Abi menyusuri koridor fakultas ekonomi di sisi kiri gedung fakultasnya. Ia sudah menghubunginya sepanjang waktu, namun yang di hubunginya tak kunjung mengangkat panggilannya. Bahkan sampai sesiang ini. Abi sama sekali tak mendapati keberadaan Riza di mana pun.
Ia jelas tak senang. Makanya Abi memilih menginjak tempat di mana seharusnya perempuan itu berada. Tak peduli cibiran teman-temannya, Abi melangkah tergesa demi mencari tahu keadaan Riza.
Entah kenapa, Abi seolah meyakini bahwa apa yang namanya bahagia, tak pernah bertahan lama dalam hidupnya. Seakan Tuhan tengah memberengut sebal ketika menciptakannya. Maka dari itu apa yang di sebut bahagia enggan abadi berdiri di sampingnya.
Ya, cerita lama.
Dan semua orang meninggalkannya.
Ayahnya meninggal saat ia masih kanak-kanak. Dan tak lama berselang ibunya menjadi gila. Kemudian dengan sisa-sisa kekejaman yang ada, neneknya yang dulu ia cinta dan juga memujanya, berbelok haluan dan mengacuhkannya.
Abi tahu, masih banyak anak yang lebih menderita dari pada dia di dunia ini. Hanya saja, bagi anak-anak yang sudah terbiasa hidup dengan kehangatan, tiba-tiba ia di lempar begitu saja ke kutub yang dingin, tentu rasanya mengejutkan. Dan parahnya, ia di perintahkan tuk terbiasa. Karena itu akan menjadi takdirnya.
"Tis...?"
Akhirnya mulutnya terbuka. Walau bukan nama Riza yang ia ucap, tapi tak mengapalah, toh Tissa merupakan sahabat dari perempuan yang ia cari.
Tissa adalah perempuan modis yang berpenampilan menarik. Rambutnya berwarna cokelat muda dengan ikal bergelombang hasil dari alat kecantikan. Selalu mengenakan sepatu hak tinggi, kabarnya Tissa tak terlalu percaya diri jika berdiri lebih rendah dari teman-teman wanitanya yang lain. Sesuatu yang mengingatkan Abi pada Artemis yang tak suka jika memiliki Kori bertubuh lebih tinggi darinya.
"Apaan?"
Dan satu lagi, Tissa itu judes.
Abi menahan diri untuk tak mengumpat ketika perempuan itu berada di mode sewotnya. Apalagi ketika melirik perempuan di sebelah Tissa. Fix, kini Abi menyesali kenekatannya datang kemari.
Sialan!
Setelah menurunkan harga dirinya, beginilah yang ia dapatkan.
Well, sepertinya hari ini akan berakhir buruk. Abi bisa merasakan hal itu sekarang.
"Apaan, Bi?"
Ketidak sabaran merupakan nama lain dari Tissa.
Setengah menelan gengsi yang biasa ia patok setinggi langit, Abi menarik napas demi mengucap keperluannya. Dan mengabaikan keberadaan perempuan di sebelah Tissa itu pun harus Abi lakukan sesegera mungkin.
"Riza di mana?" tanyanya singkat. Terkesan cepat, mengikuti keinginan hatinya untuk segera melangkah meninggalkan tempat ini.
Tissa mendengus dengan ekspresi wajah yang menurut Abi menjengkelkan. Tapi Abi menahan diri agar tak mengatakannya. Ia butuh informasi. Dan satu-satunya harapan adalah Tissa. Walau hal itu sama saja dengan menggadai jiwanya pada iblis.
Ya, Tissa itu Nagin iblis ular yang penuh bisa.
"Ngapain lo nanya-nanya dia? Mau lo jadiin korban bergilir kelamin kalian?"
Anjing! Abi memaki dalam hati.
Betapa seharusnya ia memang tak usah mendatangi Tissa.
"Kenapa diem? Bener 'kan?" cerca perempuan itu menuntut. "Bilang aja sama temen-temen lo yang penjahat kelamin itu, Riza udah mau kawin. Nikah muda lebih aman sekarang. Nananina-nya jelas sama laki sendiri. Juga terbebas dari penjahat-penjahat kelamin macam kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Taste
Narrativa generaleSeperti namaku, faktanya aku adalah anak dari wanita kedua dalam hidup Ayah. Walau ibuku tetaplah satu-satunya istrinya sampai ia meregang nyawa. Tapi cinta Ayah tak pernah ada untuk ibu dan untukku, kemudian aku muak menjadi anaknya. ==Abimanyu Pu...