Bab 3 : Abimanyu Putra Respati

92.9K 7.3K 362
                                    


Aku tak punya persepsi apa-apa tentang kehidupan. Bagiku selama Tuhan masih memberiku napas, berarti aku masih layak berada di bumi. Walau aku tak tahu apa gunaku di tempat ini.

Well, ya... Aku berada di kandungan ibuku, lalu Tuhan membisikan sesuatu tentang jalan takdirku. Dan sialannya aku tak sempat merekamnya, jadi aku tak pernah tahu apa yang menantiku di depan sana.

Terkadang aku berpikir, Tuhan akan berbaik hati dengan membocorkan secara garis besar rahasia takdirku di bumi. Lalu dengan senang hati aku kan coba belajar agar tak selalu gagal.

Seperti ketika aku kembali melihatnya dari kejauhan. Padahal aku tahu, sakit hati dan ketidak relaan selalu membayangiku saat mendapati dirinya sedang bersama lelaki itu.

Cih!

Raffa bangsat!

"Lo yang ngawini tapi nempelnya tetep aja sama anak curut." Satria entah dari mana datang dengan dua kaleng cola dingin di tangannya. Seperti kebiasaan pula ia akan mengeluarkan kata-kata sampah yang tak berguna. "Memang pesona lesung pipi bikin brandalan kayak lo lengser ya, Bi."

Aku mendengus dengan telinga berdenging muak. "Diem, njing." Aku membenci semua obralan brengsek yang senantiasa muncul dari bibir Satria. Dia yang brandalan, aku bukan.

"Lo nyuruh anjing diem pakai desisan, yang ada anjing makin gong-gong, stupid." Kekehnya yang tak mau repot-repot ku komentari. "Tanya deh sama si Riza nanti, pas ngeliat dia di flat lo, gue kayak ngeliat Suzana makan sate tengah malem." Ocehannya terus berlanjut. "Serem, kan peribahasa gue?"

Menoyor kepalanya, aku bergerak pergi meninggalkan pemandangan yang membuatku ingin muntah di sana. "Gembok bibir lo," ucapku malas.

Aku ingat betul bagaimana hebohnya Satria membangunkanku tadi malam. Lalu aku harus rela terhenyak dalam kesedihan yang tak berujung ketika menyadari perempuan yang kuinginkan tinggal tak ada di sebelahku lagi.

Dan baru saja, penolakan itu kembali kuterima.

Sial!

Ya benar, perempuan itu tak bisa tinggal.

Bajingan!

Seharusnya aku tak pernah mengeluarkan permohonan seperti itu. Sebab aku tahu, dia tak akan pernah mau mengabulkannya.

Cih... Najis sekali mengingatnya.

Tetapi jika aku tak mengatakannya...

Hah... Sudahlah, benar kata Arkan, perempuan itu racun dunia.

Dan seharusnya aku sudah kebal dengan berbagai penolakan. 

"Gagal deh ngeliat kulit mulusnya dewi padi." Dengusan Satria membuatku memutar mata. "Abimanyu tuh nandainya Utari, biar punya anak namanya Parikesit. Lha ini si padi, anaknya pasti sawah."

"Anjing... Diem..."

"Gung-gung..."

Kini aku menarik perkataanku, aku tak menyesal memohon kepada Riza. Sekarang aku tahu bahwa penyesalanku atas malam kemarin adalah kedatangan Satria di kediamanku.

Bajingan ini benar-benar bermulut besar. Dan entah apa yang harus aku gunakan untuk menyumbatnya. Satria pasti tak akan pernah berhenti mengoceh.

"Minggir," lebih baik pergi dari sini. Cukup mata dan telingaku yang terkontaminasi. Aku sedang butuh lebih banyak kewarasan sekarang.

"Mau ke mana, Bi?"

Mengabaikannya lebih baik. Jadi aku terus berjalan menuju parkiran.

"Elah, Bi. Gitu aja ngambek." Ia terus mengejarku. Aku tahu itu. "Kantin yuk? Traktir tapi ya? Itung-itung ngerayain nyuci baut tunggal lo semalam." Lalu ia cekikikan. Tawa khas berisi ledekkan. Dan aku mulai membenci hal itu.

One More TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang