merona itu kini menjadi putih pucat. Wajah yang selalu dibangga-banggakan di depan semua orang itu telah tergantikan oleh wajah nanar. Wanita yang sempat menjabat sebagai model ini telah kehilangan semangat hidupnya.

Semua berawal dari PT. Alexander Group yang tiba-tiba mengalami kebangkrutan. Rumah kami disita, dan kami hanya tidur beralaskan atap-atap yang bocor. Mama juga kehilangan pekerjaannya sebagai model. Jiwa dan raganya tidak bisa menerima begitu saja untuk menjalani hidup tanpa uang. Kekayaan dan kemewahan itulah yang merenggut akal sehat Mama. Mama menjadi hilang akal sejak saat itu.

Kekayaan dan kemewahan telah menutup mata hati ibuku. Wanita itu berprinsip bahwa uang adalah segalanya, bukan Tuhan adalah segalanya. Papa yang telah banting tulang hingga dapat menegakkan kembali Alexander Group saja tidak mampu mengembalikan kewarasan Mama.

Itulah alasan mengapa aku tidak ingin menjadi penerus Alexander Group. Aku tidak ingin hatiku ini ternodai oleh uang, karena uang bukanlah segalanya.

"Reyhan sayang Mama. Cepat sembuh ya, Mah..."

Aku mengecup pipi Mama dengan lembut seakan kasih sayangku padanya tidak akan pernah hilang setitik pun. Wanita gila itu adalah ibuku. Wanita gila itu adalah sosok yang ikut mewarnai kehidupanku. Aku tidak ingin kehilangan wanita gila itu.

Mama tidak meresponku. Dirinya tetap berada pada posisinya, diam dan menatap luar. Aku berjalan keluar kamar dengan langkah pelan. Sebelum akhirnya aku menutup pintu, aku melihat Mama mengeluarkan sebutir air mata di wajah polos itu.

"I love you, Ma."

Maaf telat sehari :( Jangan lupa untuk mampir di The Broken Wings. Thank you and see you next week!:)

Nuansa HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang