Bab 10 : Kami ...

55.6K 6K 531
                                    

*** 

Riza berlari membelah kerumunan. Ia mengayunkan kaki, mengejar ketinggalan yang semakin membuat dadanya sesak. Air mata menggenang di pelupuknya. Sementara sukmanya, menggigil ketakutan. Ia ingin mengubur dirinya kalau bisa. Atau lebih memilih terbawa arus saat ini juga.

Please ... batinnya terus merintihkan permohonan. Meminta bahwa Tuhan memberinya waktu tuk mengejar. Kali ini, tolong, ia tak mau ketinggalan lagi.

Ia tak bisa tertinggal.

Please ...

Kantin Fakultas Teknik bukanlah tempat yang ingin ia kunjungi. Tapi ke mana lagi ia harus mencari informasi selain tempat ini?

Matanya yang mengabur karena air mata, dipaksa untuk memindai orang-orang yang berada di sana. Menahan diri agar tak langsung menangis, Riza mengeratkan rahang, saat sekumpulan pria yang memang ia cari, langsung menatapnya.

Riza tak membuang waktu lagi. Ia kembali berlari, walau tubuhnya mulai letih. Ransel di punggung, memberatkan langkahnya. Tetapi ia tak peduli. Ia butuh jawaban. Ia harus tahu. Dan yang paling penting, ia perlu kejelasan agar cepat mengambil sikap. Hal ini, tak boleh ditunda lagi.

"Kenapa lo nggak bilang sama gue, Kan?" Riza langsung menghardik Arkan begitu tiba di sebelah pemuda tersebut. Menuntut pemuda itu dan akan menyalahkan setelahnya. Napasnya terengah, ia ingin minum, namun bukan di sini.

Tetapi si pemuda yang dituju Riza malah membuang napas jengkel. Sambil mengedikan bahunya, ia kembali menyesap minuman. Tak peduli sepenuhnya pada perempuan bertampang sendu yang berdiri di samping meja.

"Duduk deh, Ri. Malu gue jadi pusat tontonan." Gilang berseru, namun pandangannya masih menempel pada ponsel yang sedari tadi ia genggam.

Riza tak mau duduk.

"Lo kenapa sih, Ri? Datang-datang resek. Perasaan kita nggak kenal-kenal banget deh, kok lo malah ke sini?" Fattan melipat tangannya di atas meja. Menatap Riza dari atas ke bawah dengan seksama. "Lo mau apa?"

"Abi," bibir Riza bergetar saat mengatakannya. Air mata yang ditahannya tumpah. Tapi buru-buru ia hapuskan.

Arkan mendengus kuat-kuat. Ia memang tak menyukai Ariza. Tak peduli bahwa perempuan ini pernah hampir menjadi target mereka. "Udah gue bilang, urusan lo sama dia udah selesai. Nggak usah ngedrama deh, tivi Korea udah penuh sama drama-drama. Jadi nggak usah lo tambah."

Riza mengabaikan sarkasme Arkan. "Kenapa lo nggak bilang kalau nyokapnya meninggal? Kenapa lo nggak ngasih tau gue, kalau—"

"Lo siapanya, hah?!" Arkan mematahkan kicauan Riza yang menurutnya tak penting. "Neneknya lo? Tantenya? Istri? Hah, lo cuma pacar orang yang nggak sengaja ditaksir dia doang."

Ariza terdiam.

Pada bagian ini, hatinya telah jatuh ke dasar. Meninggalkannya dengan pemahaman baru, bahwa ia memang bukan siapa-siapa untuk Abi.

"Berhenti ngerasa sok peduli sama dia, Ri. Kasian dia, kalau cuma lo anggap bayangan aja." Terkadang, mulut pedas Arkan ini ada benarnya juga. "Dia udah nggak punya siapa-siapa lagi. Jadi jangan sampai harapannya pergi ninggalin dia juga hanya karena perhatian kecil lo kayak gini. Mending lo ngejauh deh, ada lo juga makin sulit buat dia."

Ia tak bisa.

Ia tak boleh menjauh.

Tetapi kebenaran yang dipaparkan Arkan membuat Riza mati kutu. Bimbang karena sampai sekarang pun ia masih bingung mengambil sikap. Ia ingin Abi, keluarganya menginginkan Raffa.

Dan ini ...

Riza meremas bagian bawah kemejanya. Membuat bagian tersebut kusut. Ia harus mengambil keputusan. Namun Abi harus tahu. Ia ingin mendiskusikannya dengan pria itu. Mencari jalan keluar berdua. Tapi Abi tidak ada. Pria malang itu entah berada di mana. Riza mendengar kabar kematian ibunya Abi dari Violin pagi tadi. Itu pun karena obrolan random mereka. Yang tiba-tiba saja, Violin menyeletuk, bahwa beberapa hari yang lalu, ia menemani ibunya untuk melayat. Dan masih kata Violin, Abi benar-benar terlihat kacau hari itu.

One More TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang