***Tidak selamanya cerita akan berakhir bahagia. Ada yang lebih hidup jika tanda tanya menggantung di udara. Sebab, kadang pertanyaan memang tidak harus di beri jawaban.
Tapi bagi Riza, ia membutuhkan jawabannya. Harus ada yang menjawab semua pertanyaan yang berada di kepalanya. Seperti contohnya, kapan hari ini akan berakhir? Atau paling tidak, kapan acara ini selesai?
Ya, kini ia sedang berada di Bandung. Mengikuti serangkaian kegiatan dari acara panjang yang dimiliki ayahnya. Sementara ponselnya, tertinggal di hotel sejak pagi tadi. Bukan apa-apa, Riza benar-benar resah tidak memegang ponselnya sekarang. Padahal seluruh keluarganya berada di sini. Termasuk adiknya dan juga sesosok pemuda yang berstatus sebagai kekasihnya, Raffa.
Namun hal itu tetap tak bisa membuatnya tenang.
"Kata papa kita boleh makan siang di luar." Raffa berdiri di sebelahnya, mengenakan batik seperti yang di kenakan Ayah dan juga Varo. "Mau makan di mana kita?"
Riza menatap resah. Namun pemuda itu memamerkan lesung pipi manis di kedua belah pipinya. Biasanya Riza akan luluh dan membalasnya dengan senyuman kecil, tetapi hatinya sedang tak baik sekarang. Jadi itu belum cukup untuk menentramkan jiwanya. "Balik ke hotel dulu bisa?" ragu ia mengutarakan keinginannya. "Hapeku ketinggalan, Raf. Makanya mau ngambil dulu."
"Nanggung kalau mesti ke hotel lagi, Ri. Soalnya, kata papa kamu kita mesti ke sini lagi abis makan siang." Penjelasan Raffa sama sekali tak dapat membantunya. "Kamu mau ngubungin siapa? Ini pakai hapeku aja dulu." Tawarnya sambil menyodorkan ponsel.
Dan Riza menggeleng. "Nggak usah," ia menolak. "Cuma tadi kepikiran aja, hapeku di hotel atau gimana. Ketinggalan soalnya."
Ia ingin menghubungi seseorang memang. Tetapi tak mungkin memberitahu Raffa siapa yang hendak ia hubungi.
Dan Abi juga bukan pria bodoh yang tak menyadari nomor siapa yang akan ia pakai untuk menghubungi pria itu. Entahlah, Riza hanya merasa perlu menjaga hati Abi. Tak ingin pria itu salah sangka, walau sekarang entah apa nama hubungan mereka.
"Ya, udah, yuk makan siang dulu."
Tapi ia hanya ingin ponselnya. Hanya butuh benda tipis itu sekarang juga.
Firasatanya mengatakan kalau Abi pasti mencarinya. Dan menghubungi Riza pasti adalah cara pertama yang dilakukan pria itu setelah tak mendapatinya di kampus. Dan sekarang Riza ingin melihat berapa jumlah missed call dari nomor yang telah ia hafal itu.
Varo menghampiri mereka bersama Raina. Meninggalkan Reyhan yang masih sibuk berbincang dengan rekan-rekannya yang lain.
"Mau ke mana? Makan ya?" Raina langsung mengamit lengan Riza. "Ikut sekalian ya, Mbak?"
Riza tersenyum walau kaku. "Iya, sekalian aja." Ia mengerling pada Varo yang menatapnya curiga. "Tapi kalian duluan aja ya, nanti Mbak nyusul." Lanjut Riza mengabaikan pelototan kakak sepupunya itu.
"Lho mau ke mana ih, Ri? Beneran mau balik ke hotel dulu?" Raffa berkata dengan nada yang menyiratkan ketidak setujuan.
"Iya, bentaran aja kok Raf." Ia melepaskan lengan Raina yang melingkari lengannya. "Mas Varo, aku ke hotel bentar ya?"
"Mau ngapain?" tanya Varo dingin.
"Ambil hapeku, bentar aja kok, nanti aku langsung nyusul ke tempat makan." Lalu tanpa menunggu persetujuan yang lainnya, Riza berlari menuju pintu keluar.
Mengabaikan panggilan Raffa dan yang lainnya. Riza tak bia tenang sebelum mendapatkan alat komunikasinya yang tertinggal, akibat kecerobohannya sendiri. Keresahannya butuh penawar agar tenang. Walau obat yang paling mujarab adalah bertemu langsung dengan Abi, tak mengapalah jika ia harus mencari penawar sementara. Dan itu ada pada ponselnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
One More Taste
Narrativa generaleSeperti namaku, faktanya aku adalah anak dari wanita kedua dalam hidup Ayah. Walau ibuku tetaplah satu-satunya istrinya sampai ia meregang nyawa. Tapi cinta Ayah tak pernah ada untuk ibu dan untukku, kemudian aku muak menjadi anaknya. ==Abimanyu Pu...