LIMA BELAS

92 6 0
                                    

Sastra berpadu rasa, bukan logika!

Hari minggu. Di hari ini kusibukan diri dengan berbagai hal, mulai dari membantu Ibu beres-beres sampai pada tugas-tugas yang belum ku selesaikan. Lalu ku sempatkan diri untuk membaca sajak karya-karya Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Entah kenapa aku suka dengan sastra dan bagiku sastra itu adalah bagian dari hidupku yang dapat memberikan warna dalam setiap langkah demi langkah hidup. Ibuku juga pandai menulis, bahkan ia dulunya seiring bercerita padaku dengan kesenangannya dalam dunia sastra. Ibuku bercita-cita sebagai penulis dulu.
Saat ini aku sedang membuka buku sajak karya Taufik Ismail, lalu sebuah karyanya yang mampu membuat hatiku tersentuh. Karya itu berisi,
MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA
"Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga  
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa 
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya  
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia  
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda  
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,  
Whitefish Bay kampung asalnya  
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya  
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama  
Dan kecil-kecilan aku narasumbernya  
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy  
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University  
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army  
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri 
Mengapa sering benar aku merunduk kini"
Bagian pertama dari puisi ini menceritakan kehidupan pribadi dari Taufiq Ismail. Bisa ku analisis beliau mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar. Yang memang benar pada tahun 1965 saat duduk di kelas 12 SMA Regina Pacis, Pekalongan. Taufiq lolos tes AFS International Scholarship dan dikirim ke Wisconsin, Amerika Serikat. Dulunya Taufiq merasa bangga menjadi WNI. Secara tersurat beliau menjelaskan sering menceritakan kisah-kisah perjuangan pada sahabatnya di Wisconsin yang bernama Thomas Stone. Bagaimana Indonesia dengan pertumpahan darah memperoleh kemerdekaan dan dengan bangganya bisa bebas dari belenggu kompeni Belanda yang menjajah selama 350 tahun. Tetapi ada rasa malu pada dirinya di kemudian hari, dapat di temukan pada bait keempat,
"Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa sering benar aku merunduk kini."
Saat membaca baris ini, tentu aku masih bertanya-tanya mengapa seorang Taufiq yang berkewarganegaraan Indonesia bisa rendah diri? Apa penyebabnya?
"Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak  
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak  
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza  
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia  
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
"Dan kubenamkan topi baret di kepala  
Malu aku jadi orang Indonesia"
Taufiq adalah seorang sastrawan yang rajin mempublikasikan karyanya ke luar negeri. Beliau berkali-kali pergi ke tempat-tempat berbeda di dunia untuk membacakan puisinya. Bagi Taufiq, puisi akan memperoleh bentuk dan tubuh  yang "utuh" bila dibaca. Nah, ditengah kesibukannya, Taufiq membandingkan negara kita dengan negara-negara yang pernah beliau kunjungi sebelumnya. Negara kita jelas beda jauh. Bukannya merendah berlebihan, tapi memang tidak ada yang bisa dibanggakan.
"Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,  
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi  berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu  dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek  secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, 
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,  senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan  peuyeum dipotong birokrasi  lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,  anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,  menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,  agar orangtua mereka bersenang hati, "
Dalam beberapa bait di atas tentu ku dapatkan informasi maraknya KKN pada zaman itu. Pada bait pertama bagian II dituturkan tentang persekongkolan birokrasi. Yang bisa dikerucutkan kolusi merajalela, sudah menjadi rahasia umum dan anehnya tak tertandingi. Bayangkan betapa  parahnya... 
Pada bait selanjutnya dan bait terakhir diterangkan betapa mudahnya seorang anak dari PNS masuk ke dalam intansi pemerintahan karena relasi keluarga atau teman atau temannya orangtua, temannya temannya orangtua. Nepotisme membabi-buta. Orang-orang jabatan kecil juga melayani anak-anak dari petinggi supaya dapat perhatian lebih dan jabatannya dinaikkan. Yang terakhir dan tidak tanggung-tanggung KORUPSI. Kata krismon bukan kata yang asing. Sejarah mencatat bahwa pada saat itu harga-harga kebutuhan melambung tinggi. Dahsyat, kenaikan harga sembako dan barang-barang mencapai 200%. Kenaikan itu menjadikan petinggi semakin kaya, dan rakyat kecil semakin miskin. Sampai-sampai tercipta suatu ironi "harta penguasa takkan habis sampai 7 turunan". Dengan membaca bagian ini saja aku menyadari, sengsaranya penduduk Indonesia pada waktu itu.
"Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum  sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas  penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, "
Dalam kurun waktu 32 tahun, setelah Supersemar 66' sampai Reformasi 98' Golkar berturut-turut menang mutlak. Soeharto diangkat menjadi presiden seumur hidup. Pada kala itu PNS, ibu-ibu PKK mendukung Golkar habis-habisan. Hal ini menurut ku cenderung kearah paksaan. Karena PNS yang tidak memilih partai itu dianggap tidak berbalas budi terhadap jasa Golkar menumpas PKI.
"Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan  sandiwara yang opininya bersilang tak habis  dan tak utus dilarang-larang, "
Dulu pers tidak seperti sekarang ini, kewenangan mereka untuk menyebarluaskan berita dibatasi. Banyak kasus-kasus mengenai dibunuhnya wartawan ataupun penulis rubrik di media massa, penyiar di radio. Mereka dibunuh atau dipenjara karena dianggap menjelekkan nama negara sendiri, berkhianat pada pemerintah. Banyak juga seniman-seniman yang menyanyikan lagu seperti Iwan Fals, ditangkap. Bahkan sastrawan banyak yang dijebloskan ke hotel prodeo contohnya WS Rendra.
"Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata  supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, "
Berkaitan dengan pembangunan mall maupun grand-mall besar-besaran yang jelas-jelas mematikan nafkah bagi para pedagang kecil di pasar yang kehidupannya menengah ke bawah.
"Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,  ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,  sekarang saja sementara mereka kalah,  kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka  oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,"
Marsinah adalah nama aktivis yang meninggal karena dibunuh. Marsinah dan 25 temannya berunjuk rasa menuntut kesejahteraan buruh. Tapi pada tahun 1993 Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk di hutan. Kasus ini akan kadaluarsa tahun depan, tapi tidak juga diusut pihak berwajib. Sementara Udin atau Fuad Syaffruddin merupakan wartawan koran Bernas Jogjakarta. Diduga dia dibunuh karena wacana politik yang ia tulis mengenai Pemerintah Daerah Bantul dan bupatinya. Udin mati karena disiksa oleh sekelompok orang tak dikenal pada tahun 1966. Kasus ini juga tidak ditelusuri seperti kasus Marsinah, padahal tahun 2014 dianggap kadaluarsa dan tidak akan dilakukan penyidikan.
"Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia  dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,  kabarnya dengan sepotong SK  suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, "
Hukum bisa dibeli dan hal ini sudah menjadi rahasia umum.
"Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,  lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,"
Tidak ada harga yang murni harga. Banyak pungutan liar, orang-orang yang narget, malak, moroti rakyat. Tidak kenal usia, tidak kenal gender.
"Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,  fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, "
Media sudah diragukan kebenarannya. Karena banyak yang cuma memberitakan kebohongan. Orang sukar memperoleh privasi, karena telepon disadap dan mata-mata mengawasi.
"Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat  jadi pertunjukan teror penonton antarkota  cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita  tak pernah bersedia menerima skor pertandingan  yang disetujui bersama,   
Di negeriku rupanya sudah diputuskan  kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,  lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil  karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,  sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,"
Sampai sekarang, dua bait ini tetap terasa nyata. Ya, sepak bola di Indonesia ternyata dari tahun ke tahun bukannya semakin membaik namun malah semakin memburuk. Suppoter dari kesebelasan yang satu dengan yang lainnya saling mengolok. Tidak jarang terjadi perkelahian hingga jatuh korban jiwa. Permainan olahraga bukannnya malah menjujung tinggi sportivitas, tapi malah rasa tidak terima atas kekalahan. Sifat-sifat pecundang yang sukar hilang dari mental bangsa Indonesia. Pasti semua tahu. Supporter fanatik yang semakin mencoreng persebakbolaan di Indonesia?
"Di negeriku ada pembunuhan, penculikan  dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,  Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,  Nipah, Santa Cruz dan Irian,  ada pula pembantahan terang-terangan  yang merupakan dusta terang-terangan  di bawah cahaya surya terang-terangan,  dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai  saksi terang-terangan,  
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,  tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang  menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi."
Aku akan menceritakan salah satu dari peristiwa sadis menurut isi puisi itu. Peristiwa Talangsari, Lampung. Tidak lain adalah pembantaian seluruh kelompok Warsidi, desa Talangsari. Pembantaian ini dilakukan pengusaha karena kelompok Warsidi dirasa mengganggu ketertiban dan harus dibinasakan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1989. Semua kasus dalam isi puisi itu tidak pernah ditangani. Hanya dibiarkan sebagai histeria massa. Lalu menguap begitu saja. Orang-orang yang terlibat tidak pernah dipanggil. Memang kala itu ideologi nasakom (Nasionalis, Sosialis, dan Komunis) sudah diganti dengan ideologi Pancasila yang mengharuskan umatnya memeluk satu agama. Tapi semuanya masih teori, dalam kehidupan nyata, nyawa-nyawa para penuntut hak asasi melayang dengan mudahnya.
"Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak  
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak  
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,  
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza  
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia  
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata 
"Dan kubenamkan topi baret di kepala 
Malu aku jadi orang Indonesia"
Terjadi pengulangan bait yang sama persis pada bagian IV. Itu berarti bagian ini sangat ditekankan oleh Taufiq. Intinya dari puisi ini, walaupun Indonesia sudah merdeka dari tangan penjajah, Indonesia masih dijajah kaum sendiri. Banyak masalah politik, ekonomi, sosial, serta budaya yang masih harus dibenahi.
Puisi Taufik Ismail juga tergolong 'kaya' karena walaupun puisinya satu, puisi ini mencakup permasalahan yang ingin diketahui. Aku menarik nafas dalam ketika membaca karya Taufik Ismail yang satu ini. Negeriku terlalu berharga untuk menjadi terpuruk. Kondisi ini membuatku berfikir tentang arti cinta tanah air. Berarti apa yang kemarin Audrey katakan di perdebatan Pelajaran Bahasa indonesia bersama Pak Desan itu benar. Jika cinta itu tidak lahir hanya untuk pasangan Insan saja, tapi kata cinta itu luas maknanya. Aku jadi merasa malu dan bersalah kepada setiap orang yang kemarin ada dikelas termasuk Kak Rifandi.
Ah, iya kak Rifandi. Entahlah aku merasa bersalah atas apa yang kemarin aku katakan. Apa mungkin sebaiknya ku katakan saja pada Audrey? Tidak, aku tak mau dia beranggapan lebih tentangku. Apapun itu aku tahu aku salah dan hanya aku yang boleh mengetahui kesalahanku. Mungkin ini terkesan egois, namun aku ini juga hanya seorang manusia yang kadang punya sisi itu. Karena tak bisa untuk terbantahkan, jika sisi manusia itu ada pada keegoisan itu sendiri.

Dari Kiyrra Kepada RifandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang