Bab 9 : Kenangan Masa Silam

45.5K 5.8K 326
                                    


*** 

Bunuh diri.

Membunuh diri sendiri. Bukan karena Tuhan mencabut nyawanya. Tapi dia sendiri yang mengambil nyawanya.

Dan untuk manusia-manusia yang tak menghargai hidupnya sendiri, pantaskah kini Abi menangisi karena matinya?

Hah, lucu sekali.

Tetapi yang lebih aneh lagi, Abi sudah seperti tak bisa bernapas, ketika tubuh ibunya mulai tertutup tanah. Ia sendiri tak tahu, dunia seperti apa yang akan menyambutnya setelah ini. Abi hanya tahu, bahwa pekat kesendirian membayang abadi. Hingga ia percaya, mati pun akan sendiri nanti.

Abi berusaha bangkit, lalu menyadari, untuk apa semua itu ia lakukan. Ia tak punya siapapun. Sendiri dan terkungkung sepi.

"Abi," sentuhan rentah di lengannya membuat Abi menoleh dan harus menurunkan pandangannya. Rambut memutih milik wanita tua itu membuat kran air mata Abi bercucuran. Tanpa membuang waktu, Abi melipat kakinya, kemudian membenamkan kepalanya pada tubuh kurus milik satu-satunya keluarga yang mau mengakuinya.

"Oma," bisiknya tercekat. Lalu menangis hebat saat merasakan sapuan di puncak kepalanya. Sudah berapa tahun lamanya ketika tak seorangpun memeluknya begini. "Oma," Abi benci ketika menjadi lemah. Abi tak suka orang menganggapnya cengeng. Tetapi kali ini adalah pengecualian. Abi ingin menjadi balita lagi. Ketika ia hanya tahu bahwa ia disayang dan dicinta.

"Ada Oma, Bi. Abi nggak sendiri."

Itu semua bohong.

Nanti pun Abi pasti akan sendiri.

"Oma juga bakal ninggalin Abi 'kan? Abi sendirian." Neneknya mengidap penyakit kelenjar getah bening. Itulah sebabnya sang nenek memutuskan untuk menetap di Malaysia. Neneknya menjalani terapi di salah satu rumah sakit bergengsi di negeri tersebut. "Selamanya Abi sendirian, semuanya ninggalin Abi."

Rahma, nama nenek tersebut. Mengucurkan air mata, dan menghadiahi kecupan-kecupan sayang di atas kepala Abi. Nelangsa ditinggal puteri semata wayangnya menghadap Illahi sudah membuatnya mati rasa. Dan kini, ia harus dihadapkan oleh kenyataan pada kesakitan yang membelenggunya cucunya, membuat sesak bertubi-tubi itu datang.

"Oma nggak akan ninggalin, Abi."

"Bohong!" Abi meraung. Ditatapnya sang nenek yang berada di atas kursi roda. Matanya sudah penuh dengan air mata, tapi Abi masih bisa melihat bahwa neneknya semakin tua. Dan kapan saja, Tuhan bisa mengambilnya. "Semuanya ninggalin Abi, Oma. Semuanya." Tercekat oleh air mata, Abi merintih memukul dadanya. "Kenapa mereka nggak mau bawa Abi sekalian? Mereka nggak pernah sayang, Abi. Bahkan mati pun, mereka nggak mau ngajak Abi."

"Abi! Semua sayang Abi, nak."

"Enggak! Mereka semua ninggalin Abi. Oma juga bakal ninggalin Abi. Lalu buat apa Abi ada di sini?!" Tak peduli pada pelayat yang masih berada di pemakaman, Abi meraung mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya.

Ia pernah ditinggalkan ayahnya, lalu dibuang, hingga kini, Abi kembali merasakan bagaimana kematian melenggang di depannya. Dan kali ini, ibunya yang direnggut darinya. Satu-satunya harapan Abi yang tersisa. Dulu ia selalu berharap bahwa suatu saat nanti ibunya akan sembuh. Akan kembali memeluknya. Memasakan sop jamur kesukaannya. Lalu menyelimutinya kala malam. Dan mendekapnya saat petir bergemuruh di langit.

Tetapi sekarang?

Tanah telah menelan satu-satunya asa yang ia punya. Taburan di atas tanah tersebut merupakan pertanda, bahwa ibunya tak akan pernah ia jumpai lagi. Tak akan ada pelukan diam-diam yang Abi lancarkan saat ibunya tertidur dibangsal pesakitan. Tak ada pundak yang pelan-pelan akan ia sandari saat ibuny sibuk berceloteh mengenai dunia yang tak dimengerti Abi.

One More TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang