Bab 8 : Mama ...

50.8K 5.9K 331
                                    

Abi tidak pernah tahu apa itu cinta. Ia tak pernah menginginkan hal itu. Sebab yang ia tahu, cinta kerap tak membuat para pemainnya bisa hidup bersama. Untuk itulah, Abi hanya menginginkan seseorang yang menyayanginya. Berada terus di sisinya, Abi letih ditinggalkan. Jadi ia menginginkan seseorang yang bisa tinggal.

Tetapi ternyata, Ariza tidak bisa melakukan itu.

Wanita tersebut memiliki tempat tinggal sendiri. Bersama laki-laki yang memiliki status bersamanya. Tidak seperti dirinya. Anggaplah ia halte, yang akan di datangi sesekali. Walau kegunaan halte cukup penting, tetapi bukan sebagai kebutuhan utama.

Dan sekali lagi Abi sadar, bahwa di dunia ini tak lagi ada yang benar-benar menginginkannya.

Sebagaimana orang tuanya memiliki Abi dalam perkawinan mereka, semata hanya karena tuntutan. Karena menikah harus memiliki anak. Selebihnya, Abi bukan apa-apa selain pelengkap. Bagi ibunya sendiri, kehadiran Abi merupakan pengikat, agar suami wanita itu tak meninggalkannya. Dan untuk ayahnya, Abi hanya seorang anak yang tak sengaja hadir karena kebutuhan.

Seperti itu saja, dan Abi memaknainya dengan begitu dalam.

Simple, namun Abi rasa, ia bisa bunuh diri kapan saja. Semenjak menyadari tak ada lagi sandarannya untuk menopang hidup.

Ibunya merupakan anak tunggal, sementara kakek Abi dari pihak ibu sudah meninggal. Tinggal sang nenek yang sekarang telah menetap di Malaysia. Dan untuk biaya kuliah dan hidup Abi di Indonesia, Abi mendapatkannya dari asuransi pendidikan yang memang dibuatkan Panji—ayahnya sedari Abi lahir. Mungkin laki-laki itu tahu, bahwa umurnya memang tak panjang. Jadi dengan persiapan matang, ayahnya itu sudah mempersiapkan segalanya untuk Abi.

Dan sekarang, semuanya berguna. Namun biaya pertanggungan itu hanya sampai ketika ia wisuda nanti. Selebihnya, Abi harus menopang hidupnya sendiri.

Jangan harapkan keluarga ayahnya, sebab mereka sudah benar-benar memutuskan hubungan dengan Abi, semenjak ibunya resmi menjadi pasien di salah satu rumah sakit jiwa di daerah Jakarta Selatan.

"Bi ..."

Mata ABi yang keruh langsung memindai ke depan. Mengenali sosok wanita yang bersandar lemah di dinding Flat-nya. Mata wanita itu memerah, sementara rautnya tampak kesakitan. Hal kesekian yang langsung membuat jantung Abi berdegup tak karuan.

Wanita itu bukan Riza.

"Mbak?"

Namanya Arwen, salah satu dari sedikit manusia di muka bumi ini yang menganggapnya manusia. Menyayangi Abi bagai adiknya sendiri. Padahal wanita itu sangat asing. Abi hanya mengenalnya beberapa tahun belakangan ini. Semenjak dokter yang menangani ibunya dipindah tugaskan ke daerah Kalimantan. Dan Arwen yang mengambil tanggung jawab itu. Dan kepribadian Arwen yang hangat, membuat Abi memutuskan, bahwa Arwen berhak mendapatkan pengecualian dari banyak orang yang ingin ia acuhkan.

Dan kedatangan Arwen malam ini ...

Abi tahu ada yang tak beres. Bahkan saat Arwen berjalan ke arahnya, Abi bisa melihat mata wanita itu berkaca-kaca dan ingin menangis. Abi menguatkan hatinya. Membentengi dengan banyak rantai dan gembok, agar satu-satunya perasaan yang ia punya tak hancur. Firasatnya tak baik.

"Hape Abi kenapa?"

Abi langsung merogoh sakunya. Lalu mengumpat kecil ketika mendapati ponselnya masih dalam keadaan mati. Ia menghindari Riza seharian tadi. Bahkan memutuskan mematikan ponsel hanya karena kesal dengan perempuan itu.

Ia cemburu. Oke, Abi iri. Ia ingin menjadi yang pertama, tetapi bahkan Riza sekalipun tak akan pernah membuatnya merasakan menjadi yang utama.

"Mbak cari Abi ke mana-mana." Serak dari suara Arwen membuat Abi lemas. Ia meneguk liurnya sendiri, menguatkan hati, bahwa pasti ada kabar yang dibawa wanita ini. "Bi ..." tangan Arwen menyentuh wajahnya, lalu Abi tercekat saat air mata pertama meluncur mulus dari mata Arwen.

One More TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang