"This place wouldn't be the same
without you,
you can say that it would be
a little worse...
There's just something about you,
with you it is all more worth..."HONNE - Woman
🎠🎠🎠
"Tuh, kan. Pasti, deh. Nikki mau temenin Bunda belanja karena ada maunya, kan?" kata Bunda sewaktu Nikki meminta dibelikan salah satu majalah remaja putri edisi terbaru yang terpampang di rak dekat kasir.
"Please, Bunda... beliin, ya! Tinggal satu soalnya, keburu habis, nih," rengek Nikki dengan bibir dimanyunkan.
Bunda hanya bisa mendesah pendek. "Ya udah. Itu aja, ya."
Mendengar jawaban dari Bunda, Nikki langsung tersenyum selebar mungkin. Ia menghambur ke dalam pelukan Bunda dan bergumam, "Makasiiih, Bundaku tersayang."
"Lebay, ih," cibir Bunda sambil melepaskan pelukan Nikki dan segera membayar total belanja bulanannya di kasir.
Nikki melangkahkan kakinya lebar-lebar sembari bersiul riang saat mereka telah keluar dari supermarket dan menuju mobil yang diparkir agak jauh di ujung jalan.
"Jangan jalan cepet-cepet, nanti kamu jatuh." tandas Bunda, berusaha menyusul Nikki yang sudah berada agak jauh di depannya.
Otomatis, langkah Nikki pun terhenti. Ia menoleh ke belakang untuk mengecek keberadaan Bunda.
"Sini, Bunda gandeng," kata Bunda sembari menarik tangan Nikki yang bebas dan menggenggamnya erat.
Nikki tersenyum lembut menatap Bunda. Mendadak ia rindu dengan genggaman tangan Bunda yang hangat yang sudah tak dirasakannya lagi sejak lama.
Nikki tak ingat kapan terakhir kali mereka pergi hanya berdua saja seperti kali ini.
Sementara Nikki sibuk dengan kegiatan sekolahnya, Bunda juga disibukkan dengan profesinya sebagai profesor di salah satu universitas negeri ternama. Beliau pun sering diundang untuk mengisi seminar, workshop, atau event-event akademis lainnya di luar kota bahkan luar negeri sehingga membuatnya jarang berada di rumah, terutama pada akhir pekan.
Tidak ada lagi pergi ke taman bermain.
Tidak ada lagi dongeng sebelum tidur.
Tidak ada lagi kenangan yang diabadikan.
Kadang memang seironis itu. Ketika kita beranjak dewasa, hal-hal yang biasa dilakukan bersama orang tua kita juga perlahan terhapus satu demi satu kemudian menjelma menjadi sebuah kenangan masa kecil.
Waktu memang kejam. Ia kerap mengambil sebagian yang berharga dari kita.
Maka dari itu, alasan sesungguhnya Nikki menemani Bunda berbelanja bulanan di swalayan pada Minggu sore ini adalah ia ingin menghabiskan waktu dengan Bunda. Momen ini sangat jarang ditemui, sehingga Nikki menganggapnya sebagai suatu keharusan. Apalagi jika Nikki mengingat perkataan Bunda tempo hari di telepon...
"Nikki, Bunda lagi di Mal mau beliin kamu sepatu. Tapi, ukuran sepatu kamu apa, ya? Bunda lupa..."
Sedih sekali rasanya menyadari kalau hubungan mereka sudah berjarak sekarang.
"Omong-omong, itu Randika yang kamu bilang itu, ya?" tanya Bunda saat melirik cover majalah yang dipeluk Nikki.
"Mm-hmm," Nikki mengangguk semangat. Ia tak menyangka Bunda masih mengingat cerita Nikki beberapa waktu yang lalu tentang Dika. Kala itu, ia membahas mengenai film perdana Dika yang baru tayang.
"Ganteng kan, Bun?"
Dengusan pendek keluar dari bibir Bunda, tanpa disadarinya. "Menurut Bunda lebih gantengan Arizona, tuh."
Sesaat, Nikki mengerjapkan kelopak matanya dan menggeleng pelan. Ia berusaha menampik pemikiran itu dari kepalanya.
"Aslinya gantengan Dika, kok. Beneran, deh."
Bunda menatap Nikki dengan alis terangkat. Kemudian tersenyum dan mengangguk.
Sewaktu mereka melewati deretan pertokoan, mendadak ada rasa rindu yang bergejolak pada hati Bunda.
"Bunda udah pernah cerita ini ke kamu belum, sih?" tanya Bunda, tanpa mengalihkan pandangan dari bangunan-bangunan baru yang dilihatnya. Di mata Bunda, mereka terlihat asing.
"Cerita apa?"
"Tempat ini dulunya pasar loak. Biasanya setelah pulang sekolah, Bunda sama Ayah pergi ke sini untuk lihat-lihat. Banyak pernak-pernik lucu dan barang-barang antik yang dijual dengan harga murah."
Refleks, Nikki mengalihkan atensinya pada Bunda dan mengamati perubahaan ekspresi yang terjadi di wajahnya.
Sepanjang mata memandang, memang hanya ruko berlantai tiga sajalah yang terlihat saat ini. Tidak ada lagi pasar loak yang biasa dikunjungi setelah pulang sekolah dulu. Meski begitu, sebanyak apa pun perubahan yang terjadi, tidak akan membuat Bunda lupa akan memori manis yang ia jalani bersama Ayah dulu.
"Ada tempat buku bekas yang jadi langganan Ayah dulu. Ayah betah banget kalau udah berada di sana, karena bisa baca-baca buku bagus tanpa harus membelinya. Nenek penjualnya juga baik dan ramah, persis seperti Eyang Bunda dulu." Setelah satu tarikan napas, Bunda kembali berkata, "Mungkin sekarang beliau sudah wafat, ya..."
Dengan kepala tertunduk, Nikki dibuat terdiam setelah mendengarkan cerita Bunda. Klakson-klakson kendaraan di jalan raya mengisi keheningan di antara mereka berdua. Lalu, ia mengangkat wajahnya lagi dan melihat ada sebuah angkutan umum yang berhenti di depan mereka. Saat sang sopir menawarkan tumpangannya, Bunda menolaknya dengan sebuah gelengan dan senyuman tipis.
"Bunda rindu Ayah?" tiba-tiba Nikki menyeletuk.
Rupa wajah Ayah langsung terbayang oleh Bunda. Tatapan mata yang teduh dan tangan hangat yang biasa merengkuhnya pun teringat. Kilasan memori itu seperti mimpi sekarang.
"Setiap hari, Nikki. Selalu."
Kedua mata Nikki memanas. Dadanya nyeri. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa hancur mendengarnya. Air mata yang menggenang terpaksa Nikki tahan sebisa mungkin. Nikki tidak ingin menangis di hadapan Bunda.
Bunda merupakan sosok wanita yang tegar dan Nikki selalu mengaguminya. Menjadi figur ayah sekaligus ibu dalam keluarga mereka tidaklah mudah. Nikki memang tidak tahu bagaimana rasanya berada dalam posisi Bunda, tetapi Nikki bisa memahami perasaan Bunda. Sejak lahir, Bunda adalah seorang yatim-piatu yang dirawat oleh neneknya. Menikahi Ayah yang termasuk dalam keluarga terpandang memerlukan pertimbangan yang berat bagi Bunda. Apalagi keluarga dari pihak ayahnya juga tidak terlalu menyukai Bunda dan sampai sekarang masih menyalahkan Bunda atas kematian Ayah. Nikki sedih sekali tiap kali Bunda diperlakukan tidak baik oleh mereka, namun Bunda selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan meminta agar anak-anaknya tak perlu khawatir. Sejujurnya, Nikki dan Mikayla, kakaknya, juga tidak ingin memperkeruh keadaan yang sudah rumit itu sehingga selama ini mereka diam saja. Lagi pula, tak ada banyak hal yang bisa diperbuat.
Nikki menatap Bunda sekali lagi. Saat pandangan mereka bertemu, Nikki menunjukkan senyumannya yang paling manis seolah berharap hal tersebut dapat sedikit menguatkan Bunda.
"Nggak apa-apa, Bunda. Masih ada Nikki dan Mbak Mika. Nikki nggak akan pernah biarin Bunda merasa sendiri lagi. Nikki sayang Bunda."
Tapi, sayangnya kalimat tersebut hanya Nikki telan bulat-bulat; tidak tersampaikan. Astaga... mengapa untuk mengutarakannya saja sudah membuat nyali Nikki ciut? Mengapa ia menjadi semalu ini untuk bilang sayang kepada bundanya sendiri?
Tidak apa-apa. Toh, Bunda mengerti kalau Nikki sayang padanya. Nikki yakin, Bunda bisa merasakannya.
🎠🎠🎠
a/n:
one way or another, this chapter speaks to me on a personal level. how could it be that hard to say love to your own parents?
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine
Teen FictionRanaditya Arizona bukanlah orang asing dalam hidup Nikki. Namun jika Nikki diberi satu kesempatan lagi dalam hidup tanpa mengenal Arizona sama sekali, ia tak masalah.