Aku sedang duduk di pojokkan café yang lumayan terkenal di daerah Bandung. Dekorasinya sangat mengagumkan dengan konsep dinding kaca yang mana pemandangan diluar dapat terlihat secara kasat mata, dengan pemandangan beragam pohon pinus juga bunga-bunga yang bermekaran, begitu sangat elegan dan cocok bagi penikmat alam yang sedang ingin mendinginkan pikirannya. Begitupun aku, ditengah penatnya tugas kuliah yang sangat menumpuk serta aktivitas yang semakin padat membuatku ingin menjernihkan segala pikiran yang sedang berkecambuk di kepala.
Entah kenapa diluar hujan, menambah kesan mengagumkan tersendiri yang diciptakan alam pada sore hari ini. Aku mengeluarkan handphone memotret view yang bagus menurutku. Disana tak lupa aku menguploadnya di status whatsapp sembari mengecek, apakah ada pesan yang masuk atau tidak. Dan hasilnya tidak. Tak lupa juga aku menambah caption di statusku agar terlihat lebih menarik bagi yang baca,
Mati-Tumbuh. Ku katakana ini fase kurang ajar! Skenario-Nya begitu menyebalkan, tapi aku pemeran! Mau protes? Nanti dibilang otak tak beres.
Disini aku sendiri, ditemani alunan musik klasik serta hujan. Ya, aku sedang menerka-nerka setiap orang yang berada di café ini. Begitu mengagumkan membaca pikiran setiap orang yang ada. Kebanyakan dari pengunjung café ditemani pasangannya masing-masing, hanya aku dan perempuan yang berada dipojok ujung pojok tempat dudukku yang juga sendiri.
Dia sedang menikmati hujan, dan aku kira dia penikmat hujan sama sepertiku. Di mejanya terdapat sebuah laptop dan kopi. Iya, itu kopi! Dia penikmat kopi. Dan dia sedang memegang handpone dengan headset tersemat di telinganya. Woww... sebuah pendeskripsian yang menarik, aku menyukainya. Entah kenapa aku suka dengan pembawaannya, tenang dengan mata sayu. Sangat elegan dan anggun, dengan gamis muslimah yang ia kenakan. Dia sedikit melamun, ku perkirakan bahwa umurnya 30an mungkin, aku kurang ahli dalam menebak umur seseorang.
Oke, baiklah aku melupakan sesuatu, perkenalan. Iya, perkenalan. Namaku seperti apa yang kamu tebak. Diriku, sebagaimana apa yang menjadi prasangkamu. Mari mengenalku disini, bebas, semaumu. Aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di Bandung, jurusan yang diambil adalah Hukum. Untuk hanya terdengar mengerikan di telinga yang mendengar. Namun, aku juga heran, hal yang tak di duga selalu terjadi. Rencana Tuhan yang sangat mulia. Berbagai kejutan terencana. Iya, aku bersyukur Tuhan, atas apa yang hari ini kau beri.
Entah kenapa walau aku kuliah jurusan hokum namun pada kenyataannya psikologiku bagus. Disamping belajar hokum, akupun belajar psikologi, karena bagiku psikologi itu merupakan bagian dari jalannya suatu hokum, sama-sama berkaitan dengan tingkah laku. Bedanya, hokum itu bentuk tertulisnya.
Dengan segenap penuh perasaan yang mendalam aku ingin menghampiri perempuan tersebut. Ku kira, berbincang-bincang dengannya akan lebih menyenangkan dibanding duduk disini dengan sejuta kepenasaranan yang akhirnya hanya mampu menerka tanpa ku tahu bagaimana ia sesungguhnya. Aku tertarik untuk menuliskan kisahnya, itu pun jika ia bersedia untuk dituliskan. Aku tak ingin memaksa. Karena disela-sela aktivitas kuliah ku ini, aku selalu menulis beragam macam sastra. Aku penyuka sastra yang baik, dan beginilah aku sebagaimana dengan apa yang menjadi penilaian kalian.
"Halloo... maaf bisakah saya ngobrol-ngobrol dengan teteh?" Sapaku.
***
"Halloo... maaf bisakah saya ngobrol-ngobrol dengan teteh?"
Tiba-tiba suara sapaan lembut penuh dengan keramah tamahan berhasil membuyarkan lamunanku. Aku meliriknya sekilas, mengulaskan senyum dimana tersimpan penuh keheranan.
"Ya? Ada yang bisa saya bantu dek?"
"Nama saya seperti apa yang ingin teteh tahu, saya duduk di meje pojok sana. Ujung dari meja ini. Dari tadi tak sengaja saya memperhatikan teteh dari sana. Maaf. Tapi rasa penasaran saya lebih besar ketimbang hanya memperhatikan saja." Ucapnya.
"Penasaran?" tanyaku. Seraya melepas headset yang sejak awal datang ke cafe ini sudah tersematkan di telinga.
"Hehe, seperti apa yang sudah saya katakana."
"Karena saya tidak sombong, tidak juga ramah. Perkenalkan, nama saya Kiyrra. Kiyrra Reviana Azkina." ucapku.
"Woowww... familiar sekali saya dengan nama itu hehe."
Aku tersenyum sekilas mendengar pernyataannya yang mengatakan bahwa aku familiar. Kuharap memang begitu, tapi itu tidak mungkin terjadi. Perjuanganku dengan umurnya saat ini jauh berbeda jika harus masih terkenang akan beberapa perjuanganku sampai saat ini. Rasanya itu sudah lama.
"Saya sering mendengar nama teteh, rasanya memang teteh sendiri yang menariku untuk bisa ngobrol disini. Saya salut dengan teteh." Ucapnya.
"Apasih yang orang kagumkan. Bagi saya, saya ada itu juga sudah cukup. Terkait eksistensi itu adalah pelengkap."
"Saya masih tidak menyangka kalau orang yang saya perhatikan sejak tadi adalah orang yang banyak menginspirasi orang, saya ingin tahu lebih banyak tentang teteh."
"Untuk apa? Saya gak suka pengumbaran. Kisah saya adalah hidup saya yang memang tidak selalu kita duga terjadinya akan seperti apa dan berhentinya dimana."
"Untuk lebih banyak menginspirasi. Saya tahu sosok seorang Kiyrra menyimpan banyak hal yang perlu orang tahu dan mereka mampu memetik sebuah pelajaran dari sana. Saya harap saya adalah orang yang Tuhan takdirkan hari ini untuk mendengarkan kisah dari seorang penginspirasi setiap orang serta menuliskan kisahnya agar orang paham sosok kiyrra yang sesungguhnya." Jelasnya.
Aku masih bingung dengan apa yang harus aku lakukan, rasanya untuk membuka kisah lama itu sangat sulit. Apalagi itu sudah lama sekali. Akar permasalahan yang berada pada satu titik masa yang akhirnya berkaitan dengan masa selanjutnya. Aku melirik gadis didepan ku dengan penuh keheranan dan mata gadis itu menyorotkan kesejukan yang penuh juang. Aku paham betul berada diposisinya, karena masa depannya adalah masa laluku.
Kutarik nafas panjang dengan berat dan penuh pertimbangan, harus menceritakan kisah artinya membuka lembaran lama yang sudah lama tertutup dan tak ingin ku buka. Sulit. Karena itu rasanya sesak. Tapi aku tidak cukup jahat untuk harus mematahkan jiwa semangat muda menulis dari gadis penuh semangat yang tiba-tiba menghampiriku. Aku tidak sejahat itu.
Aku menganggukkan kepala pertanda setuju. Ia tersenyum puas dan begitu manis.
"Terimakasih," ucapnya seraya memelukku.
Hai semakin sore, gemercik hujan turun membasahi permukaan bumi. Bagai lantunan musik yang indah terdengar begitu syahdu. Begitu dingin. Kata pepatah, hanya orang yang sedang merindu yang dapat mendengar musik hujan. Ya begitupun Aku. Rindu seseorang, rindu masa-masa singkat terasa namun panjang nyatanya. Masa dimana cinta pertama itu ada dan masa dimana mimpi dipertaruhkan. Aku tersenyum kecil mengingatnya. Baiklah sebagai rasa penghormatan dari kenangan-kenangan itu, Aku mencoba untuk kembali pada masa itu. Masa yang tak pernah sedikitpun hilang dari memori otak
Laptop yang kini berada di depan gadis itu sudah siap untuk dipakai mengetikkan kisahku. Dengan sabar dia berusaha untuk menuliskan ceritaku pada masa itu. Dia mulai menekan deretan huruf yang ada dilaptop. Sedikit-sedikit Aku mulai merasa kembali, ke masa penuh luka atas segala pengharapan. Namun juga masa penuh suka atas segala penghargaan.
Kepadamu wahai sang pemilik tinta yang tak habis-habisnya untuk ku goreskan..
Kepada Para Sahabat yang tak pernah lekang oleh waktu...
Kepada Para Guru yang tak henti bersabar mengajar semua yang perlu dipelajari...
Kepada Orangtua yang selalu menjadi yang utama, pemilik doa yang ku panjatkan sesungguhnya...
Kepada semua pihak yang ada dan terlibat dalam cerita hidupku...
Dan kepada kalian para pembaca yang senantiasa sabar menunggu kelanjutan cerita...
Doaku semoga kalian bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Kiyrra Kepada Rifandi
RomanceCinta bagiku hanya sebuah kata yang tiada bermakna. Namun hati berkata, cinta itu ada dan kepada siapa itu tertanam maka hanya Aku yang tahu jawabannya. Cinta diam-diam, tidak ada yang mengetahui betapa menyakitkannya hal itu terasa. Menyakitkan ata...