"It's such a shame that we play strangers,
no act to change what we've become..."All Time Low – Oh, Calamity!
🎠🎠🎠
Tengah malam itu, Arizona lagi-lagi terbangun dari mimpi yang sama. Mimpi yang kerap menghantuinya selama sembilan tahun belakangan ini.
Dengan tergesa-gesa, Arizona menyalakan lampu kecil yang ada di nakas dan setelah ruangan cukup terang baginya untuk melihat ke sekelilingnya, laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke headboard sambil memeluk kedua lututnya erat-erat.
Perubahan ritme detak jantung yang terasa begitu cepat membuat Arizona semakin tak nyaman. Rasa ketakutan itu kontan menggerayanginya.
Lantas, Arizona teringat kembali akan nasihat mendiang Eyang untuk tetap mengatur tarikan napasnya pada saat-saat seperti ini. Arizona pun meluruskan kakinya dan menegakkan punggungnya lagi.
Tarik... embuskan... tarik... embuskan...
Ketika perasaannya sudah lebih tenang dari sebelumnya, Arizona meraih gelas berisi air yang biasanya ia siapkan di nakas jikalau mendadak ia terbangun secara tiba-tiba waktu tengah malam seperti ini. Namun, sayangnya, gelas itu tidak terlihat keberadaannya. Ah, ia pasti lupa untuk menaruhnya tadi.
Sebenarnya, Arizona terlampau malas untuk menuju ke dapur sekarang. Tetapi, bibir dan tenggorokannya betul-betul kering. Lagi pula, Arizona tidak dapat kembali tidur dalam keadaan yang seperti ini.
Namun, jam sudah menunjukkan pukul satu malam sehinga Bibi pasti sudah mematikan semua lampu di ruangan bawah.
Dan... Arizona takut akan kegelapan.
Tidak ada yang tahu akan fakta tersebut (kecuali, yah, Nikki... gadis itu terlalu mengenalnya dengan baik, lebih dari keluarganya sendiri, sampai-sampai Arizona bahkan sama sekali tak mampu untuk menyembunyikan sesuatu darinya), karena selama bertahun-tahun ini pula Arizona mencoba untuk melawan ketakutannya sendiri. Arizona percaya bahwa ketakutan itu ada untuk dikalahkan, bukan dibiarkan kemudian menguasai kendali diri kita. Memang ia belum sepenuhnya mengatasi rasa takutnya dengan baik, tapi setidaknya ia masih berusaha, bukan?
Omong-omong, ke mana perginya lampu senter yang biasa diletakkannya di laci nakas? Sepertinya Arizona harus menggunakan flashlight dari ponselnya untuk kali ini.
🎠🎠🎠
Di luar dugaan Arizona, semua lampu di ruangan bawah rupanya masih dinyalakan. Alhasil, ia pun mematikan flashlight-nya dan memasukkan ponselnya ke saku celana pendek yang ia kenakan.
Saat hendak menuruni tangga, Arizona sempat menghentikan langkahnya karena teringat sesuatu. Jika lampu di ruangan bawah masih menyala pada waktu larut seperti sekarang, itu artinya ayahnya sedang dalam keadaan terjaga dan biasanya ia akan duduk melamun di kursi santai yang ada di tepi kolam renang. Lantas, ia pun mempercepat langkahnya sebab tak ingin berpapasan dengan sosok tersebut
Sayangnya, doanya tidak terkabul. Arizona melihat ayahnya saat di pantry, namun tidak dengan sebaliknya. Ayahnya sepertinya tertidur sejak tadi di sana. Segelas teh madu yang diminumnya bahkan belum disentuh sama sekali.
Dengan gerakan yang begitu pelan, Arizona mengambil gelas kaca besar berisi air yang ada di dekat ayahnya dan menuangkannya ke gelas kecil lainnya. Sedetik kemudian, ada panggilan masuk di ponsel ayahnya yang disimpan dengan nama 'Rumah Sakit.'
Ayahnya terlihat menggeliat dalam tidurnya. Arizona pikir, Papa pasti baru saja menyelesaikan sebuah operasi besar yang sangat melelahkan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine
Teen FictionRanaditya Arizona bukanlah orang asing dalam hidup Nikki. Namun jika Nikki diberi satu kesempatan lagi dalam hidup tanpa mengenal Arizona sama sekali, ia tak masalah.