Aku menyetujui apa yang dikata pepatah, “Lebih baik telat daripada tidak sama sekali.”
Pagi hari di hari selasa, masih dengan mata mengantuk. Semalam Aku tidur jam 2 dini hari. Demi menganalisa kasus korupsi di Indonesia, ini sebenarnya bukan kemauanku. Ngapain aku susah-susah menganalisa yang bukan menjadi tugasku. Lagi pula masih banyak hal yang harus aku lakukan. Tapi entah kenapa otakku terus berbicara tanpa berhenti, kalau tidak aku tulis atau bicarakan yang otakku katakan sampai pagi pun aku tidak akan bisa tertidur pulas.
"Kiyrrraaa, jam setengah 6 ini !" ucap Ibu.
Mampus aku telat, belum sholat dan juga belum mandi. Dengan cepat Aku berlari dari kamar menuju kamar mandi. Di dapur, kutemui Yurika sedang makan, atau lebih disebut sebagai sarapan.
"Kak ira.. Kak ira, abis ngapain sih jam segini baru bangun? Duh duh duh, males amat sih jadi orang." ledeknya.
"Berisikk kamu yah! Lihat nanti, tunggu pembalasan kakak!" ancamku.
"Hahahahahha." tawanya.
Dia malah menertawakanku, adik apaan tuh? Tiap pagi bukan Kiyrra dan Yurika namanya kalau tidak terjadi keributan. Aku mengutuk untuk apa yang terjadi di setiap pagi yang mana sudah mendarah daging menjadi tradisi bagi aku dan Yurika. Salam gila!
"Kiyrra, ngapain malah berantem? Ini udah mau jam 6, kamu mau ketinggalan angkot?" teriak Ibu yang sedang beres-beres di ruang tamu.
"Ya ampun." gumamku.
Pukul 06.35 Aku selesai mandi dan sholat. Sekarang aku sedang memakai kerudung. Entah apa yang terjadi dari tadi kerudungku tidak rapih rapih. Ini benar-benar sial. Dan selalu seperti ini, ini adalah kali ke lima aku telat. Memalukan.
"Ya Allah Kiyrra, Ibu kira kamu sudah beres." ucap Ibu.
"Ibu udah gausah ngomelin Kiyrra, Kiyrra jadi semakin gugup nih."
"Cepetan! Belum kamu sarapan. Ini udah setengah 7 lebih 15 menit."
"Apa? Haduhh, yaudah Kiyrra berangkat deh. Assalamu'alaiku."
"Kamu sarapan dulu ra!"
"Aduh Ibu, tolong deh untuk hari ini aja Kiyrra gausah sarapan. Kiyrra belum disepatu lagi." ucapku seraya dengan cepat memakai sepatu.
Tak peduli dengan kerudung yang tidak begitu rapih. Kurasa ini bisa dipakai diangkot. Lagi pula, kalau sudah telat begini membuatku semakin gugup dan ditambah Ibu yang terus mengoceh. Membuat sensai gugupku terus meningkat. Semakin gugup, semakin lama beresnya.
Tepat pukul 07.00 wib aku sampai dijalan cigalumput, tempat biasa menunggu angkot. Secara normal, seharusnya aku sampai dipukul 07.15 wib, karena ini jalannya ngebut alias tidak normal sampai lebih cepat dari kecepatan normal. Aku menunggu angkot yang belum juga muncul. Aku dilema, antara pulang lagi atau sabar menunggu. Ana sudah berangkat duluan kurasa. Mungkin dia pikir aku berangkat bersama Kak Nova dan Kak Deva. Mereka kelas XI.
Titt... Tiitt.. Tiitt.. Kelakson motor tiba-tiba terdengar, kulirik sekilas orang itu.
"Hahh, Pak Agni." batinku.
Pak Agni ini adalah guru SMP ku, mungkin Ia mau berangkat mengajar. Dia guru matematika, sampai detik ini Ia tetap guruku. Aku merasa punya dosa padanya, bagaimana tidak? Setiap belajar suka merasa bener. Kan disini Pak Agni yang gurunya. Setiap ulangan juga, Aku yang suka pertama selesai. Kemudian Pak Agni memeriksa dan Ia akan bilang ada yang salah, lalu kumintai kembali kertas ulangan itu dan membuat teman sekelasku iri. Dan yang lebih memalukan adalah ketika surat kelulusan yang harusnya dijaga baik-baik. Ini malah ku buang. Alhasil nangis-nangis minta Pa Agni bikinin lagi. Yah Pak Agni kan wakasek kurikulum. Jadi biarin saja. Sampai aku di SMA juga jika mengerjakan PR sering bersama Pak Agni. Walau kadang ada perdebatan sedikit.
"Ra, ngapain disini?" tanyanya.
"Kiyrra nungguin angkot Pak." jawabku seraya tersenyum.
Kulihat Pak Agni melihat sekilas pada jam tangannya. Aku menggigit bibir karena gugup dan malu karena guru SMPku tahu kalau aku telat.
"Sudah siang? Jam 7 lebih ini." ucapnya.
"Hehehe." Aku hanya mampu menjawab itu.
"Bapak anterin?" tawarnya.
"Gak usah pak, tuh udah ada angkotnya." sahutku seraya menunjuk angkot yang sudah muncul.
"Nanti terlambat."
"Ini sudah terlambat Pak."
"Yasudah, hati-hati. Pak cepetan nyampenya, anak sekolah ini." ucap Pak Agni seraya berkata pada supir angkot.
"Kamu, jangan telat terus. Kena hukum nanti." omelnya.
"Iya Pak iya, Kiyrra berangkat dulu. Assalamu'alaikum." ucapku seraya mencium tangan Pak Agni.
Didalam angkot aku merasa bener-bener gugup luar biasa. Takut juga. Tapi bagaimana pun aku harus sampai disekolah. Bukankah pepatah mengatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dan aku gak suka tidak masuk sekolah, setiap orang akan merasa kehilangan soalnya. Karena Kiyrra banyak fans, dan juga kalau gak ada aku di kelas, mau bagaimana keadaan kelas. Susah ditebak dan sulit untuk menerima kenyataannya.
"Kiyrra Kiyrra.. Bener-bener gila kamu." batinku.
Untuk sampai di sekolah, Aku harus naik ojeg. Berhubung angkot Mang Agus dan yang lainnya sudah tidak ada dibawah. Kenapa gak ada guru yang lewat sih? Biasanya kalau telat begini, suka ada si Bunda atau siapa saja yang rela memberikan tumpangan bagiku. Biasanya begitu, namun entah dengan hari ini.
"Keluar uang banyak deh hari ini." keluhku.
Lalu berjalanlah aku ke arah gerbang sekolah. Gerbang sudah ditutup dan itu sudah kuduga sebelumnya. Aku tahu. Aku telat. Dan ini parah. Tapi tak mengapa. Ini sejarah! Meski dan harus terkenang dalam hidup. Kenyataan berkata seorang Kiyrra juga manusia, pernah telat dan ngatur guru. Hidup memang tak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diingin, sesempurna apapun hidup, tetap namanya hidup. Keberpihakkannya selalu muncul dengan cara yang tidak di duga.
Jika ku pikir hari itu adalah hari menyedihkan, iya. menegangkan juga, iya. Tapi dari sana aku bisa mengintropeksi diri, bahwasanya aku belum cukup untuk dikatakan disiplin. Ada hikmah dalam setiap kejadian dan ada pelajaran yang bisa diambil. Aku tidak pernah menyalahkan segala macam runtutan kejadian dalam hidup. Mau buruk, mau baik tetap itu namanya ujian.
Kita hidup, disini, dibumi ini, mengajarkan bagaimana bertahan hidup untuk mati!
Sampainya di sekolah, gerbang sudah ditutup rapat. Guru piket pada waktu itu Ibu Purnawati, biasa dipanggil Ibu Pur. Badannya kecil, menurut gosip, Ibu Pur ini termasuk guru paling tua yang sudah mengajar. Buktinya banyak guru yang dulunya diajar oleh Bu Pur. Bu Pur mengajar biologi. Tapi untuk kelas lain, kelasku tidak diajar. Karena guru biologiku Pak Encang.
"Telat ya?" tanyanya.
"Iya bu." jawabku kikuk.
"Siapa namanya?"
"Kiyrra, kelas X IPS 1."
"Dimana rumahnya?"
"Tanjungkerta."
"Jauh ya, kost tidak?"
"Tidak bu, pulang pergi."
"Pelajaran siapa?"
"Tikom Bu, Pak Dias."
"Oh, yasudah hukumannya kamu sapu saja ruang piket ini."
"Ruang piket ini aja bu?"
"Iya, mau emang kamu nyapu lapangan?" tanyanya dengan nada kejawa-jawaannya.
"Eh enggak Bu, iya sekarang saya sapu. Saya harus peraktikum."
"Oh praktikum? Kenapa kamu gak bilang dari tadi? Yasudah gapapa gausah nyapu, nanti ketinggalan praktek kamu."
"Wah serius bu?" tanyaku tak percaya.
"Iya, tapi jangan bilang-bilang."
"Terimakasih Bu, saya permisi." ucapku seraya mencium tangannya.
Ketika hendak pergi, Bu Pur memanggil kembali.
"Kiyrra?" tanyanya.
"Iya bu?" jawabku heran.
"Besok besok jangan telat, besok bukan saya piketnya." ucapnya masih dengan nada kejawa-jawaan.
"Iya Ibu gak usah khawatir." sahutku.
Aku berjalan dulu ke kelas sebelum menuju ke lab praktikum. Hanya untuk menyimpan tas. Aku melirik ke kiri dan ke kanan, takut-takut ada yang melihatku telat. Malu kan seorang Osis telat. Dan parahnya, ini adalah kelima kalinya aku telat. Sebenarnya lebih dari itu kalau dihitung, cuma yang lainnya lolos dari hukuman.
Awal masuk saja aku sudah dimarahi kepsek dan wakasek kesiswaan gara-gara telat. Untung tidak sendiri, tapi berbelas-belas siswa. Kalau telat tadi sih sendiri, untung saja yang piketnya Bu Pur.
"Heh Kiyrra." panggil seseorang. Aku sudah gugup luar biasa.
Aku hendak meliriknya sedikit-sedikit. Hanya saja takut. Dan akhirnya ku paksakan untuk melihat.
"Yah Bapak ngagetin aja."
Seseorang yang memangilku sekaligus mengagetkanku itu ternyata Pak Yus, Guru olahraga yang sering memberikan keringanan bagi seorang Kiyrra yang bodoh di pelajaran yang satu itu. Dengan rayuan, Kiyrra kata Ibu gak boleh olahraga soalnya sedang sakit, Kiyrra ngisi BKS saja yah Pak, Kiyrra janji akan belajar yang baik.
"Telat?" tanyanya.
"Ya seperti itu." jawabku malu.
"Haduhh." ucapnya.
Aku hanya tersipu malu karena ketahuan terlambat. Telatku sudah habis satu jam mata pelajaran. Untung guru yang piket hanya Bu Purnawati, kalau saja disana ada Wakasek Kesiswaan yang mana namanya Pak Barna. Terkenal sebagai Guru paling galak.
Dengan cepat, Aku buru-buru menuju ke ruang lab praktikum komputer. Letaknya lumayan jauh, dan parahnya dekat dengan ruang guru belakang ruang perpustakaan. Untungnya, menuju ke Lab Komputer tidak membawa-bawa tas jadi aku punya alasan untuk tidak disangka telat.
"Mati gue," batinku.
"Assalamu'alaikum," ucapku ketika sampai di ruang lab praktikum komputer.
Semua mata yang ada disana memperhatikanku dan berhenti sejenak dari perhatian komputer dan aktivitasnya yang sedari tadi mereka perhatikan dengan serius. Aku berdiri di depan pintu masuk dengan kikuk. Kemudian ada suara tawa yang mencairkan suasana terdengar begitu menjengkelkan.
"Hahahahahahaha." tawanya.
Aku meliriknya dengan jengkel. Ternyata si Hilman. Tuh orang memang selalu menyebalkan.
"Dasar jawa!" pekikku.
Tidak lama setelah tawa Hilman, kemudian muncullah tawaan ledekkan dari anak-anak kelas. Semuanya tertawa, termasuk Pak Dias. Aku menghela nafas jengkel. Dengan perasaan antara malu dan jengkel, ku paksakan diriku untuk masuk kedalam lab dan salam kepada Pak Dias.
"Telat si Kiyrra duh, tinggal 10 menit lagi." omel Pak Dias. Kupikir itu bukan omelan. Karena Pak Dias bicaranya dengan nada mengejek juga tersenyum.
"Gak ada angkot Pak." alasanku seraya masang wajah bete.
"Udah ditulis alpa sama Bapak, gimana ra?"
"Yah Bapak, sekali aja Pak."
"Jangan Pak sebelum dia nangis." celetuk Taufal.
"Loe ya fal, awas kalau minta ngerjain tugas. Gak bakal gue." ancamku pada Taufal.
Menyebalkannya Taufal hanya memelerkan lidahnya dengan maksud mengejek. Aku tak pernah akur dengannya walau hanya sekejap. Yang ku herankan adalah ia masuk sekolah hari ini, biasanya dia absen terus. Tapi walau kami sering bertengkar dan tak akur, kalau ada tugas Taufal sering meminta bantuan padaku yang tentunya dengan negosiasi panjang. Dimana ada upah disana.
"Dasar gila!" ucapku seraya memukulnya dengan buku yang sedang ku pegang.
"Gak kena.. Gak kena wlleee.." ledeknya.
Pak Dias yang sudah melihat perdebatan kami akhirnya berhasil memisahkan. Mungkin karena berisik, atau mungkin takutnya berakhir dengan cakar-cakaran. Mengingat aku dan Taufal yang pernah berantem dan menarik rambutnya. Mungkin Pak Dias takut itu terulang.
"Buruan kerjain Taufal! Main terus!" omelnya.
Aku pun tertawa melihat Taufal diomelin Pak Dias. Merasa ada yang membela.
"Pak jangan di alpa dong Pak." bujukku.
"Gimana ra udah Bapak tulis."
"Yah Bapak, tolong dong Pak."
Aku sudah cemas, takut di tulis alpa di absen. Karena kecemasan itu wajahku tampak pucat, air mata sudah mau keluar tapi ditahan karena malu.
"Nangis kamu ra?" tanyanya.
"Eng...gaa..k.. Kok Pak." jawabku terbata.
"Lo mewek ra?" tiba-tiba tanya Audrey.
"Enak aja lo, enggaklah." kilahku.
"Jadi kapan saya praktek Pak?" tanyaku pada Pak Dias mengalihkan pembicaraan.
"Kiyrra, kamu minggu depan aja." jawabnya.
"Yah Bapak, sekarang aja."
"Habis waktunya."
Sebalkan bila begitu? Tapi mau bagaimana lagi, Pak Dias gurunya. Aku hanya murid yang berusaha untuk patuh. Semoga kepatuhan ini menjadi pahala. Dan bodohnya kenapa seorang Kiyrra bisa telat. Tapi bukankah Aku juga manusia, ada saat dimana Aku harus seperti manusia lainnya. Termasuk juga telat bangun.
***
Pendidikan ialah pembelajaran
Memasuki dunianya adalah kewajiban
Tidak lain dan tidak bukan
Untuk mencari ilmu dan pengetahuan
Menjadi manusia terpelajar
Bukan hanya soal kepintaran
Tapi mampu menghadapi proses dengan penuh tegar
Dari segala angan dan harapan
Tidak mudah mengendalikan keinginan
Kalau tidak diimbangi kebutuhan
Dalam kuatnya keyakinan
Aku ingin menjadi orang yang penuh kegigihan
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Kiyrra Kepada Rifandi
RomanceCinta bagiku hanya sebuah kata yang tiada bermakna. Namun hati berkata, cinta itu ada dan kepada siapa itu tertanam maka hanya Aku yang tahu jawabannya. Cinta diam-diam, tidak ada yang mengetahui betapa menyakitkannya hal itu terasa. Menyakitkan ata...