DUA PULUH

54 2 0
                                    

Bila rasa harus terlihat ada, aku memilih tiada

Gubraaaakkkk... Tiba-tiba ada yang bertabrakan denganku. Heran, kenapa setiap jalan dengan amat sangat terburu-buru selalu saja bertabrakan dengan orang. Seingatku, aku berjalan masih dalam keadaan sadar dan umum dengan jalannya manusia pada umumnya. Atau orang yang bertabrakkan denganku saja yang kurang sadar dalam artian kurang hati-hati. Ya , bisa jadi.
“Aduh,” ucapku. 
“Maaf maaf,” jawabnya. 
Dari suaranya sepertinya aku tahu orang yang bertabrakan denganku, apa mungkin? Dan itu hanya tebakkanku, kalian pasti sudah tahu siapa, tak perlu untuk kusebut. Dan jika tebakkanku benar, maka akan ku tarik ulang kembali ucapan di awal yang mana disitu aku menyebutnya sebagai orang yang kurang sadar, walau itu secara tak langsung. Namun hati tidak terima akan hal itu, dan mana ku mau mencintai orang yang kesadarannya kurang. Mohon dengan sangat, bahwa ucapan di awal resmi aku tarik kembali. Terimakasih. 
“Kak Rifandi,” ucapku kaget. 
“Kiyrra?” 
Benar-benar dia, dan untung saja ucapan diawal sudah resmi ku cabut atau tarik. Kiyrra memang anak yang cerdas. Dan aku mengakui kecerdasanku, seharusnya kalian juga begitu. Lebih baik mengakuilah dari pada tidak. Agar kalian tidak menyesal, kuharap begitu. Aku hanya menyarankan, saran yang bukan sembarang saran. Karena saranku ini adalah sebuah hasil dari pengalaman yang sudah-sudah teralami. Pengalaman yang mungkin belum kalian rasakan, aku tahu itu. Semoga hanya aku yang merasakan seperti ini di dunia, tidak untuk kalian. 
“Kedua kalinya,” ucapku refleks. 
“Iya hehe,” jawabnya. 
“Darimana?” tanyanya. 
“Nyari Pak Encang kak,” jawabku. 
“Bukannya Pak Encang lagi ada acara keluar ya sama kepsek,” 
“Belum pulang emang kak?” 
“Belum sih kayaknya, gak lihat juga dari tadi. Emang ada apa ra?” tanyanya. 
“Ini tadi kan pelajarannya si bapak, belajarnya di lab. Nah Kiyrra bingung ngasih kunci lab nya sama siapa, bapaknya gak bilang,” jelasku. 
“Kenapa gak dikasih sama Bu Ismi ra? Atau enggak titip ke guru-guru lain gitu,” usulnya. 
“Iya ya kok Kiyrra gak kepikiran, iya deh Kiyrra ke perpus dulu ngasih kuncinya sama Bu Ismi,” 
“Kakak juga mau ke perpus, yuk bareng,” 
“Yaudah,” 
*** 
Tak tau kenapa kita bertemu 
Lagi lagi dan terus terulang lagi 
Jika saja aku tidak bersekolah sama disini 
Akankah kita bertemu seperti ini 
Akankah kita berkenalan seperti ini 
Akankah kita berjalan sejajar seperti ini 
Sesungguhnya aku tiada punya niat sekolah disini 
Namun entah angin apa yang membawaku kesini 
Lalu bertemu denganmu, 
Dan itu bukanlah hal yang kuduga akan terjadi 
Karena mengenalmu saja aku tidaklah berniat 
Semua apa yang teralami dalam hidupku 
Sebelumnya adalah rencana Tuhan 
Berbeda dengan setelahnya, 
Itu namanya adalah kejadian 
Tidak, 
Tidaklah aku menyesal bertemu denganmu 
Apalagi mengenalmu 
Aku bahagia, kau tahu itu? 
Hanya saja kau takkan pernah menyadarinya 
Itu adalah masalahku 
Yang harus aku sendiri yang menyadarkan 
Namun, apalah aku ini 
Jika nyatanya kau tak peduli akan hadirku 
Juga hadirnya rasaku untukmu 
Aku tahu kau hanya manusia 
Dan tak mungkin bagimu 
Mengetahui segala hal dalam hati dan pikiran manusia 
Iya aku sangat sadar akan hal itu 
Kau ada, 
Namun kau tak pernah benar-benar ada untukku 
Kau nyata, 
Namun kau tak pernah benar-benar nyata untukku 
Kau itu apa? 
Hanyalah bayangan semu bagiku 
Lalu, apalah aku ini yang tak bisa memilikimu 
Karena nyatanya kau tak pernah sadar akan hadirku 
Karena nyatanya kau tak pernah tahu 
Karena nyatanya kau buta sendiri 
Karena nyatanya kau milik orang lain 
Dan aku, hanyalah seorang pengejar bulan… 
*** 
“Kak, maafkan kejadian waktu pelajaran Pak Desan ya,” ucapku dengan susah payah. 
“Lah emang kenapa?” tanyanya. 
“Euu enggak, siapa tahu ada perkataan Kiyrra yang bikin sakit hati gitu,” 
“Kayaknya semua perkataan kamu itu bikin sakit hati deh ra,” 
“Hah masa iya?” tanyaku kaget. 
Kak Rifandi tak menjawab lagi pertanyaanku. Sedang aku masih dengan pikiranku yang hanya terfokus pada satu titik dimana itu adalah pada perkataannya barusan. Aku beku sendiri, dia siapa? Tidak begitu mengenalku dan aku pun tidak begitu mengenalnya. Namun perkataannya barusan, membuatku seperti ditampar dengan begitu kerasnya. Baru kali ini ada orang yang seberani itu, mengatakan hal itu, dengan nada seperti itu, dan tanpa ada rasa canggung sedikit pun, ini benar-benar haal yang amat langka. Meski aku sendiri menyadari, kalau aku ini memang selalu membuat orang sakit tapi entah kalau hubungannya dengan perkataan.
“Sudah sampai,” ucapnya. 
Iya, aku dengan Kak Rifandi sudah sampai di perpustakaan. Aku segera menghampiri Bu Ismi, anak dari Pak Encang untuk sekedar berbincang juga mengembalikan kunci Lab Biologi. 
“Ra, kakak nyari buku dulu,” ucapnya. 
“Silahkan,” jawabku. 
Aku masih membeku dan kepikiran pada apa yang diucapkannya barusan, jika perkataanku semuanya membuat sakit hati, kenapa aku gak tahu jika aku begitu? Apa teman-temanku juga merasakan seperti itu? Jika iya, kenapa tak ada yang berani untuk menyampaikannya pada ku. Apa harus aku tanya pada mereka agar mereka dapat mengatakannya? Kenapa sih tidak pernah ada yang berani untuk mengkritikku? Menyampaikan pandangannya tentangku, agar aku bisa mengenal diriku. Memperbaiki apa yang salah dariku.
“Ibuu,” panggilku pada Bu Ismi. 
“Eh iya ra, mau pinjam buku?” tanyanya. 
“Engak bu, tadi pelajaran bapak ini kunci labnya,” jawabku seraya memberikan kunci lab biologi tersebut kepada Bu Ismi. 
“Oh iya bapaknya lagi keluar ya?” tanyanya. 
“Iya bu, tadi kiyrra yang disuruh tanggung jawabnya.” jawabku. 
“Terus gimana anak-anaknya?” 
“Susah diatur, gaada yang merhatiin. Kiyrra kayak ngomong sendiri gitu. Ya pokoknya sebel bu, tadi kiyrra sempet juga debat sama mereka.” aduku pada Bu Ismi. 
“Biarinlah nanti kasih tau si Bapak aja, nanti juga pada di marahin si Bapak.” 
“Iya bu, pokoknya Kiyrra bener-bener kesel banget. Jadi guru ternyata gak mudah ya bu.” 
“Jadi Ketua Osis juga gak mudah.” ucap Kak Rifandi tiba-tiba. 
“Hahahaha iya itu mah udah pasti.” sahut Bu Ismi. 
Aku hanya diam, tak tahu harus bicara apa. 
“Bu ini ada tempo?” tanyaku. 
“Eh iya ibu lupa mau bilang, itu tempo baru neng.” jawab Bu Ismi. 
“Kiyrra pinjem ya bu,” ucapku. 
“Gak bisa dibawa kerumah tapi Ra,” sahut Bu Ismi.
“Bacanya di kelas kok bu,” ucapku.
“Oh ya sudah, ambil. Tapi jangan lupa kembaliin.” 
“Siap Bu.”
Itulah Bu Ismi, guru baik yang selalu membolehkanku meminjam buku yang tak seharusnya aku pinjam. Aku suka politik. Di majalah tempo ini, semuanya berkaitan dengan berita politik dan hukum dan aku menyukai itu. Kadang aku dan Bu Ismi sering berdiskusi terkait permasalahan di Indonesia, selain itu Bu Ismi juga adalah teman curhat paling menyenangkan. Aku juga sering curhat masalah teman-temanku dikelas. Kalau curhat masalah rasaku pada Kak Rifandi, aku tak berani. Aku juga pernah punya masalah dengan keluarga, dengan Ayah. Dan mungkin Bu Ismi melihat status di facebookku galau, Bu Ismi adalah orang yang pertama kali bertanya aku kenapa dan ada masalah apa. Ayah, Kiyrra sayang Ayah. Kiyrra memang tak pernah berucap langsung pada ayah, tapi setidaknya kiyrra punya rasa itu. 
“Ra, kakak udah pinjem bukunya. Kiyrra masih mau di perpus?” tanya Kak Rifandi tiba-tiba. 
“Enggak kak bentar lagi bel, Kiyrra mau ke kelas.” sahutku.
“Ya sudah, bareng lagi?” tanyanya. 
“Iya.” jawabku.
Aku berpamitan pada Bu Ismi. Kalau aku punya kakak, mungkin aku punya teman curhat atau apapun itu seperti kepada Bu Ismi. Tapi nyatanya aku ini kan anak sulung, dan aku yang menjadi kakak untuk Yurika, adikku. Adik nakalku, adik yang selalu membuatku kesal tapi tiba-tiba menjadi rindu ketika berada jauh dengannya. Adik yang selalu ku marahi karena ia tak pernah ngerti dengan pelajaran yang selalu ku terangkan padanya. Adik yang selalu membuatku dimarahi Ayah dan Ibu. Adik yang selalu membuatku merasa tidak disayangi Ayah dan Ibu. Adik yang selalu membuatku takut, jika nanti tinggi badanku tersusul olehnya. Aku menyayanginya dan itu akan selalu, sampai detik dimana aku dan dia nanti terpisah oleh maut. Dia satu-satunya adikku, dan aku akan menjaganya semampuku layaknya harta paling berharga dimuka bumi ini. 
Ketika aku dan Kak Rafandi hendak keluar dari perpustakaan, aku kaget melihat Pak Desan. Pak Desan ada didekat perpustakaan tepatnya sedang memandang kearahku. Aku menjadi risih jika bertemu dengannya, tidak terbayang jika berpapasan dengannya. Apa yang akan Aku lakukan? Rasanya tak sanggup. Apalagi setelah kejadian kemarin. Aku sulit menerima kembali ketika sudah patah, maka jangan pernah membuatku tidak suka. Dan juga, kalau ingin membuatku suka jangan berlebih. Karena itu akan membuat tidak suka.
“Oh My God, Pak Desan!” teriakku refleks. 
“Emang sekarang pelajaran Pak Desan lagi?” tanya Kak Rifandi. 
“Ih kakak ini, tahu kan kalau Pak Desan itu menyebalkan?” ucapku. 
“Guru paling menyebalkan sejagat raja, dan aku sangat tidak menyuakainya. Jangan bilang-bilang, aku sedang marah sama dia.” sambungku. 
“Hahahahahhahaha….” tawanya.
“Kenapa ketawa?” tanyaku heran.
“Jangan gitu lah, gitu-gitu juga guru dan patut untuk dihormati.” ucapnya. 
“Tapi kan nyebelin!” sahutku.
“Biasanya yang nyebelin itu ngangenin, bisa-bisa nanti kamu kangen dia ra. Hati-hati hukum alam hahahaha..” ledeknya.
“Yaelah amit-amit deh, jangan sampe.” ucapku. 
“Tapi kan kalau ngasih nilai bagus ra?” tanyanya.
“Bagus kok.” jawabku.
“Yaudah ngapain benci?” tanyanya. 
“Kita kan sekolah bukan untuk nyari nilai, tapi untuk nyari ilmu gitu kak.” sahutku so bijak. 
Aku dan Kak Rifandi masih sembunyi di balik pintu perpus karena takut terlihat oleh si bapak itu, dan aku tak mau mendapat ledekan darinya kembali. Kulihat sekilas Pak Desan dari pintu perpus, ia melihatku dan dengan segera aku pamit pada Kak Rifandi untuk duluan ke kelas. 
“Aku duluan ke kelas kak.” bisikku. 
Belum sempat Kak Rifandi menjawab ucapanku, aku sudah pergi meninggalkannya sendiri di perpustakaan dengan lari terbirit-birit takut kalau-kalau Pak Desan memanggilku. Ini celaka, dan sangat membahayakan.
Sampai dikelas ku atur nafasku yang sudah mulai ngos-ngosan tidak beraturan. Karena kehausan, aku meminum air munim milik Audrey. Untung saja dia sudah selesai makan, jika tidak aku harus mengganti air minumnya dengan yang baru. 
“Loe haus apa habis dikejar hantu sih ra? Pelan-pelan minumnya, nanti keselek. Mana itu air minum gue lagi.” omel Audrey. 
“Dari mana sih loe ra?” tanya Dee. 
“Bentar, gue tarik nafas dulu. nih tadi gue nyari Pak Encang mau ngasihin kunci lab, eh si bapak belum balik kesekolah. Gue ketemu kak Rifandi deh, terus kata kak Rifandi mending kuncinya gue kasih ke Bu Ismi si Ibu perpus. Nah gue ke perpus tuh sama Kak Rifandi, pas gue sama kak rifandi mau ke kelas tiba-tiba kita ngeliat Pak Desan. Yaudah kita ngumpet lagi di perpus, karena gue mulai gak enak hati gue ke kelas duluan aja sambil lari-lari.” jelasku. 
“Cieee Kiyrra, ngapain ke perpus sama Kak Rifandi? Abis pacaran ya?” celetuk Dee. 
“Ih si Dee, gue kan bilang abis ngembaliin kunci ke Bu Ismi.” kilahku. 
“Terus ngapain lo lari ketemu Pak Desan?” selidik Audrey. 
“Ih males ah, gue gak suka.” sahutku.
“Kasihan kali ra, lu kan murid kesayangannya.” kata Dee seraya mengedip-ngedipkan matanya. Padahal biar apa coba?
“Hidih amit-amit banget, udah ah jangan ngomongin Pak Desan.” Kesalku.
“Btw, guru fisika kemana? Tumben Pak Dadi belum masuk?” tanyaku heran. 
“Pak Dadi kan ada perlu keluar tadi sama Pak Encang, mungkin mereka belum sampai di sekolah.” jelas Audrey. 
Itu adalah perbincangan terakhirku dengan Audrey dan Dee. Mereka berdua langsung menuju bangku Erlin dan Nila berada, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya mampu menebak, mereka sedang membicarakan hal-hal horor. Terdengar saja dari pembicaraan mereka ada hantu-hantunya dan sesekali mereka menjerit-jerit, dasar aneh. Aku hanya duduk saja dibangku membaca majalah tempo yang kupinjam tadi dari perpustakaan. Kulihat sekitarku, grup perempuan sedang membicarakan hal-hal horor kecuali aku dan felina. Aku sedang duduk di bangku, sedangkan Felina sedang tertidur. Entahlah dia senang sekali tidur di kelas. Ghandi seperti biasa ia sedang bermain games dengan handponenya. Dista dan Hilman sedang nyanyi-nyanyi sambil bermain gitar. Taufal dan Wisnu tidak masuk, tanpa alasan. Pelajaran terakhir ini, pelajaran Fisika. Gurunya bernama Pak Dadi, guru tersabar yang pernah ku temui. Gaya mengajarnya percis seperti ngajar anak TK, menurutku. Sepertinya, Pak Dadi tidak akan masuk kelas. 
*** 
Hal yang sangat aku senang adalah ketika melihatmu tertawa, tertawa lepas. Meski tawa itu bukan bersamaku setidaknya kau bisa tertawa saja aku sudah bahagia dan senang. Bahkan bila tawa itu bersama orang lain, sekalipun. 
Ada hal yang lebih penting di dunia ini dari dirimu, yaitu orangtua ku, guru ku, agama ku, negeri  ku, sahabat ku dan entah sejak kapan dirimu telah menjadi daftar bagian dari yang terpenting di dunia ini, terutama di kehidupanku. 
Bila nanti kau tahu ini, jangan tanya sejak kapan aku mencintaimu. Aku takkan mampu menjawab. Karena yang ku tahu, cinta itu tidak mengenal waktu. Aku tidak tahu sejak kapan dan sampai berapa lama cinta ini ada. 
Dengarkan aku, Tuhan telah memberikan rasa cinta yang tumbuh dalam diriku ini kepadamu. Jika nanti Tuhan mengambil rasa ini, jangan marah padaku. Karena yang mampu mengendalikan diriku sepenuhnya adalah Tuhan. Tuhanku, Allah swt. 
Tapi kau tak perlu khawatir, aku selalu berdoa kepada Tuhanku, Allah swt agar tidak mengambil rasa ini secara paksa dariku. Apa yang telah tertanam dalam hatiku, selamanya akan tertanam. Dan ini keputusanku yang ku buat dan selalu ku katakan padaNya di sela-sela do’aku ketika usai sholat, menghadapNya. 
Aku juga tidak ingin cepat mempercayai rasa ini, karena ku takut jika rasa ini hanya nafsu belaka bukan karenaNya. Kita lihat saja sampai mana rasa ini akan tetap bertahan 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun atau selamanya? Dengan senang hati akan ku terima. 
Kamu harus tahu, jika aku hanya akan jatuh cinta padamu saja, sekali dan pegang ucapanku ini. Jika nanti teringkari, kau berhak memberiku hukuman. Dan ku pastikan semua itu takkan terjadi, aku hanya akan mencintaimu saja itu sudah cukup. 
Cinta ini hadir karena Tuhan yang memberikan, itulah kenapa aku mencintaimu karena Tuhanku, Allah swt. Aku berani bersumpah, Tuhan tidak akan salah memberikan rasa ini. Dan aku sangat mempercayai hal itu. 
Aku takkan meyakinkan hatimu dengan semua rasa ini. Karena yakin atau tidaknya rasaku terhadapmu itu sudah menjadi hak hatimu, bukan aku. Semoga kau bisa yakin dengan sendirinya, tanpa perlu ku yakinkan. 
Maafkan aku yang tak berani untuk menunjukan rasa ini, padahal aku bisa. Maafkan aku. Kau sendiri yang harus membuatku untuk menunjukan rasa ini, tanpa harus susah payah untuk ku tunjukkan. Aku hanya takut, kau menghiraukanku. 
Kau belum menjadi milikku di dunia ini tapi tanpa kau sadari kau sudah menjadi milik hatiku. Karena kau hanya menjadi milik hatiku dan belum menjadi milikku, ku bebaskan kau mencintai orang lain. Karena mencintai itu hak mu. 
Bila kau bertanya aku cemburu atau tidak, jelas saja aku cemburu. Coba saja kau pikir, orang yang kau cintai ternyata mencintai orang lain. Sakit? iya, tapi apa hakku? Kau hanya milik hatiku, belum menjadi milikku. 
Menjadi milikku itu artinya kau sudah menikah denganku, kalau menjadi milik hatiku itu artinya kau hanya orang yang ku cintai. Belum terikat dan belum ada sesuatu yang mampu untuk menuntut dirimu agar tidak melakukan sesuatu hal yang tidak ku sukai. 
Aku tak peduli, jika sekarang kau mencintai orang lain. Karena aku juga sadar diri, siapalah aku ini? Aku tidak pernah menunjukkan rasaku dan aku hanya bersikap seperti biasanya, seolah-olah tidak pernah tertanam sesuatu hal yang begitu dalam di hatiku. Kamu bebas, silahkan mencintai siapapun. Sebelum masa itu datang, dimana hatimu akan tertambat padaku dan aku takkan menyianyiakan hadirmu. 
Aku berfikir, adilkah ini Tuhan? Disaat aku membebaskanmu mencintai siapapun, namun aku tak bisa untuk mencintai siapapun. Aku selalu ingin bisa agar aku mencintai orang lain selain dirimu, sama halnya dengan dirimu. Namun nyatanya aku tak bisa. Hatiku tak bisa untuk mencintai siapapun, dan aku hanya mampu untuk mencintaimu saja. 
Aku merasa aku ini bodoh, mencintaimu tanpa sepengetahuan dirimu. Mencintaimu tanpa kau tahu kalau aku sakit melihatmu bersama orang lain. Kalau saja aku tak mencintaimu, mungkin aku tak perlu merasa repot dengan hatiku sendiri. 
Kalau kamu tahu rasa ini, akankah kau mencintai ku juga? Kurasa takkan. Karena cinta butuh proses. Kau bukan diriku, yang tiba-tiba bisa mencintaimu bahkan ketika aku sendiri tak mengenalmu. Untuk itu aku lebih memilih untuk diam, meski sejujurnya selalu ku merasa ada sakit yang tersimpan di sela-sela cinta yang tumbuh ini. 
***

Dari Kiyrra Kepada RifandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang