***Aku menatapnya lemah, menelisik di sela keremangan. Memandang takjub rupa yang senantiasa membuatku nelangsa. Minim kasih, juga cinta.
Dia... Abi.
Seorang pemuda yang di buang keluarganya. Seorang anak yang dulunya begitu di harapkan, namun di campakkan dengan alasan yang tak masuk akal. Seorang laki-laki yang tumbuh dalam dinginnya kasih sayang. Abimanyu menjelma bak seorang jenderal pesakitan yang terus di rundung duka akibat kekalahan pasukannya.
Dan aku terus memperhatikannya.
Melihatnya menangis diam-diam di halaman belakang sekolah. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-11, ia berkata tak seorang pun memberinya ucapan selamat. Ayahnya telah meninggal. Dan semua orang di lingkungan kami mengetahui, bahwa ibunya kehilangan kewarasan.
Dan ia memintaku tuk tinggal.
Tetapi aku tak bisa tinggal sesuai yang ia minta. Aku harus bergegas kalau tak ingin bernasib serupa. Walau keadaanku pun tak jauh berbeda dengannya. Namun paling tidak, akan ada yang membentakku jika tak pulang sekarang juga. Atau memakiku, bahkan tak jarang memberi tamparan ketika apa yang kuperbuat tak sesuai dengan yang ia harapkan.
Setidaknya ada seorang Adik yang menungguku.
Menghapus sisa rembesan air mata, kusapukan usapan lembut di kepalanya. Berdoa pada Tuhan, agar berbaik hati membiarkannya tidur tanpa ketakutan. Berharap malam ini tak akan ada mimpi buruk yang datang mengganggu tidurnya.
Dia sendirian. Dan dia kesepian.
'Tolong jangan tinggalkan aku.'
Air mataku kembali menetes mengingat permohonannya.
Abi sendirian.
Tetapi aku harus tetap meninggalkanmu. Batinku berbisik lirih, berharap suara batin ini sampai ke lubuk hatinya.
"Aku nggak bisa tinggal, Bi..."
Sudah cukup aku menikmati dinginnya tatapan papa padaku setiap harinya. Aku pasti tak sanggup jika menerima kemurkaannya demi seorang laki-laki yang terbuang. Itulah pemikiran papaku.
"Maafin aku, Bi."
Paling tidak jangan membuatnya malu. Begitulah ultimatum yang selalu di katakan Papa kepadaku.
"Aku nggak bisa tinggal."
Besok adalah hari kematian Ayahnya. Juga awal mula dari kegilaan yang menimpa ibunya. Abi selalu berpikir hari itu adalah hari di mana Tuhan membuka pintu neraka kepadanya.
Melangkah dari kamarnya, aku menyusuri tempat di mana aku meninggalkan tas beserta ponsel tadi. Meraih dua benda krusial itu, aku mempercepat langkah saat melihat sudah nyaris dini hari.
Aku siap mendengar makian lagi.
Baru akan membuka pintu, namun bunyi 'klik' dari luar membuatku mundur teratur. Abi tinggal di sebuah flat sederhana, dengan jalur keluar-masuk ketempat tinggalnya yang sangat mudah. Jadi tak heran, jika siapa saja bisa memasuki tempat ini kapan pun mereka mau.
Ya, sama seperti sekarang.
Ketika retinaku menemukan pemuda seumuran Abi dengan jaket kulit hitam dan tangan menenteng helm. Aku mengenal laki-laki ini.
Menyembunyikan keterkejutan, aku berusaha menunduk, walau aku tahu mata membulat dari teman Abi ini merupakan reaksi wajar darinya, saat melihatku berada di sini.
Itu satria.
Dan Abi menyuruhku menghindari pemuda ini.
Tak ingin memulai sesi tanya jawab, aku berusaha tampil tak tahu malu. "Permisi," kataku melewati sosoknya. Lalu debaman pintu membuatku memutuskan menyandarkan diri sejenak pada tembok.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Taste
General FictionSeperti namaku, faktanya aku adalah anak dari wanita kedua dalam hidup Ayah. Walau ibuku tetaplah satu-satunya istrinya sampai ia meregang nyawa. Tapi cinta Ayah tak pernah ada untuk ibu dan untukku, kemudian aku muak menjadi anaknya. ==Abimanyu Pu...