Bab 21 : Langkah Abi

46.1K 4.7K 381
                                    

"Jadi gimana, Bi?" Arkan akhirnya memecah keheningan diantara mereka. setengah mati menahan diri agar tak berteriak untuk menumpahkan kekesalannya, Arkan benar-benar menjaga intonasi suaranya kali ini.

Abi masih tak merespon. Pandangannya kosong, walau kini ada selipan asap diantara kedua belah bibirnya.

"Rasanya gue pengen cincang-cincang orang." Gilang mendesah jengkel.

Masih belum memberi respon, Abi duduk lesu di sofa usang basecamp-nya. Tangannya menjepit rokok, sementara pandangan matanya menerawang jauh. Ia sudah lama tak menyentuh benda berbau nikotin ini, tetapi hari ini adalah pengecualian. Ia bahkan berencana untuk mabuk semalaman andai tak teringat bahwa kini ia tinggal bersama Riza di rumahnya.

Satria yang biasa selalu berceloteh asal pun mendadak senyap, seolah mengerti, Abi memang membutuhkan waktu tuk sendiri dengan dunianya dulu. Ia masih menunggu Abi yang membuka suara. Lalu melaksanakan apapun yang keluar dari mulut pria malang itu.

Formasi mereka memang sedang tak lengkap. Fattan harus berangkat ke Semarang karena sepupunya menikah. Tapi walau begitu, mereka tetap bisa membunuh beberapa orang sekaligus. Apalagi jika hanya menghabisi orangtua renta tak tahu diri. Cih! Mereka lebih dari sekadar mampu.

Remuk. Itulah yang Abi rasakan sekarang ini. Namun anehnya, remuk ini tidak membuatnya menjadi lemah, namun lebih mengarah pada muak yang mendera.

Abi ingin mengumpat dalam hati, namn rasanya, makian saja tak bisa sekadar menuntaskan risaunya. Ia butuh pelampiasan murka. Dan ia memerlukan samsak hidup. Jadi ia enggan menyakiti tangannya bercumbu dengan tembok.

Hah, entahlah, Abi hanya tahu kedua orangtuanya tak pernah menyayanginya sebesar ia menyayangi mereka. Namun Abi tak menyangka kalau Tuhan pun demikian tak suka padanya. Hingga kesialan bertubi-tubi ini datang lagi.

Ini sudah jam delapan malam, padahal Abi berencana pulang ke tempatnya sebelum jam lima sore sesuai rencananya saat meninggalkan Riza pagi tadi. Tapi mendadak keinginan itu menguap, seiring dengan kenyataan yang ia peroleh pada siang harinya.

Tuhan memang Maha pembolak-balik segalanya. Sumpah, Abi tak akan menyangsikannya lagi.

"Bisa nggak sih kita cari pengacara lain?" Arkan bertanya hati-hati. Tak ingin membuat Abi kalap dan menendang meja jelek itu. "Lo punya kenalan pengacara 'kan, Sat?" tanyanya beralih kepada Satria yang tengah bersandar di salah satu tembok dengan mulut mengepulkan asap.

Satria yang menemani Abi seharian ini. Dan dari Satria pula mereka tahu kronologis sungguhnya mengapa Abi rela membeli rokok kembali.

"Mau ngapain ke pengacara kalau Sertifikatnya nggak ada?" Satria tertawa kecil. Menatap miris Abi yang tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. "Sumpah, baru kali ini rasanya gue pengen nyekek nenek-nenek." Satria melempar puntung rokoknya kesal. "Nenek lo anjing, Bi!" makinya setelah memukul tembok.

Geram sekali pada nasib yang menimpa Abi.

"Gue pengen gila sekarang rasanya." Satria meracau dengan emosi tinggi. "Iya, pengen gila gue. Biar bisa ngebakar rumah nenek babi itu tanpa rasa bersalah! Setan!" raungnya kembali.

Satria mungkin sering dikatakan tak punya otak jika sudah berkelakar. Namun, bagaimana pun juga, dia masih punya hati. Ia bisa merasakan kemelut yang bersarang di otak temannya itu. Bagaimana kecewanya Abi setelah mendengar dari pengacara Ayahnya, kalau ternyata rumah yang berada di kawasan Cibubur itu telah lama di jual. Padahal, cuma itu satu-satunya yang Abi punya untuk bertahan hidup dan pegangan sebelum ia memperoleh penghasilan.

Abi sudah punya rencana matang dengan rumah yang akan ia jual tersebut. Sudah menyusun dengan rapi, ke mana alokasi hasil penjualan itu akan berlabuh. Salah satunya adalah membeli rumah mungil, untuk tempat tinggalnya dan Riza. Lalu sebagian lagi akan ia tabungkan untuk biaya persalinan calon anaknya. Lalu rencana tersebut hanya akan berakhir menjadi agenda belaka.

One More TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang