Prolog

999 28 2
                                    

"Ibu kenapa mau sama ayah, sih?" Tanya seorang anak perempuan berusia dua belas tahun kepada Rumi.

Rumi yang sedang membaca buku pun menoleh.

"Kamu gak akan pernah tau dengan siapa kamu akan jatuh cinta,"

***

Rumi

Aku sama sekali tak menyangka hari itu adalah hari terakhir pertemuan kami. Di tengah derasnya hujan kami meneduh usai dari Timezone. Saat di Timezone sempat kutunjukkan bentuk frustasiku padanya. Aku memainkan bola basket secara kasar, kupukul pula mainan yang mati disana. Aku ingin berteriak tapi yang kulakukan hanyalah bertingkah frustasi.

Devan hanya memperhatikan apa yang kulakukan. Ia diam namun sesekali mencoba mencairkan suasana dengan mengajakku bercanda. Tapi hah, yang benar saja Devan, bercanda disaat seperti ini?!

Tanpa ragu Devan menarik tanganku. Bisa kurasakan hangat jarinya mengusap tanganku sekilas hingga membuatku sedikit tenang. Ya, sedikit. Amat sedikit.

Aku sempat mengajak Devan bermain mobil-mobilan. Tapi kami malah duduk di atas permainan itu tanpa suara. Aku kembali menatap nanar permainan yang tak bergerak dan membenturkan kepalaku pelan ke atas dashboard. Lagi, Devan hanya memperhatikanku. Setelah itu aku bangkit berdiri dan diikuti Devan yang kemudian membalikkan pundakku dan menahanku di pojok permainan yang mati.

"Kamu jangan dingin jadi cewek." Katanya.

Aku menunduk. Tak tau apa lagi yang kurasakan. Tadi siang ia memutuskan untuk mengajak kami break sebelum ia pergi ke stasiun untuk menukar tiket kereta api menuju Jogja.

Aku kesal. Ia pergi mendadak dan hanya berdua dengan temannya. Liburan, katanya. Tapi apa serunya hanya berdua? Dan, apa yang sebenarnya kamu cari di sana? Ia memang sempat mengajakku tapi yang benar saja pergi ke Jogja secara mendadak di tengah kerjaan yang menanti? Lagi pula memangnya ibuku akan memperbolehkan? Aku sangat yakin jawabannya adalah tidak.

Aku kesal. Kekesalanku tak hanya itu. Sepulang menonton film, tiba-tiba kurasakan ada jarak yang ia bangun. Ada tembok yang berusaha ia kokohkan untuk membatasi antara aku dan dia. Seakan-akan kami tak ada lagi.

Setiap kali ia pergi bermain dengan teman-temannya yang kurasakanpun hanyalah kehampaan. Tapi kucoba untuk tetap kubiarkan dia bermain karena entah kenapa aku yakin ia akan 'pulang', ia akan kembali bersamaku.

Hingga pada suatu sore saat aku bertemu dengannya, aku menangis. Aku sengaja menunjukkan perubahan sikapku agar ia tau ada yang tak beres dalam hubungan kami sekeras apapun ia coba untuk tutupi. Aku menangis di pundaknya. Aku bilang,

"Kenapa kita begini, Devan? Kamu mau pindah kampus. Gak ada lagi alasan aku buat ketemu kamu."

Namun Devan hanya menjawabku dengan kebohongan.

"Begini gimana? Kita baik-baik aja."

Bohong. Aku tau dia bohong. Aku tau hatinya yang sebenarnya. Ada yang tak beres dalam hubungan kami, aku tau itu. Aku tau! Tapi apa? Itulah yang tak bisa kutemukan.

Pikiranku melayang jauh hingga kali pertama pertemuan kami. Saat dimana aku kegeeran ketika dia terus mendekatiku karena pekerjaanku. Saat itu pula pacarku saat itu dan banyak teman-teman kami berkata bahwa ia tertarik padaku, bahwa dia menyukaiku.

Dalam hati aku yakin beribu-ribu persen bahwa kenyataannya tak demikian. Devan mendekatiku saat itu murni hanya karena pekerjaanku. Tapi karena terlalu banyak omongan yang mengatakan bahwa Devan menyukaiku, tingkat kegeeranku meningkat dan rasa ini mulai muncul padanya hingga aku pun memutuskan hubunganku dengan kekasihku saat itu biarpun hubungan kami sudah terbina lima tahun lamanya karena entah mengapa aku lebih memilih kehilangan kekasihku saat itu daripada harus kehilangan Devan.

Gila? Ya silahkan kalian bilang aku gila. Semua orang mengakui lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk membina hubungan. Banyak hal yang sudah kulalui dengannya. Tapi kenyataannya? Aku tak pernah sepenuh hati mencintainya. Aku menyayanginya, tapi bukankah rasa sayang hadir karena terbiasa? Iya, aku hanya terbiasa dengan hadirnya tapi aku tak pernah bisa sepenuh hati mencintainya meski aku sudah mencobanya selama itu.

Dan lagi, aku menerima dia untuk menjadi kekasihku saat aku masih SMP kelas 2 dan itupun hanya untuk memanas-manasi cinta pertamaku. Tapi jadilah aku yang terjebak dalam hubungan pelarian selama lima tahun lamanya.

Oke, skip. Aku tak ingin terus-terusan membahas tentang mentanku itu karena sepenuhnya, aku hanya ingin membicarakan Devan.

***

Aku tau siapa saja yang lewat dihadapanku saat pertama kali perkuliahan dimulai. Tapi aku tak pernah memperdulikannya saat itu karena yang kufokuskan hanyalah diriku sendiri. Bagaimana aku nantinya harus menjadi sosok yang gemilang di kampus ini, juga bagaimana nanti aku bisa mengambil hati dosen-dosen. Bukan mengambil hati dengan cara membuka kancing kemeja teratas, tentu saja. Tapi lewat kemampuan yang kupunya.

Aku pun sadar saat pria berperawakan kecil dan berpunggung kecil itu lewat dihadapanku. Ya, itu Devan. Tapi sekali lagi, aku tak memperdulikannya karena yang kupedulikan hanyalah diriku sendiri.

Saat itu pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) pertamaku. Di saat semua teman baruku sudah pulang, aku masih menanti KRS yang katanya harus disimpan dan akan diberikan oleh dosen akademikku. Entah aku yang rajin atau gimana tapi aku rela menunggu sampai jam empat sore hanya untuk secarik kertas yang pada akhirnya semua KRS teman-teman sekelasku, aku yang pegang.

Saat pengisian KRS, kami tak sempat saling berkenalan satu sama lain. Sang ketua kelas yang bernama Erica pun akhirnya membuatkan grup di sosial media yang sedang ngehits saat ini. Di sana, barulah kami saling berkenalan.

Oke, di awal aku sempat bilang ingin mengambil hati dosen, tapi kenapa aku tidak jadi ketua kelas? Jujur saja, aku ingin. Ingin sekali saat itu menjadi ketua kelas. Tetapi tanganku sama sekali tak bisa diajak kompromi untuk menunjuk dirikku sendiri. Jadilah aku kehilangan kesempatan emas itu.

Akhirnya Erica mencontohkan cara pengenalan. Cara yang Erica contohkan cukup mudah. Hanya dengan mengirimkan foto diri dan sebutkan beberapa identitas. Aku pun menirukan apa yang Erica lakukan dengan caraku sendiri.

Secara kepribadian aku bukanlah cewek yang ribet. Lebih suka sesuatu yang simpel. Jadilah aku hanya mengetik di note tentang informasiku dan meng-capture layar lalu aku collage dan kusandingkan dengan foto diriku.

Berbeda dengan orang yang selanjutnya mengirimkan data dirinya. Dengan foto diri seorang pria yang sedang di kolam renang serta mengenakan kaca mata hitam, ia menuliskan semua informasi tentang dirinya di dalam foto itu termasuk sosial medianya yang malah membuatku berdecak. Cukup sekali lihat saja aku bisa tau bahwa pria ini narsis.

Ya, pria narsis itu adalah Devan. Sosok yang tak pernah kuduga untuk kemudian menjadi seseorang yang sangat berarti buatku.

***

Kembali [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang