Perasaan itu datang lagi, sungguh. Aku bersumpah. Dan tahukah bagian terburuknya? Aku. Ya aku yang tidak berdaya untuk berbuat sesuatu, bahkan untuk bisa beranjak dari tempat tidur ini. Perasaan tidak enak dan kecemasan yang sama ketika aku mencemaskan luke dan hal, namun, kali ini kepada Michael. Aku tak mengerti sungguh.
Menit demi menit, jarum-jarum di jam terus berdetik, dan kini kecemasanku sudah berada pada batas maksimumnya. Aku memaksakan diri untuk bangun, ketika aku mengangkat kepalaku, rasa sakit pada leher diikuti nyeri di kepala mulai menyerang. Namun, kuputuskan untuk tak menghiraukan rasa sakit tersebut dan berjalan keluar kamar.
Hening, sepi. Satu-satunya yang terdengar adalah suara langkah kakiku menuruni tangga. Ketika sampai di bawah, aku membawa diriku ke dapur terlebih dahulu untuk meneguk segelas air.
"Ah, lebih baik." Setelah tegukkan yang terakhir, aku menyimpan gelas tersebut dan duduk di sofa sebentar.
"Aku bahkan tak tahu harus kemana," gumamku sendiri. Benar, aku tak tahu harus kemana. Aku tak punya mobil, terakhir kali mobilku digunakan oleh hal. Namun entah mengapa, mobilku menghilang. Polisi pun sedang berusaha mencari mobilku dengan melacak nomor polisnya, namun belum terdengar kabar apapun soal mobilku sampai saat ini.
Setelah cukup lama berfikir, akhirnya kuputuskan untuk menaiki taksi. Kebetulan aku punya beberapa dolar di saku jaketku, dan hari belum terlalu larut. Aku pun berdiri dan berjalan keluar dari apartemen.
Udara yang cukup dingin membuatku menggigil. Jaket yang kukenakan sekarang rupanya tak cukup untuk menjaga suhu tubuhku agar tidak kedinginan. Kini aku berada di samping jalan, menunggu taksi yang kosong untuk lewat dan menyetopnya.
Jalanan cukup sepi dan sudah 10 menit aku berdiri disini namun tak satupun taksi lewat sini. Aku mulai frustasi. Aku tak tahu lagi harus bagaimana jika rencanaku gagal. Aku tak punya plan B. Putus asa, aku pun berbalik untuk kembali ke apartemen. Samar-samar, kulihat seseorang dengan hoodie hitam seperti yang Michael kenakan tadi. Sontak aku berjalan menghampiri seseorang tersebut,
"Michael!!!" Teriakku spontan. Ketika orang tersebut membuka hoodienya, aku mulai tersadar bahwa orang itu bukan Michael. Tapi,
Dia adalah Ashton.
"Ash?" Aku mengernyitkan keningku sambil terus menatapnya.
"Apa yang kau lakukan disini cassy? Kau seharusnya istirahat," ujar ashton. Wajahnya menyiratkan kecemasan dan keringat bercucuran dari pelipisnya. Aku menatapnya kebingungan.
"Aku mencari Michael. Temanku. Apa kau melihatnya?" Tanpa berbasa-basi aku langsung bertanya soal Michael.
"Kenapa kau bertanya padaku? Kau pikir aku tahu?"
"Aku hanya pikir karena kau lewat sini, kukira kau melihatnya." Sudah cukup. Ada yang tidak beres dengan Ashton.
Ashton hanya terdiam, tanpa mengucapkan apapun, aku melanjutkan langkahku untuk kembali ke apartemen. Namun, tangan Ashton yang cukup besar menahan pergelangan tanganku. Otomatis aku berbalik menatap ashton.
"Kau marah padaku?"
"Marah? Untuk apa aku marah? Aku hanya lelah berdebat dengan siapapun, termasuk dirimu. Karena tujuanku kemari untuk mencari Michael, bukan berdebat," tukasku.
"Oh, baiklah." Ashton mengambil nafas. "Kurasa Michael sudah pergi."
"Pergi? Apa maksudmu?" Detak jantungku kembali meningkat. "Oh, dan bisakah kau melepaskan tanganku?"
"Oh, sorry." Ashton melepaskan tanganku. "Kau mungkin tak akan percaya, tapi lihatlah ini." Ashton mengambil ponsel miliknya dan menunjukanku sebuah foto.
Aku membeku tak percaya. Keringat dingin mulai percucuran dari pelipisku. Mulutku terkunci tak berkata-berkata.
"Ash, kau tak bercanda bukan?" Nada ketus dan amarah benar-benar tak tertahankan.
"Setelah foto ini? Tentu tidak. Kau tahu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada banyak noda darah dan garis polisi di dekat walmart." Ashton tersenyum santai.
Seketika aku lemas dan ambruk di pelukan ashton. Aku menangis sejadi-jadinya dan ashton merangkulku.
"Tak apa cassy, keluarkan saja." Nada bicara Ashton yang santai mulai membuatku sedikit curiga.
"Kau tak sedih? Bukankah Michael adalah temanmu juga?" Ujarku disela tangisan.
"Oh..aku?, ya maksudku, tentu. Aku pun sedih. Tapi kita harus merelakan dia pergi bukan?"
Aku pun mengangguk pelan dan tersenyum kecil.
"Baiklah, kau benar ash. Terima kasih," ucapku sambil menghapus air mata di pipiku.
Ashton tersenyum dan membawa tangannya ke pipiku. Ia menatapku namun aku tak membalas tatapannya.
"Lihat aku cassy," ujarnya. Aku pun menatap ashton dengan mataku yang masih diliputi air mata. "Kau harus merelakan kepergian mereka, kematian Michael, Hal dan Luke bukan kesalahanmu, sungguh, tapi jika kau membutuhkan seseorang untuk kau sandari, ketahuilah, aku akan selalu ada untukmu."
Bibir ashton yang tersenyum tipis kini bertautan dengan bibirku. Ia menciumku tanpa berkata-kata. Perasaan ini membawaku ketika hari itu, luke menabrakkan bibirnya dengan bibirku untuk pertama kalinya. Sama persis, sensasi lipring dinginnya bahkan masih terasa. Luke, sungguh, aku mencintaimu.
Tapi kenyataan berkata lain, ini bukan luke, bukan sensasi lipringnya, ini ashton. Aku mencium ashton. Atau mungkin lebih tepatnya, ashton menciumku. Dengan cepat aku mengambil langkah mundur, melepaskan tautan antara bibirku dengan bibir ash.
"Cassy..sungguh, maafkan aku..aku tak sengaja sungguh.." Ashton terlihat kaget. Aku terdiam, hembusan angin malam semakin kencang diikuti suara petir yang memekakkan telinga. Aku menatap ashton lekat-lekat, tak ada perasaan bersalah tersirat dari cahaya matanya. Aku sudah menduganya.
"Kenapa kau lakukan itu ash?" Nada datarku mulai mengambil alih.
Ashton mengernyitkan keningnya dan menatapku kebingungan. "Apa maksudmu cassy?"
"Kau tahu pasti apa yang kumaksud."
Ashton mengalihkan pandangannya sesaat, dan memasukan kedua tangannya ke saku hoodie-nya. Ia mencoba terlihat untuk tetap tenang.
"For the love of god, cassy. Aku sama sekali tak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Benarkah? Lalu tunjukan apa isi sakumu."
"Apa-apaan kau ini cassy?" Kini ashton mulai meninggikan oktaf suaranya membuatku terdiam dan menatapnya dengan penuh intimidasi.
"Kau tahu semuanya ash, benarkan?" Aku mengangkat sebelah alisku dan tersenyum.
"Oh! Jadi siapa kau sekarang? A psychic?"
Suara petir kembali terdengar dan kilat-kilat mulai menggores langit malam. Sebuah pertanda yang tak biasa. Kini aku menatap ashton, ia membalas tatapanku dengan tajam. Kini jarak diantara kami terpaut cukup jauh.
"Lupakan ash. Kau tahu bahwa ini belum selesai. Tapi ingat kata-kataku, jangan temui aku, jangan bicara padaku, jangan hubungi aku.." Aku berjalan mendekatinya. "Dan satu hal yang paling penting.." Aku menghela nafas. "Jangan pernah berharap kau dan aku, atau kita, akan menjadi sesuatu. Satu hal yang harus kau tau, Ash. Bahwa aku mencintai lelaki dengan mata biru yang terindah dan lipring dingin setiap ia menciumku. Dan lelaki itu adalah Luke. It's him. It's always been him."
Kalimat terakhir yang bisa kuucapkan kepada Ashton, sebelum aku berlari menyebrang jalan dan membiarkan Bus Sydney menghempaskan tubuhku, dengan kata-kata terakhir yang kuucapkan,
"Luke, we'll meet at heaven."
The end.
-------------------
Gosh, thanks everyone! Finally i've completed this story after a year lol. Sorry i had to make tragic ending, luv u all!❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is My Boyfriend [L.H Imagine]
FanfictionAfter being separated for almost 15 years, finally you met him at a cafe, since that day, your life is change and he makes your world more colorful,painful, and stressful than before. ⚠ TRIGGER WARNING ⚠ THIS STORY CONTAINS NASTY MURDER SCENE, PYSCO...