He is my boyfriend #30

42 2 0
                                    

Terbangun dari tidurku, aku menggeliat dan beranjak dari kasur. Perlahan, aku mengumpulkan serpihan-serpihan ingatanku tentang kejadian semalam.

Aku tersenyum pahit, sambil menatap dinding kamar ashton yang dipenuhi poster band favoritnya.

"Cassy kau sudah bangun?" Ashton tiba-tiba membuka pintu kamar membuatku terperanjat.

"Geez! Ash, kau mengagetkanku!" Ujarku padanya, ia hanya terkekeh.

"Sorry, i didn't mean to. Senang kau sudah bangun," ashton berjalan memasuki kamar mendekatiku. "Ready for breakfast?"

Aku tersenyum kemudian mengangguk. Ashton kemudian menarik tanganku menuju ruang makan. Wangi pancake dengan saus coklat bisa ku hirup dari ruang tv.

"Pancakes?" Ujarku sambil menaikan alis.

"No no. It's waffles." Ashton menjulurkan lidahnya sedangkan aku bersungut kesal karena tebakanku meleset.

**

Piring yang putih bersih kini telah menjadi kotor akibat saus coklat. Aku membawa piringku menuju tempat cucian,

"Tidak, kau tidak perlu mencucinya," ashton menahanku ketika aku hendak membuka keran.

"Oh ayolah ash, lagipula ini bekas piringku. Aku hanya ingin membantu."

"Tidak, tidak perlu." Ashton merebut piring yang ada di tanganku. "Biar aku saja, kau sebaiknya meminum susu yang telah aku buatkan untukmu," ujarnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku tak dapat berkutik lagi. Aku hanya terkekeh sambil bergumam "dasar kau ash" kemudian berjalan keluar dari dapur.

Ketika aku hendak meneguk susu, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku bergerak menuju ruang tv dimana ponselku tergeletak di atas meja kaca, dan kemudian langsung mengangkat telfon tanpa melihat caller id nya,

"Hallo? Luke?" Ucapku spontan ketika mengangkat telfon.

"Cassy! —luke? Siapa itu luke?" Jawab suara di seberang telfon yang familiar.

Shit. Ini bukan luke. Ini Hal. "Oh, hal! Maaf kukira luke— Eh, tukang pipa tadi yang membetulkan saluran pipa di apartemen. Oh, maafkan aku hal."

"Tukang pipa?"

"Ya, semalam pipanya bocor." Jantungku terus berdebar-debar tak karuan.

"Benarkah? Oh bagaimana sekarang keadaannya sekarang? Maafkan aku sayang sudah merepotkanmu. Aku memang sudah lama tak mengecek saluran pipa di apartemen," suara hal terdengar iba dari seberang sana. Aku menghembuskan nafasku lega.

"Oh, tentu tidak apa-apa hal. Kau tak perlu meminta maaf. Sekarang pipanya sudah tidak bocor lagi. Ada apa hal? Sudah cukup lama semenjak terakhir kali kau menelfonku."

"Syukurlah kalau begitu. Oh ya cassy! Aku lupa memberi tahumu, bahwa hari ini aku akan terbang ke australia! Universitas memberiku waktu libur musim dingin. Walaupun hanya untuk satu minggu. Aku sangat senang bisa melihat wajahmu lagi. Pastikan kau menjemputku di airport! Halo cassy? Apa kau masih disana?"

"Oh—ya hal, tentu. Benarkah? Waw aku benar-benar tak sabar untuk melihatmu lagi! Jam berapa aku harus menjemputmu ke airport?"

"Cassy? Kau baik?"

"Oh tentu saja hal! Mengapa kau bertanya seperti itu?"

"Oh. Baiklah. Akan kuberitahu lagi jika aku telah sampai di australia. Da-ah cassy."

Tut...

Hal memutuskan sambungan telfon sepihak. Aku terdiam mematung memandangi layar handphone ku yang menyala. Sekarang pukul 7 pagi dan kurasa masih terlalu pagi bagiku untuk bisa mendengar berita yang—entah membahagiakan atau mengejutkan ini.

"Dari pacarmukah?" Suara ashton yang lagi-lagi mengejutkanku. Aku berbalik menatapnya yang sedang meninum susu. Atau lebih tepatnya—susuku.

"Ash, bisakah untuk sehari saja kau tidak mengagetkanku? Kau hampir membuat jantungku copot dalam beberapa jam ini," gerutuku. "Oh, dan itu susuku."

Ashton tersenyum. "Kau salah cassy," ujarnya. "Pertama, aku tak mengagetkanmu dalam beberapa jam terakhir ini, melainkan kau yang kaget melihat keberadaanku. Dan yang kedua, ini susuku. Karena susumu ada di meja marmer di dapur." Ashton menunjuk kearah meja yang ia maksud. Dan benar saja, aku bisa melihat segelas susu berwarna putih disana. Pipiku memerah karena malu.

"Oh! Aku tak melihatnya sungguh! Berarti susu yang hampir ku minum tadi adalah milikmu?" Aku berkekeh ria. Mencoba menyembunyikan rasa maluku.

"Kurasa," ujarnya. "Untung saja kau belum meminumnya."

"Oh, memang kenapa jika aku tadi meminumnya?" Aku berjalan mengambil susuku. Dan meneguknya.

"Oh, tidak. Tidak apa-apa. Hanya saja, mungkin rasanya agak berbeda." Ujar ashton yang di akhiri dengan kekehannya.

"Aku tak mengerti apa yang kau katakan," gumamku.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan pacarmu itu? Ia tadi menelfonmu bukan?" Ashton menyimpan gelasnya yang telah kosong di atas meja kaca dan menatapku.

Aku berjalan mendekatinya, kemudian menghempaskan bokongku di sebelahnya. Gelasku yang masih terisi oleh cairan putih, kusimpan di atas pahaku.

"Uhm, ya, kau benar ash. Hal, ia bilang bahwa ia akan terbang ke sydney hari ini," jelasku.

"Benarkah?"

Aku mengangguk pelan.

"Bukankah seharusnya kau senang cassy? Pacarmu akan pulang?" Aku merasa bahwa sekarang ashton sudah beralih menjadi wartawan karena ia terus menimpaliku pertanyaan.

"Aku sudah mengatakan ini padamu ash..," gumamku. "Aku rasa, mungkin hal—pacarku, hanya sebagai pengalih perasaanku? Karena kau tahu, aku Mencintai..."

"Ayolah cassy," ashton memutar posisinya menjadi menghadapku. "Tak bisakah kau menerima kenyataan bahwa luke telah pergi?"

"Maksudmu?" Tepat disaat ashton berbicara, aku bisa merasakan firasat buruk semalam kembali menghantuiku.

"Ya—maksudku, memang luke sahabat kecilmu itu telah pergi, bukan?" Aku bisa mendengar nada bicara ashton yang seperti meledek. Terutama saat ia mengucapkan 'sahabat kecilmu'.

"Ash. Hentikan. Aku tak ingin berdebat." Aku kembali meneguk susuku. Mencoba menahan emosiku yang sebetulnya sudah meluap-luap sedari tadi.

"Cassy. Kau tak mengerti, dan untuk pacarmu, jika kau memang tak mencintainya, mengapa kau tak memutuskannya saja?"

"Ashton, dengar." Aku menyimpan gelasku di atas meja cukup keras. "Aku menghargai semua saranmu itu. Tapi meskipun kau memaksaku untuk bisa melupakan luke dengan sekejap rasanya mustahil. Dan, aku sejak awal memang ingin memutuskan hubunganku dengan hal. Dan satu lagi, jangan memaksaku, karena—"

"Kau bilang aku memaksamu? Dengar cassy! Aku menyayangimu, itulah mengapa aku bersikeras untuk membuatmu melupakan luke sahabat kecilmu itu, karena ia memang telah pergi!"

"Cukup ash! Kau memang memberi saran tapi aku tak menyukai caramu menyampaikan saran-saranmu itu! Kau terkesan memaksaku menuruti semua saranmu! Dan jangan bilang luke sahabat kecilku!"

"Bukannya ia memang sahabat kecilmu?!"

"Ia memang sahabatku, ya sahabat kecilku— tapi jangan menggunakan nada seperti mengejek! Argh! Ash, kukira kau akan membantu, tapi aku salah!" Aku berteriak. Aku beranjak dari sofa dan mengambil barang-barangku dan juga kunci mobil.

"Cassy, kau mau ke—"

"Jangan halangi aku ash! Aku mau pulang!" Seruku membelakangi wajahnya. Sepertinya aku tak mampu lagi untuk menahan air mataku.

"Dan satu lagi ash, jangan pernah bilang bahwa aku yang tak pernah mengerti, tapi kau! Kau yang tak mengerti!" Aku membuka pintu apartemen ashton dan berjalan keluar kemudian menutupnya. Aku berlari menyusuri lorong dengan air mata yang terus mengalir.

***

:'-)

He Is My Boyfriend [L.H Imagine]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang