Bab 4 : Something Else

72.3K 6.7K 332
                                    


***

Tahu kenapa awan berada di antara langit?

Sebab Tuhan ingin membuat penghalang untuk cinta di antara langit dan bumi.

Tahu kenapa seperti itu?

Karena dalam semesta, memang harus ada cinta yang tak bersama. Seperti cinta langit kepada bumi yang tak bisa bersatu. Sebab jika mereka saling mendekap, dunia dan seisinya pun akan lenyap.

Itulah mengapa Tuhan memberi keadilan pada kuasa-Nya. Dia mampu melihat apa yang tak dapat di perhitungkan umat-Nya.

Dan seperti itulah teori yang kerap di pikirkan Riza dalam benaknya.

Ketidak mampuannya untuk bersama Abi, membuatnya harus menyimpulkan satu hal, bahwa tak selamanya ingin itu harus.

"Dari mana kamu?"

Ia menunduk menatap lantai. Tangannya saling mengait namun tidak juga memberi ketenangan. Ia butuh dukungan, tapi alam dan seisinya hanya buang badan.

"Dari jam dua siang seharusnya kamu sudah berada di rumah. Tapi kenapa baru jam sembilan malam kamu di sini?"

Ada hangat yang menyusup secara tak wajar. Tetapi Riza selalu merindukan hangat macam ini.

Kemarahan sang Ayah hanya bukti lain bahwa pria berkacamata itu mengkhawatirkannya. Paling tidak, tolong biarkan dia berpikir begitu.

"A-ada tugas kelompok, Pa." Alasan klasik yang selalu ia lakukan untuk berbohong. Walau tidak seratus persen efektif tapi cukuplah dari pada tidak memberi alasan.

"Teruskan saja alasan itu."

Riza mengkerut takut. Dalam hati ia meyakinkan bahwa alasan yang seperti itu, tak lagi cukup untuk menjadikannya alibi yang kuat.

"Kamu tau malam ini ada pengajian di rumah, Eyang?" Riza tak berani untuk sekadar mengangguk. Ia diam saja sambil terus memperhatikan kakinya. "Gara-gara nunggu kamu pulang, saya nggak bisa ngikutin acaranya."

Riza sudah membatin, bahwa hal ini akan berakhir buruk.

"Tapi ya sudahlah," pria paruh baya itu melengos dan mengabaikan keberadaan Riza setelahnya. "Varo, kamu kasih tau dia acara kita buat besok."

Lalu seperti kebiasaan, Ayah Riza akan meninggalkannya.

Riza sudah terbiasa hanya menatap punggung lebar itu menjauh. Lebih dari apapun ia sepenuhnya menyadari bahwa hal itu tidaklah terlalu menyedihkan. Karena jauh di luar sana, banyak anak-anak yang jauh menderita dari pada sekadar mengharapkan perhatian penuh sang ayah.

“Ayo… kita naik dulu.” Varo berjalan duluan melalui tangga. “Rania di rumah Eyang, tadi sore di jemput Mas Al. Kayaknya papa-mu abis kena omel sama Tante Sarah,sama Tante Alif juga.”

Riza tersenyum, ia membayangkan bahwa sekarang Rania sedang menyandarkan kepala di bahu Tante Sarah atau pun Tante-nya yang lain.

“Besok ada acara di Yayasan. Semua orang tua murid dan walinya bakal hadir. Kamu juga datang.”

Mereka berada di depan pintu kamar Riza.

“Mas nggak balik ke rumah tante Sarah, jadi kita di rumah aja.”

Varo sendiri adalah tipikal pria perfectsionis yang banyak bicara demi mendapatkan nilai kesempurnaan. Di ibaratkan, sosoknya merupakan asisten masa depan yang akan berpikir dua kali lebih banyak dari manager perusahaan yang memiliki gaji dua puluh dollar semenit. Tipe pria pekerja keras yang akan melihat detail dari apa yang telah di kerjakan anak buahnya.

One More TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang