TUJUH BELAS

79 2 0
                                    

Aku dan Egoisme!

Esok hari di hari senin, aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Hari ini upacara, dan di hari senin ini sudah menjadi kegiatan rutin para OSIS untuk bertugas menyiapkan segala-galanya dalam upacara. Entah kenapa aku jadi sedikit peduli dengan OSIS. Bukan karena ada Kak Rifandi, tapi aku paham terkait tanggung jawab meski tidak selalu.
"Sekarang bagian upacara kelas X IPS 1 ya dan?" tanya Akhsan kepada Rama.
"Serius lo?" tanyaku menyambung obrolan mereka.
"Nyambung aja lo!" ucap Akhsan.
"Tau loe huuu..." ucap Rama. mereka malah jadi membully dengan segala kepolosanku ini.
Rama dan Akhsan adalah teman OSIS ku. Rama kelas X IPA 2, dia berbadan gemuk. Anaknya lucu sering becanda. Dia teman dekatku dari sekian banyaknya laki-laki yang kukenal, dan aku memanggilnya gembul. Karena ia gemuk. Entahlah aku tak tahu kenapa bisa aku akrab dengannya, tidak seperti pada kebanyakan laki-laki lain yang selalu tidak akur denganku. Rama itu kalau bicara nyelekit sampe hati. Tapi aku tau itu becanda, entah bagaimana aku kenal dengannya.
Akhsan kelas X IPA 1, berbadan tinggi, berkulit putih, setiap wanita jatuh cinta padanya, kecuali aku. Iya aku kan tak normal. Sama seperti Rama dia juga sering becanda. Setiap hari tiada bahan ledekkan yang terlontar dari mulutnya. Sedikit rada gila karena sering memaksaku membuatkannya puisi. Giliran sudah dibuat dibilangnya alay, emang orang aneh si Akhsan ini. Dia juga teman dekatku. Aku juga tak tau bagaimana bisa kenal dengannya.
Rama dan Akhsan juga teman curhatku, mereka memanggilku tablo. Memang tak sopan, diantara orang-orang yang memanggilku professor ada dua orang anak manusia planet yang dengan tega memanggilku tablo. Mereka berdua selalu memojokkanku, mungkin itu sudah hobby mereka. Aku tak masalah. Yang penting aku bisa tertawa. Diantara semua teman laki-laki, aku hanya baik pada mereka berdua. Meski mereka adalah orang yang sering mengejek dan banyak salahnya padaku. Entah efek apa yang jelas aku tak bisa bila judes-judes pada mereka berdua.
"Kelas loe tuh blo upacara, siapin sana!" ucap Rama.
"Belum pada dateng kelas gue mah.” jawabku.
"Yaelah kebluk banget sih Ra,” protes Akhsan.
"Yang kebluk temen gue bukan gue!" kilahku.
"Hahaha iya deh iya gue percaya." ledek Akhsan.
"Eh, tapi serius nih bagian upacara kelas gue?" tanyaku memastikan.
"Loe gak percaya ra?" Tanya Rama.
"Bukan gitu, cuman masa iya deh kok cepet amat lagian kita gak diberi tahu. Udah gitu belum latihan juga," jawabku.
"Ah kudet loe, gue tanya nih sama ketua OSIS nya." ucap Akhsan.
"Ah si Kiyrra suruh tanyain sendiri aja san, tanya loe sendiri kalo gak percaya!" perintah Rama.
"Ogah loe tanyain aja, gue mah mau ngambil topi ke kelas!" ucapku seraya berlalu meninggalkan mereka.
"Wooyy Kiyrra mau kemana? Ini kan belum beres!" teriak Ananda.
"Kelas dulu ngambil topi, bentaran doang lah. Loe kangen sama gue yah? Dari tadi gak pengen amat gue tinggal" cerocosku.
"Najisss amat..!!!! sana pergi lo!" sahut Ananda sambil melemparkan kertas kearahku sedang aku berlari dengan cepat meninggalkannya.
Aku berjalan menuju kelas untuk mengambil topi dan memberitahu teman-teman kelasku untuk segera ke lapangan. Karena ternyata senin ini adalah bagian upacara kelasku. Bagaimana bisa kami tidak tahu hal ini, berlatih upacara pun belum. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi ketika upacara dimulai. Mungkin akan sangat memalukan.
Di perjalanan menuju kelas aku bertemu dengan Nuri, yang kebetulan dia adalah OSIS. Sekelas dengan Akhsan di X IPA 2. Nuri juga baik padaku. Sering bertanya soal matematika. Teman pulang saat kumpul OSIS. Orang yang selalu menceramahiku ketika aku kabur dikala kumpul ekstrakulikuler HRM. Dia orang yang begitu antusias dalam berbagai hal. Hidupnya selalu serius dan susah untuk diajak bercanda. Kata orang-orang dia jutek, tapi mungkin hanya pembawaan ekspresi wajah saja kalau menurutku. Hanya untuk memastikan, karena Upacara ini adalah tanggung jawab bidang dia di OSIS dengan sangat penasaran aku bertanya pasti padanya.
“Nuri, darimana?” tanyaku.
“Dari ruang guru,”
“Abis ngapain?”
“Lihat pembina upacara minggu ini sudah datang atau belumnya.”
“Euuuu… sekarang upacara kelas mana yaa?” tanyaku pura-pura tak tahu.
“Ya ampunn Kiyrra, ya kelas loe lah,”
“Kok loe gak bilang sih?”
“Minggu lalu kan diumumin.”
“Ya loe gaada follow up lanjutan, kita belum latihan loh!” kesalku.
“Kenapa jadi nyudutin gue sih?”
“Terus salah gue?” tanyaku.
Dia diam tak menjawab.
Aku segera berlalu meninggalkannya menuju ke kelas. Bagaimanapun aku OSIS sendiri di kelas, dan pasti teman-temanku akan menyalahkanku perihal hal ini. Persiapan dari kami tak ada sedikitpun, siswa dikelas tak banyak yang aktif. Sifat teman kelasku tak pernah mau ikut andil dalam hal seperti ini. Dan sangat sulit untuk berkontribusi dalam hal apapun entah harus bagaimana lagi untuk menghadapi mereka. Yang ku jaga disini, bukan semata-mata nama masing-masing. Tapi lebih memikirkan, nama baik wali kelas.
"Wooyyy cepet kelapang!" perintahku di depan pintu kelas.
"Buru-buru amat ra," protes Felina.
"Loe tau gak sih hari ini upacara bagian kelas kita!" ucapku.
"Yang bener loe Ra? Lah kita kan belum latihan," ucap Dee.
"Nah untuk itu gue nyuruh loe pada cepet kelapang, kita masih punya waktu untuk latihan!" jelasku.
"Anjirr banget! Kok gaada yang kasih tau dari minggu kemaren sih. Loe kan OSIS Ra, kok bisa sih dadakan gini," omel Reska.
"Maafin gue Bu KM gue juga baru tau barusan,"
“Kenapa baru tahu sih?” tanyanya.
“Karena itu bukan bidang gue!” jawabku.
"Udah jangan ngomel mulu, ayo cepat kita kelapangan!" Ajak Dee.
Aku melihat Audrey, ada sedikit rasa canggung antara kita berdua. Aku tak tahu kenapa dia juga tidak bertanya. Apa harus aku juga yang memulainya? Kenapa begitu? Dengan ragu aku mulai membuka percakapan. Aku mengajaknya dengan segera menuju lapang.
"Ayo drey kelapang! Apa lo mau jaga PMR?” tanyaku.
"Gue ikut upacara, masa iya kelas gue upacara gue malah jaga PMR," sahutnya.
"Yaudah yuk cepat!" Ajak Dee.
Kami sekelas segera ke lapangan, hanya ada 2 anak yang belum hadir. Wisnu dan Taufal belum datang, memang kebiasaan mereka seperti itu. Aku tak yakin dengan upacara hari ini, sepertinya akan sangat memalukan. Terlebih lagi ini pasti akan membuat Bu Cici kecewa.
"X IPS 1 mana? Siapin bagian-bagiannya!" perintah Kak Rifandi.
"Sedang saya bagi," jawabku.
Aku membagi tugas anak-anak dalam bagian-bagian upacara. Aku menyuruh mereka secara paksa, karena ini sangat mendesak dan mendadak. Biarlah disini aku dinggap sebagai orang yang ngatur-ngatur. Tapi kalau tidak begini akan saling tunjuk dan lama. Tidak akan selesai dalam satu hari.
"Dengerin gue, apa yang gue suruh dan perintah jangan ada yang membantah ini. Orang yang gue tunjuk menjadi petugas upacara, harus mampu menerima dan bertanggung jawab untuk menjalankannya. Mengerti?" tegasku.
"Terserah loe ra!" jawab Reska si Bu KM.
Reska sedikit agak jutek, aku merasakan itu. Hanya saja menghiraukan hal itu. Kalau sama-sama di jutekin, ini akan memerlukan waktu yang panjang dan tak kunjung beres.
"Nah, Dista loe gue tugasin jadi Tura!" perintahku.
"Tapi ra, gue.." timpal dista yang ucapannya terpotong karena aku sudah mulai berbicara kembali.
"Resta lo pembaca do'a, Nila lo jadi drigent, Dee lo jadi saritilawah dan Ratia yang baca Qur'annya." cerocosku.
"Nah untuk pancasila, Ghandi gue minta lo yang bertugas dan pemimpin upacaranya lo bu KM." sambungku.
"Audrey, loe mau jadi pembaca UUD atau Protokol?" tanyaku pada Audrey.
"Terserah aja Ra," jawabnya.
"Yaudah loe jadi pembaca UUD dan lo Felina jadi Protokol." ucapku.
"Tunggu! Loe jangan seenaknya aja dong Kiyrra!" protes reska.
"Seenaknya gimana? Kalau gue minta siapa yang mau jadi petugas upacara, gue yakin gaakan ada yang mau. Apa salahnya gue tunjuk?" timpalku.
"Elo sendiri jadi apa Kiyrra?" tanya Felina.
"Gue bisa jadi paduan suara atau enggak gue bisa jadi PMR, tadi kak Helna ngajak gue jaga PMR." jelasku.
"Egois loe! Ini kelas loe mau upacara, loe masih mikirin PMR ra?" tanya Audrey.
"Gak gitu drey, tadi kan gue udah bagi-bagi tugasnya. Apa ada yang salah sama gue?" jawabku.
"loe itu harusnya masuk dalam petugas ra!" ucap Dee.
"Yaudah mana yang tugasnya mau diganti sama gue?" tanyaku.
"Felina, loe gatau felina benclung gini lo jadiin dia protokol. Ngaco lo ra!" kata Reska.
Aku berpikir sejenak, sungguh aku tidak berpikiran kearah  sana. Aku hanya berpikir felina mampu menjalankan tugasnya. Kalau tugasnya aku yang pegang mungkinkah suaraku akan terdengar? Mengingat kalau suaraku ini kecil terlebih sedang serak karena batuk akibat dari seringnya kehujanan. Entah aku yang terlalu egois atau mereka yang susah untuk diatur perihal hal-hal kecil selalu di protes dengan banyak alasan yang tidak jelas.
"Gue gak yakin gue bisa," ucapku.
"Kenapa? Loe takut ra?" tanya Felina.
"Loe yang bener aja dong, suara gue kecil gini fel!" timpalku.
"Iyakan pake microphone Kiyrra!" ucap Dee.
"Lagian loe yang bisa suaranya di pelan-pelan gitu, gue sih nyadar aja pas loe baca dongeng sunda." ucap Reska.
"Yaudah deh," ucapku pasrah.
"Kenapa sih ra, loe ngasih tahu nya mendadak?" tanya Reska.
"Sorry Bu KM gue juga baru tau tadi pagi!" jawabku.
"Loe kan OSIS harusnya loe tahu dong kalo minggu ini upacara kelas kita! loe gimana sih Ra?" omel Dee.
"Kok jadi paada nyalahin gue sih, gue kan udah bilang gak tahu. Walaupun gue OSIS gak semuanya gue tahu. Kenapa loe ga tanya sama Ketua OSISnya, kenapa malah nyalahin gue?" ucapku.
"Kalau loe gabisa jadi OSIS mending lo keluar aja ra!" ucap Felina.
"Loe bilang gue gabisa fel? Kalau gue gabisa ngapain dulu di SMP gue dipercaya jadi bendahara OSIS? Loe pikir ini gampang?" tanyaku.
"Ya palingan juga kayak di SMA kali Ra yang mau jadi OSIS boleh siapa aja, jadi lo dipilih!" jawab Ratia.
"Lo pikir SMP gue sembarangan? Enggak kali ti, OSIS di gue dipilihnya sesuai peringkat ranking untuk jadi intinya harus menjalani tes dulu. Loe jangan samain ketika di SMP dan di SMA sekarang. Gue tersinggung sama semua tuduhan kalian, silahkan atur upacara semau kalian. Gue mau liat seberapa bisa kalian tanpa gue!" ucapku.
"Eh Ra loe jangan gitu dong, loe mau kemana?" tanya Resta.
Aku benar-benar marah, emosi, kecewa pada kelasku sendiri. Terserah mereka sekarang mau bagaimana-bagaimana juga, aku tidak peduli lagi. Lebih baik aku jaga PMR daripada terus dipojokkan. Aku merasa semua orang sudah seperti Pak Desan. Disini bukan hanya aku yang OSIS, bukan hanya aku yang harus mengurus kelas, dan bukan hanya aku yang harus punya kesadaran, mereka juga. Untuk apa semua yang mereka proteskan itu? Tiada guna. Tidak akan membuat digantinya petugas upacara dengan kelas lain. Selalu berlaku bodoh dengan tidak mempertimbangkan hal-hal yang penting. Aku rasa, aku gak suka berada di kelas seperti ini. Bukan karena keegoisanku, rasanya setiap orang juga ingin menang.
"Gue gak mau jadi pembaca Ayat Suci Al-Qur'an." ucap Ratia tiba-tiba.
Aku menghiraukan apa yang dikatakan Ratia, aku terus berjalan menuju tempat Kak Helna berada yaitu tempat jaga PMR. PMR selalu berada dibelakang barisan peserta upacara dan dengan segera aku pergi kesana. Meredamkan emosi, bila terus berlarut-larut malu. Bisa membuat satu kelas ini dipanggil ke BK untuk di damaikan perihal hal sepele yang mana kasusnya pembagian petugas upacara. Aku lebih menjaga nama baik dibanding harus menuruti emosional sendiri.
"Bukannya mau upacara kelas Ra?" tanya Kak Helna.
"Biarin saja deh Kak, Kiyrra cape ngatur orang yang tidak sejalan pemikirannya dengan Kiyrra sendiri. Kalau sistem Kiyrra gak di pake Kiyrra suka ngerasa males aja." jelasku.
"Yaudah gapapa," ucap Kak Helna seraya tersenyum.
Aku baris di samping Kak Helna dengan sesekali ku lihat teman sekelasku jadi petugas upacara. Mereka tampak kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Aku yakin pasti petugasnya kurang, dan tidak ada yang mau jadi petugas. Memang selalu begitu, dan aku malas untuk berada disana. Terserah mereka, aku tak mau tahu. Kalau mereka membutuhkanku mereka akan menyusulku kemari dan memintaku kembali. Aku takkan susah diminta kembali. Aku bukan egois hanya saja aku ingin memberikan pelajaran bagi mereka agar mereka dapat menghargai orang lain dan melihat orang lain tidak dalam satu sudut saja. Aku kasihan melihat mereka seperti kewalahan, jujur aku tak ingin kelasku begitu.
Ku lihat Audrey berjalan kearahku dan Kak Helna berada. Aku yakin, dia pasti akan memintaku kembali.
"Kiyrra, kita butuh lo kembali," pintanya.
Aku diam tidak menjawab ucapan Audrey.
"Ra gue tahu lo kesel sama kita, maafin kita ra. Gue minta lo kembali." sesalnya.
Aku tetap diam, tak menjawab.
"Lo jangan kayak anak kecil dong Ra, gue minta lo kembali. Maafin kita, kita butuh lo. Kami kekurangan Protokol, Pemimpin Upacara sama Pembaca Ayat Suci Al-Qur'an, gue mohon ra." ucapnya.
Namun aku tetap diam tak menjawab sepatah atau dua patah pun.
"Yaudah kalau loe gamau, gue gak maksa kok ra. Tapi kita butuh loe. Sakit atau enggaknya loe jangan diambil hati. Ini demi kelas." tegasnya kembali seraya berlalu.
Aku masih tetap diam layaknya patung. Entah apa yang harus ku lakukan hari ini, petugas upacara kurang dan Audrey benar, sakit atau enggaknya aku jangan dipermasalahkan. Ini demi kelas. Aku memutuskan untuk kembali menghampiri teman-temanku menjadi petugas upacara. Sebelumnya aku sempat berpikir, siapa yang hendak ku mintai pertolongan agar dengan sukarela membantu kelasku menjadi petugas upacara yaitu menjadi pemimpin dan pembaca Al-Qur'an.
"Gue mau jadi protokol!" ucapku disela-sela kebingungan mereka.
"Thanks ra, maafin kita." ucap Reska.
"Kenapa lo gajadi pemimpin?" tanyaku.
"Gue gak hapal!" jawabnya.
"Kalau suara gue gede, mau apal atau enggak gue kan coba!" sindirku.
Kulihat Reska hanya diam membeku setelah mendengar perkataanku.
"Gembul, Akhsan, kelas gue kurang dua petugas lagi." ucapku pada Rama dan Akhsan.
"Lo bilang Kak Rifandi deh ra," usul Akhsan.
"Gamau, kalian aja yang bilangin. Pliss gue minta tolong." ucapku.
"Kenapa sih lo gamau bilang sendiri?" tanya Rama.
"Dih banyak tanya, ayo dong bilangin. Atau enggak, loe panggilin Kak Rifandi nya kesini. Gapapa deh nanti gue yang bilang." alasanku.
"Lo nyuruh kita blo?" tanya Rama.
"Yaudah gapapa kalo gak mau mah," ucapku.
"Hahahaha serius amat lo mblo, iya kita panggilin tenang haha." timpal Akhsan seraya tertawa.
"Dasar orang-orang gila!" ledekku seraya menggelengkan kepala.
Aku melihat Ramdhani dan Akhsan memanggilkan Kak Rifandi untukku. Gara-gara kejadian kemarin dikelas bersama Pak Desan aku jadi tidak yakin berbicara padanya. Entahlah aku merasa canggung. Kalian jangan mengejekku, aku baru jatuh cinta untuk itu aku aneh. Orang sepertiku jatuh cinta saja itu menjadi hal yang aneh dan jarang terjadi. Aku tak menyangka bisa mempunyai rasa seperti ini. Rasa yang kadang membuatku ingin tertawa sendiri.
***
Suatu hari nanti jika rasa ini tidaklah sirna, aku ingin kau hadir dalam hidupku
Jika hari ini tidak, aku rasa itu belum dan aku akan bersabar untuk itu
Aku tidak mengharapkan kau hadir di masa sekarang, karena aku lebih mengharapkan kau hadir di masa depan
Cukuplah hanya aku yang merasakan rasa ini, meski kini pun kau tak tahu
Aku tidak akan memperlihatkan besarnya rasaku padamu, karena ini akan ku simpan hingga nanti kau telah bersamaku. Menjadi orang yang benar-benar berarti dalam hidupku
Rasaku padamu takkan mungkin dapat terlihat oleh siapapun, karena yang mampu melihatnya hanya dirimu sendiri
Jika kau tak mampu melihatnya itu berarti kau belum melihatnya dengan hati
Rasaku akan terlihat jika kau melihatnya dengan hati. Bukanlah dengan mata
Aku akan diam tanpa menunjukannya, bagai tidak peduli dengan segala apapun tentang dirimu, walau nyatanya aku peduli
Dan itulah yang akan terlihat olehmu jika kamu melihatnya dengan mata
Seperti apapun kau melihatku sekarang, itu adalah tipuan untuk matamu
Bukalah mata hatimu, kenali diriku dan kau akan melihat aku yang sesungguhnya
Aku menunggumu untuk mengenalku, tidaklah sekarang namun suatu hari nanti
***
"Wooyy bengong mulu lo blo!" ucap Rama mengagetkanku.
"Dasar gembull! Hampir saja lo bunuh gue, sumpah gue kaget tau!" timpalku.
"Oh lebay lebay lo lebay kiyrra lebay!" ucap Akhsan.
"Nih sesuai permintaan lo, gue harus bawa Kak Rifandi kemari, katanya lo mau bicara. Ayo ngomong lo!" ucap Akhsan.
"Iya kenapa ra?" tanyanya.
"Jawab lo ada apa blo jawab ayo!" ucap Rama seraya menginjak-nginjak sepatuku.
"Ih kalian tuh kenapa sih, sabar kali!" omelku.
"Ini kelasku kurang dua petugas lagi kak." ucapku pada Kak Rifandi setenang mungkin.
"Petugas apa aja ra?" tanyanya seraya tersenyum.
Nih orang pake senyum segala. Batinku.
"Itu pemimpin upacara sama pembaca Al-Qur'an," jawabku.
"Oh gitu, Aldiaaaannn…." teriaknya memanggil ka Aldian.
Entah apa yang sedang ia bicarakan bersama Kak Aldian, aku tak tau itu.
"Kiyrra, kakak jadi pembaca Al-Qur'an dan kak Aldian pemimpin upacara ya?” tegasnya.
"Oh iya iya, makasih kak bantuannya. Maaf ngerepotin." ucapku.
"Sama-sama ini kan sudah kewajiban OSIS," jawabnya seraya tersenyum.
***
Tersenyum lagi, kenapa harus terus tersenyum? Kau tahu, itu dapat membuat perasaanku sangat tidak karuan. Aku lupa kalau kau takkan tahu. Dan untuk saat ini aku tak ingin kau tahu, kau akan tahu pada waktunya. Sekarang biarlah semuanya berjalan sesuai dengan cerita yang Allah buat. Akan ada saatnya dimana aku dan kau akan merasakannya.
***
Upacara pada waktu itu, berjalan sesuai dengan yang seharusnya berjalan. Aku sungguh lega walau ada sedikit hambatan yang terjadi ketika upacara dimulai, namun aku bangga kelasku bisa menyelesaikannya. Hambatan itu memang selalu datang tanpa diminta disuatu waktu yang tak diinginkan. Masihku ingat jelas ketika Bu Cici memanggilku ke ruang Guru, sepanjang perjalanan menuju ruang guru aku terus bertanya-tanya tentang apa yang hendak dibicarakannya, membuat diri penasaran amat sangat penasaran. Aku hanya mampu menebak kalau beliau akan berbicara terkait kehadiran Wisnu dan Taufal, mereka berdualah yang selalu membuat onar dikelas dan gara-gara mereka pulalah kelasku sedikit tercemar.
"Iya bu, Ibu memanggil saya?" tanyaku pada Bu Cici.
"Duduk Ra, Ibu mau bicara," ucapnya, nadanya terdengar serius.
Aku menuruti apa yang diperintahkan Bu Cici untuk duduk dikursi guru yang sudah beliau persiapkan. Dan entah kursi siapa yang dulu itu ku duduki, aku tidak mengetahui sampai sana.
"Wisnu dan Taufal gak hadir lagi?" tanyanya langsung pada pokok pembicaraan yang sudah ku duga sebelumnya.
"Kalau tadi waktu upacara, saya tidak melihat mereka. Mungkin saja mereka berdua kesiangan bu," jawabku untuk membuat sedikit tenang hati Bu Cici.
"Kata Pak Yayan tadi Taufal berangkat pagi Ra, kamu gak lihat? Bukankah rumah kalian sedesa?" tanyanya.
Pak Yayan adalah salah satu Guru BK, letak rumahnya sedesa denganku namun sekampung dengan Taufal. Beliau kalau bicara suka memakai kata 'Katakanlah itu' yang kadang secara tak sadar aku sendiri suka mengikutinya menggunakan kata itu.
"Enggak bu, Kiyrra kan berangkatnya pagi. Mungkin sekarang mereka masuk deh bu," ucapku.
"Kalau masuk nanti suruh mereka nemuin Ibu di ruang guru ya ra?" pintanya.
"Baik bu hehe," jawabku.
"Pelajaran siapa sekarang?" tanyanya.
"Pak Handoko bu," jawabku.
"Oh pak Handoko. Pak.. Pak Handoko, di IPS 1 sekarang?" tanyanya pada Pak Handoko yang tidak jauh letak duduknya denganku dan Bu Cici.
"Iya bu, nih sama anak ini," ucap Pak Handoko seraya menunjukku.
***
Aku terlalu tinggi bagi saya
Saya yang egois tak terkalah
Sehingga menjadi cerita
Bahwa saya tak mau mengalah
Bila saya berlaku salah
Mohon untuk tidak menghakimi
Maklumi saya dengan penuh pasrah
Tak Perlulah mencaci maki
Disinilah saya sendiri
Dengan keterasingan menemani
Bilamana ada yang tersakiti
Mohon jangan diambil hati

Dari Kiyrra Kepada RifandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang